• Home
    • Akademik
    • Diurna Rizka
    • Tulisan
    • _Writing Competition
    • _Blog Competition
    • _Writing Project
    • Petualangan

    “Karena membahagiakan semua orang adalah mustahil. Maka logikanya, kita punya hak untuk memilih orang yang akan kita bahagiakan" (Tulus via Tumblr @palawija)

    Kurang lebih seminggu lalu itu tepat 1 tahun aku meninggalkan Instagram. Ternyata, waktu setahun itu enggak lama loh. Nggak berasa malahan. Tau-taunya uda mau akhir tahun 2019 aja. Eh Januari 2020 bakal berusia 23 tahun pula. Semoga umurku sampai ya untuk terus berkontemplasi setiap tahunnya. Aamiin.

    Di tulisan ini, aku pengin kontemplasi sedikit tentang setahun yang kulewati tanpa Instagram. Kenapa cuma Instagram sih? Iya, karena menurutku di sana semua orang bebas membagi apa  pun yang dia inginkan. Tentang hidupnya, kegiatannya, apa saja kepada publik, baik yang dikenal maupun tidak dikenal.

    Alasan kuat mengapa aku hengkang (ceilah bahasanya) dari Instagram sejak setahun lalu karena sedang menghadapi masa-masa berat. Emang seberat apa sih? Ya, definisi berat di tiap orang beda-beda ya. Tapi, ini soal keluarga dan yang terberat adalah jati diri.

    Terus selama setahun ini sudah menemukan jati diri? Hmm, belum dikatakan sudah, tapi seenggaknya mulai terarah mau ke mana. Pun yang terpenting, kali ini lebih realistis dan mendewasa (tjakep!).

    Semula, aku pikir kalau meninggalkan Instagram akan membuatku ketinggalan informasi ini dan itu. Ternyata, memang iya! Eh tapi, informasi yang bagaiman dulu nih? Kalau informasi soal kehidupan orang lain sudah jelas aku tidak tau apa-apa lagi. Kalau pun tau, paling secara kebetulan tau dari teman-teman dekat pas lagi ngumpul.

    "Eh si anu tuh sekarang begini ya, begitu ya, tau nggak Riz?"
    "Enggak", jawabku singkat yang kemudian diikuti dengan menyimak cerita teman-teman sambil ngangguk dan ketawa kalau emang ada yang lucu.

    Saking serunya dengar cerita mereka, aku seringkali kehilangan selera buat cerita. Giliran diminta buat cerita, aku bingung mau mulai dari mana. Soalnya, ceritaku ya begitu-begitu aja, shay. Kurasa, mereka juga tidak begitu tertarik mendengarkan. Tidak ada yang terlalu istimewa untuk dibagikan.

    Oh ya, semenjak tidak main Instagram lagi, beberapa teman kuliah, junior kuliah, sampai senior kuliah menghubungiku lewat Whatsapp. Atau pernah juga ada yang telepon dan SMS. Hampir semuanya menanyakan hal serupa.

    "Riz, ke mana aja selama ini? Kok tulisannya uda nggak pernah lagi muncul di story Instagram?"
    "Riz, apa kabar sih? Kangen loh sama tulisan-tulisanmu dan cerita yang sering kau masukkan di story IG. Nggak bikin Writing Project lagi? Bikin dong, mau berkarya nih"
    "Baik-baik aja kan, Riz? Kalau ada apa-apa itu jangan biasain dipendam dan diselesaikan sendirian dong. Dibagi ke kami, siapa tau kami bisa bantu"

    Kurang lebih intinya begitu. Aku dari lubuk hati paling dalam, mau bilang terima kasih sebesar-besarnya buat teman-teman semua yang sudah baik menawarkan diri beserta bantuannya. 

    Tapi aku bukan tidak mau terima bantuan, apalagi untuk cerita secara detil. Aku cuma pengin ngasih kesempatan ke diri sendiri untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan mengikuti kata hati. Karena, aku percaya betul kalau kata hati itu tidak pernah mengkhianati.

    Setahun terakhir ini banyak betul hal yang mengubah cara pandangku tentang hidup. Terutama, bagaimana bahagia menjalani hidup dengan versi terbaik diri sendiri. Aku tidak lagi harus memulai dan mengakhiri hari berdasarkan penilaian orang lain.

    Semua penilaian orang lain itu nomor kesekian, meskipun beberapa di antaranya pasti berguna untuk bahan evaluasi diri (kalau memang itu positif). Aku punya kadar bahagia sendiri, walau di depan orang mungkin harus 'pandai-pandai' menyesuaikan peran. Kapan harus jadi sekadar teman, kawan mengobrol, rekan bercanda, seorang pekerja, sebagai anak, dan peran lainnya.

    Jadi orang dewasa itu kadang ribet ya, perannya banyak banget. Tapi kalau bisa mengelola peran, sepertinya semua keribetan itu bakal jadi hal seru dan menantang. Percaya nggak? Aku percaya hehe. Cuma, sekarang aku sendiri lagi belajar untuk hal itu. Terus belajar sih lebih tepatnya. Baca situasi. Semoga dimampukan!

    Terus satu lagi, setahun terakhir ini aku belajar untuk sebisa mungkin tidak mengungkit atau mengingat apa pun yang sudah dilakukan ke orang lain. Karena, aku pernah digituin dan rasanya enggak enak cuy! 

    Ketika kita nggak pernah hitung-hitungan ke orang lain, ternyata orang lain hitung-hitungan ke kita. Nah, giliran dia punya masalah, dia mengungkit semua yang selama ini pernah dikasih ke kita. Bahkan, kita sendiri pun tak pernah meminta itu darinya. Ini bikin bingung.

    Yang lebih sakitnya, dia menyesalkan dirinya sendiri karena sudah meluangkan waktu untuk sekadar mendengar cerita kita pada waktu-waktu sebelumnya. Padahal, itu pun kita tidak pernah minta, melainkan dia menawarkan diri. Bodohnya, kenapa ya waktu itu aku mau cerita ke dia? hahaha skip skip skip!

    Pengalaman itulah yang membuatku seringkali enggan buat cerita, sekalipun dalam hati sangat ingin. Sekarang, kalau pun cerita ke orang lain, itu lebih ke nanya pendapat. Karena aku masih fakir ilmu dan pengalaman, jadi pasti perlu insight dari orang-orang yang usianya lebih tua di atasku. 

    Mereka pasti punya jam terbang dan cara pandang lebih kritis dalam hal mengambil keputusan ini itu. Kerennya, aku bisa menemukan pendapat unik nan berbeda dari mereka. Di sini pula, aku belajar bagaimana membuat proporsi atas hidupku sendiri. Toh, pendapat nggak ada yang salah kan. Semuanya oke, tinggal disesuaikan aja sama kebutuhan diri sendiri.

    Terus, aku sekarang belajar perbanyak mengingat kebaikan apa yang sudah diberikan orang lain. Jadi, kalau tiba-tiba agak kesal nih sama orangnya (biasa kan namanya manusia), ya aku coba ingat-ingat lagi kebaikan orang tersebut. Nanti kan kesalnya rada berkurang tuh, yaudah bakal lupa sendiri deh.

    Aku pun belajar bahwa untuk bahagia itu ternyata enggak sesulit yang dibayangkan. Yang utama, aku perlu berlaku adil pada setiap kejadian, barang sekecil apa pun. Sebab, belajar menerima itu sangat penting.

    Saking pentingnya belajar menerima, masih banyak orang yang gagal dalam menerima ketidaksempurnaan diri sendiri. Itu masih diri sendiri loh, belum mikirin ketidaksempurnaan orang lain. Wah, bisa makin kacau.

    Alhasil, kebanyakan orang merasa hidupnya berat banget. Padahal, pikiran manusia aja yang suka bikin semua jadi berat. Mungkin, aku juga termasuk yang demikian. Makanya, jomblo terus sampai sekarang (ini apaan, enggak nyambung dudul).

    Jadi, kata-kata yang kusematkan di awal tulisan ini mungkin bisa menggambarkan sedikit banyaknya pengalamanku setahun tanpa Instagram. Ke depannya, akan tetap tidak main Instagram sih hehe.

    Kamu nggak perlu jadi siapa-siapa. Kamu cukup perlu bahagia. Semoga segala niat baik dan cita-cita kamu segera terwujud satu persatu ya, Rizka. Kamu sudah keren kok. Keren banget! Terima kasih sudah melangkah sejauh ini. Ayo, lebih kuat lagi.

    (Rizka kepada Rizka)
    Continue Reading
    Bicara soal zona nyaman, sekarang ini aku sedang berada di fase itu. Gara-gara terlalu nyaman, alhasil diri pun jadi ikut terlena. Kata beberapa orang sih, kondisi semacam ini kurang baik untuk perkembangan diri. Kita jadi orang yang stagnan dan cenderung malas memulai hal baru.

    Dari sekian banyak hal itu, salah satu yang berpengaruh besar adalah pekerjaan. Saat ini, aku menjalani jam kerja teratur. Masuk jam 9 pagi, pulangnya jam 5 sore. Kerja dari Senin sampai Sabtu, kadang-kadang dapat rotasi masuk di hari Minggu.

    Bukan maksud membandingkan, tapi memang pekerjaan saat ini jauh berbeda dari profesi sebelumnya. Dulu bekerja sebagai reporter tidak ada istilah 'istirahat'. Kalau sudah ada berita, kudu dikejar tuh narasumbernya.

    Bahkan, aku pernah memaksakan diri turun ke lapangan dengan kondisi sakit dan kaki habis jadi korban pukulan massa saat liputan sehari sebelumnya. Waktu itu, aku diberi amanah meliput peresmian MRT Jakarta oleh Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bayangin, gimana ramenya itu Bundaran HI dengan lautan manusia ibu kota.

    Ketika itu, aku tenggelam di antara manusia-manusia yang sibuk ingin swafoto dengan Presiden dan beberapa  artis yang turut hadir memeriahkan. Mereka berdesakan tak kenal kiri-kanan. Semua diterobos. Nahasnya, kakiku jadi korban. Alat perekam suara yang kupegang terlepas dari tangan, terinjak-injak, rusak.

    Yang terpikirku saat itu adalah menyelamatkan teman-teman wartawan TV yang punya alat lebih besar di bagian belakang. Jangan sampai kena korban juga. Posisiku paling depan, tepatnya setengah berlutut di depan Presiden yang terhalang garis pembatas bertuliskan 'PERS'.

    Akibat kejadian itu, aku tak kuat berjalan karena kaki luka. Aku pun harus digotong wartawan lain. Aku hubungi redaktur dan dia minta agar aku rotasi dengan reporter lain. Tapi ya namanya otak bebal, aku tetap meyakini diriku masih mampu. Sampai akhirnya, malam hari tiba di kamar kos dan aku meringis kesakitan.

    Begitulah sedikit cerita kilas balik dari pekerjaanku dulu. Hingga karena kondisi ibu menurun, aku pun pulang ke Medan. Niatnya, untuk sementara waktu sampai ibu pulih. 

    Dan kini, aku menggeluti pekerjaan baru, masih di bidang tulis-menulis juga. Bedanya, ini tidak turun ke lapangan. Hampir tidak ada interaksi dengan orang-orang di luar selama jam kerja, melainkan mentok di kantor saja.

    Bisa bayangkan, bagaimana kakiku gatal sekali ingin keluar setiap kali otak merasa butuh udara segar. Tapi, itu semua ku urungkan dan ku tahan. Ya selain pinggang sakit juga, pikiran pun tak karuan. Kata orang, capek pikiran itu justru lebih melelahkan ketimbang capek fisik. Benarkah?

    Kembali lagi bicara soal zona nyaman. Kalau boleh jujur, aku belum menemukan apa yang sering orang bilang 'bekerja untuk kepuasan batin'. Lingkungan kerja boleh saja baik, pekerjaan boleh saja nyaman, tapi bagaimana kalau ternyata hati tidak merasa 'penuh'?

    Intinya, aku bekerja mengejar waktu, bukan menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Dengan waktu kerja 8 jam sehari, aku dituntut untuk bekerja secepat dan sebanyak mungkin. Soal kualitas, itu menyusul dengan banyaknya jumlah. Bisakah kau bayangkan itu, Kawan?

    Ini masih ceritaku dan kau belum dengar saja cerita dari teman-teman yang lain. Mereka punya 'kepelikan' sendiri juga. Bahkan, mereka yang lebih dulu menggeluti pekerjaan itu pun menyimpan suka-duka di dalam hati. Sebagian sudah aku dengar secara langsung, tapi pasti ada banyak lagi yang aku tak tau. Toh, tidak semua harus diumbar, kan?

    Sementara sisi lainnya, aku menemukan keluarga baru di sini. Mereka sangat baik. Aku merasa punya abang dan kakak, karena aku sendiri anak tunggal. Tapi aku tau, mereka memiliki beban hidup masing-masing. Jadi, tak etis rasanya kalau aku ingin banyak curhat ini dan itu, seperti halnya orang lain bisa curhat ke kakak atau abangnya.

    Maklum, sedari kecil aku tak pernah merasakan punya saudara kandung. Tempat curhat terpercayaku adalah Bapak. Itu pun Bapak 'berpulang' duluan saat usiaku 15 tahun. Sejak itu, aku berupaya menjadi wadah bercerita untuk ibu dan keluarga lain. 

    Ceritaku sendiri sering kutuangkan di buku harian atau membiarkannya hilang begitu saja. Karena lama-lama kupikir, ceritaku ternyata tidak sepenting itu juga untuk diketahui banyak orang. Orang tak pernah benar-benar tahu tentang proses yang dijalani. Kau harus sadari itu juga ya :)

    Implementasi 'berdikari' itu pun ternyata tak semudah slogan yang bergaung di mana-mana. Egomu harus berani kau gantungkan. Kalau tidak, kau tenggelam dengan perasaan dan pikiran 'susah'-mu sendiri. Sementara, orang lain di luar sana sudah bergerak sekian langkah. Kita tertinggal.

    Balik lagi ke topik. Sepanjang pernah bekerja sejak duduk di bangku sekolah, ini adalah zona nyamanku. Bila dibiarkan lama, ini tak baik untuk diriku sendiri. Seberapa lama aku bisa bertahan di sini pun tidak ada yang tahu.

    Hikmahnya, kalau tidak begini, aku pasti akan menganggap segala sesuatu bisa berjalan seperti inginku saja. Padahal, hidup ini kan ada timbal-balik. Salah satunya, kita tak bisa memprediksi apapun takdir Tuhan. Semua sudah digariskan sedemikian rupa.

    Pun kalau tak merasakan pengalaman begini, mana mungkin aku bisa menyelesaikan tulisan ini. Seandainya pun bisa, pasti kebanyakan isinya adalah hoax atau khayalan kan haha. Tak apalah, ini artinya aku diminta belajar 'membaca situasi'. Mungkin, ini juga langkah supaya aku semakin dewasa dalam berpikir dan bertindak.

    Zona nyaman memang tak benar-benar menyenangkan. Hidup seolah berjalan biasa saja. Hampir tidak ada tantangan yang membuat kualitas diri meningkat. Hanya kupikir, zona ini perlu dirasakan setiap orang agar lebih banyak menghargai serta bersyukur.

    Yang mungkin terlalu banyak bicara, bisa mengurangi kadarnya. Yang mungkin terlalu sering bercanda, ada baiknya diseimbangkan dengan hal bermanfaat lain.

    Hidup ini memang pilihan, tapi tidak selamanya hanya baik dan buruk.
    Ada pula yang tidak pernah absen hadir dalam mimpi.
    Adalah niat, kemauan, dan usaha sungguh-sungguh.

    You know, I'm not everything I want to be.
    But I'm more than I was, and I'm still learning. 
    I have used to be real :)

    Medan, 4 Desember 2019.
    Meja belajar Rizka.
    Continue Reading


    Hai November, kita ketemu lagi! Sebulan ini ada banyak sekali cerita yang aku tuliskan di buku harian. Awalnya, ingin kuceritakan juga di sini. Tapi sayangnya, aku tidak seberani itu. Pengecut ya namanya? Ah, entahlah apa namanya itu. Ku urungkan niat untuk membongkar itu semua di sini karena ku pikir tidak semua hal harus selalu diungkapkan. Toh seiring waktu berjalan, bakal kelupaan juga sih kalau memang itu sebenarnya enggak penting-penting amat.

    Dalam sebulan terakhir, rasanya campur aduk. Kau tahu kenapa, Kawan? Itu semua karena pikiranku sendiri. Padahal tidak ada yang benar-benar ribet di dunia ini. Yang ribet itu, cuma apa yang ada di dalam otak manusia. Keterbatasan sebagai manusia justru mendorong manusia itu sendiri untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi di masa depan.

    Keinginan ini dan itu dibangun sedemikian tinggi, seperti mimpi anak-anak negeri lima menara. Tinggi sekali, membumbung sampai ke langit. Bisa tidak kau gapai itu? Jawabannya, belum tentu. Yang sekali-kali kau rasa mampu, nyatanya bukan itu yang terbaik. Kau rasa mampu sekali, tak serta-merta jadi milikmu begitu mudah.

    Aku ingin. Inginku besar sekali, seperti hari-hariku yang megah karena lebih banyak berbesar hati. Kau tau mengapa harus demikian? Karena kalau tidak begitu, aku tidak bisa merawat diri. Inginku banyak sekali, seolah yakin matahari pagi esok hari masih setia jadi penanda bahwa aku masih numpang di Bumi.

    Petualangan besar adalah inginku. Meski besar-kecil itu relatif dan besar dalam artianku berbeda. Aku ingin berpetualang besar hingga aku sendiri lelah, kehabisan bensin, minta istirahat. Tapi ada ketakutan bersemayam. Kau tau apa itu? Itu adalah kodrat.

    Terlahir sebagai perempuan adalah kodratku, walau aku tak pernah meminta atau menolaknya. Aku bersyukur. Karena dengan mengingat kodrat, inginku jadi punya batas. Inginku jadi punya prioritas, inginku tidak sembarangan dibangun, inginku ada alasan dan nanti inginku pasti akan ada habisnya. Habis, tepatnya ketika ruh tidak lagi bisa mengerdipkan mata atau mengendus bau dengan hidung.

    Dicintai adalah inginku, demikian kata kodratku, walau aku tak pernah bilang begitu. Tapi aku juga enggan membantahnya. Setidaknya kalau pun boleh meminta, aku ingin segala sesuatu terbagi sesuai porsi. Begitu pula dengan hari-hari di mana nanti aku akan bilang, "kita terlahir di dunia sebagai manusia dan segala persoalannya di Bumi, bisakah kita berjalan bersama tanpa harus ada pengakuan 'aku' atau pun 'kau'?"

    Bergandengan dan sejajar adalah inginku berikutnya. Sebab bagiku, semua manusia itu sama di hadapan Tuhan. Aku ingin, manusia tidak bercerai-berai karena ego. Cukuplah hanya Javasentris milik Ibu Pertiwi yang sulit ditebak apa maunya. Ia diperhatikan tapi seolah 'tidak tahu berterima kasih'. Bak anak emas, apa-apa dituruti dan apa-apa diramaikan.

    Dari semua inginku, menjadi bahagia ada di urutan puncak. Perasaan campur aduk, mimpi membumbung tinggi, petualangan besar, kodrat, bagi-membagi, kewajiban-hak-tanggung jawab, dan sebagainya, bermuara pada satu tujuan. Untuk menjadi manusia yang bahagia. Bahagia bagiku adalah bebas. Aku ingin bebas meramu dan menyusun bahagia. Menanam benih seluas-luasnya, lalu memetik ia di kemudian hari.

    Aku ingin. Sungguh, aku benar-benar ingin.
    Continue Reading

    Sebenarnya, istilah nokturnal lebih tepat diperuntukkan bagi hewan. Hewan giat malam atau hewan nokturnal adalah hewan yang tidur pada siang hari, dan aktif pada malam hari. Aktivitas yang merupakan kebalikan dari perilaku manusia (diurnal). Tapi aku masih belum tahu apa nama lain untuk menyebutkan perilaku manusia yang aktif pada malam hari, tapi tidak tidur di siang hari -sebab bekerja dari pagi hingga sore-. Sulit sekali cara berpikirku, ah sudahlah.

    Semasa kuliah, aku termasuk orang yang aktif pada malam hari, terlalu aktif bahkan. Aku bisa tiba-tiba menggambar, melukis di kanvas, bermain tinta, atau juga menulis di tengah kesunyian saat orang-orang tertidur pulas. Ya, seperti yang kulakukan saat ini. Menulis di saat orang merebahkan tubuh di kasur untuk melepas penat seharian beraktivitas.

    Ada yang mengatakan bahwa seseorang dengan jam tidur lebih sedikit, memiliki pola pikir lebih tajam, atau kata lainnya orang itu cenderung cerdas. Tapi, kalau berkaca dari pernyataan itu dan melihat kepada kebiasaanku yang punya jam tidur lebih sedikit setiap hari, rasanya aku masih jauh dari kata 'cerdas'.

    Sedari duduk di bangku SMP, aku mulai terbiasa tidur di atas jam 12 malam. Alasannya, karena belajar. Dan lagi, dulu itu tugas-tugas sekolah seabrek. Aku bahkan heran melihat masa sekolah di zamanku dengan di zaman sekarang yang notabene para siswanya lebih doyan main ketimbang belajar. Sempat berpikir, "kok sekarang anak-anak sekolah uda mulai menurun minat belajarnya?".

    Tapi lagi-lagi, aku tidak bisa menyamakan semuanya seperti pikiranku itu. Bisa jadi, ada banyak anak-anak sekolah di luar sana yang belajar mati-matian dan merelakan waktu bermainnya demi sekadar membuka buku, barang satu atau dua halaman per hari. Aku termasuk yang demikian, sedari dulu tidak pernah punya jam bermain spesifik. Almarhum Bapakku bilang, "bermain itu bisa kapan saja, sampai tutup usia juga bisa bermain, tapi apa manfaatnya? nggak ada. Jadi mending belajar saja, itu bisa mengantarkan kita dengan hal-hal tidak terduga lainnya, dan bisa jadi amal jariyah kalau sudah tiada."

    Aku mengamini kata-kata Bapak sampai sekarang. Karena itu jugalah, aku masih sering kurang tidur. Padahal saat ini aku sudah bekerja dengan jam kerja teratur. Masuk kerja jam sembilan pagi dan pulang jam lima sore. Energi terkuras selama delapan jam bekerja dan malamnya ditambah dengan kegiatan amburadul versiku sendiri. Entah apa namanya itu, hobi atau memang kurang kerjaan, sepertinya beda tipis.

    Seperti malam ini pula, aku menulis 'apa namanya ini' hanya untuk sekadar menghibur diri. Padahal pekerjaanku pun setiap harinya menulis. Selalu menulis. Memangnya kerja menulis selama delapan jam di kantor itu kurang banyak? Wah, bukan kurang banyak sih, tapi lebih tepatnya cukup banyak hehe. Tapi semuanya harus disyukuri, toh sadar atau tidak, kita ini hidup memang lebih banyak mengeluh ketimbang bersyukur.

    Belakangan ini pun aku kurang tidur dan tentu berpengaruh pada fokus pekerjaan di kantor. Sempat merasa mengantuk ketika memasuki 'waktu kritis' selesai makan siang dan salat Dzuhur. Enaknya tidur, tapi enggak bisa karena kudu kerja! Pokoknya kerja terus sampai kandas, semuanya dilakukan demi kerja, hidup kerja! (sindiran).

    Di awal-awal bekerja, aku termasuk hidup teratur. Selesai salat Isya, pasti langsung tidur dan bangun Subuh keesokan harinya (tapi kadang bangunnya bisa lebih cepat). Anjuran tidur delapan jam sehari untuk orang dewasa pun mulai aku terapkan. Tapi nampaknya akhir-akhir ini ada saja pekerjaan tambahan di malam hari yang membuatku terpaksa mengurungkan niat untuk tidur awal. Entah sampai kapan kebiasaan buruk ini bisa diredam, tapi semoga saja ada jalan keluarnya. Ya, setidaknya hidup bisa lebih tenang, teratur, dan sehat.
    Continue Reading
    "Are you okay?", semakin bertambah usiamu, maka semakin sedikit pula kamu mendengar pertanyaan ini dari orang-orang di sekitarmu. Sekali pun pada mereka yang mungkin selama ini kamu anggap yang terdekat dan paling mengerti.

    "Are you okay?", diksi yang sering diabaikan, padahal maknanya sama seperti kamu mengobati lukamu sendiri. Teduh sekali rasanya ketika ada yang menanyakan apakah kamu baik-baik saja atau tidak, sekali pun dia hanya sekadar ingin tahu saja dan tidak berniat memberimu 'payung' supaya kamu tidak kehujanan.

    "Are you okay?", kapan terakhir kali kamu tanyakan ini pada dirimu sendiri atau pada mereka yang kamu sayangi-menyayangimu? Pasti kamu sendiri hampir lupa, bukan? Padahal kamu mengaku perjalananmu sudah panjang sekali, tapi menanyakan kabar orang sekitarmu saja kamu sering abai. Atau bahkan, kamu sendiri tidak tahu harusnya pertanyaan ini ditujukan kepada orang lain atau dirimu sendiri? Pasalnya, kamu pun menunggu pula orang bertanya hal itu padamu.

    Sebab "Are you okay?" menjadi alasan mengapa aku tidak suka dengan orang 'dingin', tapi tidak berarti pula aku senang bergaul dengan mereka yang suka mengumbar tawa. Yang sedang-sedang sajalah. Ketika berbicara, obrolan saling bersahutan. Ketika diajak bercanda, tertawa dicukupkan. Sama seperti berdoa, yang sering dikatakan orang "berdoa selesai", padahal berdoa tidak pernah selesai, melainkan hanya "dicukupkan".

    "Are You okay?", teguran untuk diri sendiri. Mungkin karena aku jarang bertanya demikian pada orang sekitar, itu pula jadi alasan aku jarang ditanya demikian. Oh, atau mungkin pernah kudapatkan, hanya saja aku ingkar membalasnya. Manusia, suka ingkar pada kata-kata dan prinsipnya sendiri, seringkali.

    Mulai besok, bisakah kamu berjanji? Berjanji untuk lebih peka pada orang-orang di sekitarmu? Bukan untuk menuai pujian, hanya sebagai pengingat bahwa nalurimu sebagai manusia masih ada. Bertanyalah, toh bertanya tidak pernah dilarang, bukan? Lapor padaku jika ada yang demikian, biar kita doakan bersama.

    Mulai besok, bantu ingatkan aku jika ternyata ada sesuatu yang lupa kutanya kabarnya. "Are you okay?," bahkan tidak menguras waktu-tenaga-pikiran. "Are you okay?", bahkan hanya meminjam 2-3 detik saja dari waktumu, sisanya terserah padamu.

    Tapi, ada satu hal yang harus kamu ingat. Jika nanti seandainya kamu sedang membutuhkan "Are you okay?" dari orang-orang di sekitarmu dan kamu tidak mendapatkannya saat itu juga, maka katakan "Are you okay?" pada siapa saja di sekitarmu saat itu. Dengan begitu, kamu sudah menabung kata-kata itu untuk waktu mendatang, mungkin ketika kamu sedang sakit parah, dirundung masalah, atau salah satu orang terkasihmu pergi lebih dulu.
    Continue Reading


    Sejak Ibu dikabarkan sakit pada Februari 2019, aku menjadi orang yang sensitif dengan kata ‘Ibu’. Meski demikian, aku berusaha menjadi orang yang periang, seperti orang-orang menilai di perkenalan pertama. Di sini, aku belajar cara melakoni peran ketika menjadi orang dewasa, anak remaja, kakak, adik, atau bahkan bisa jadi saingan bagi orang lain. Bukankah hidup ini panggung sandiwara di mana setiap orang diberi peran masing-masing?

    Bicara soal Ibu, kalau boleh dibilang, aku dan Ibu menjadi lebih dekat semenjak Bapak meninggal. Karena aku anak satu-satunya dan perempuan pula, maka aku mawas diri bahwa sepeninggal Bapak, hidupku bergantung pada diriku sendiri. Kendati begitu, aku tetap manusia biasa yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Namun kuharap dan berdoa, selagi diriku mampu, semoga aku tidak jadi orang yang merepotkan orang lain, barang sekecil apapun itu.

    Judul tulisan ini ada kaitannya dengan perkataan Ibu. Lebih tepatnya, itu memang perkataan Ibu. Ya, Ibu minta maaf berkali-kali padaku, bahkan sampai detik ini jika pembahasan itu tak sengaja jadi bahan obrolan kami berdua. Ibu minta maaf, sebab dia merasa bersalah lantaran aku memutuskan pulang dari tanah perantauan, demi merawat Ibu di kampung halaman.

    Pikirku, untuk apa dapat pekerjaan hebat di kota orang, tapi Ibu sendiri aku harus berpikir dua kali. Maka kuputuskan pulang, setidaknya sampai kondisi Ibu cukup membaik, kalaupun nanti aku ingin melanjutkan perantauan lagi.

    Memang, keinginan untuk merantau lagi sangatlah besar. Tujuanku tidak muluk-muluk, aku hanya ingin sekolah lagi. Itu saja. Setelah sekolah selesai, aku berniat ingin pulang ke kampung halaman lagi dan mencari pekerjaan layak di sini. Tapi ternyata, Allah berkata lain, dan memintaku menjeda cita-cita itu. Ada tugas lebih penting daripada itu.

    Sejak itulah, Ibu merasa punya salah besar pada anaknya. Sudah kubilang, tidak apa-apa. Tapi ternyata itu jadi pikiran Ibu berhari-hari, sampai hari ini. “Maaf ya, Nak, cita-citamu untuk lanjut sekolah belum tercapai,” kata Ibu.

    Kondisi Ibu sekarang sudah cukup membaik, Alhamdulillah. Hanya, tanpa Ibu sadari atau tidak, sejak kejadian Ibu operasi saat aku masih di perantauan, itu jadi pukulan telak buat anaknya. Aku jadi lebih tertutup pada siapapun, meski kalau orang-orang melihat sepertinya biasa saja. Tapi bukankah kesedihan memang sebaiknya tidak perlu diumbar-umbar toh? Sedih dan bahagia itu tidak jauh berbeda, bahkan hampir mirip. Datangnya suka tiba-tiba, terkadang tanpa harus ada alasan, dan tidak baik kalau diumbar ke banyak orang.

    Beberapa tulisan terakhir di blog memang isinya tidak jauh-jauh dari ini, sedikit banyaknya hampir mengarah kepada hal yang sama. Semua tentang ‘kapal berlayar’, terkena ombak pasang-surut, berpegangan pada poros kompas, dan melaju dengan berani. Hebat betul ‘kapal’ itu kalau seandainya bisa berlabuh dengan selamat, tidak hancur. Aku mau seperti itu!

    Kalau boleh aku bercerita, setiap Minggu aku punya satu kebiasaan yang tidak pernah kuceritakan pada Ibu sejak kepulanganku dari perantauan. Setiap Minggu pagi, aku sempatkan bertandang ke ‘rumah’ Bapak. Letaknya paling sudut sebelah kanan, tepat di bawah pohon rimbun. Rumah Bapak teduh betul, andai kau tahu. Dindingnya semua terlapis warna putih, sesuai permintaan Bapak. Tanpa bunga dan air, aku datang saja sekadar mampir. Di balik nisan yang tersemat namanya itu, aku berbisik, “Pak, bagaimana satu pekanmu? Aku baik-baik saja. Pekerjaanku pun baik-baik saja. Semoga pekanmu juga begitu baik ya, Pak.”

    Di ujung nisannya, aku berjongkok dengan menadahkan kedua tangan. Beberapa hafalan yang mulai kudapat dari Ummi (guru mengajiku setiap Minggu), kulafalkan untuk keteduhan Bapak di rumahnya. Bapak dengar, Bapak rasa. Sebelum ku tutup doaku, pesan yang selalu ku sematkan, “Allah Satu Yang Maha Tahu, aku ingin sekolah lagi, mewujudkan cita-cita Bapak yang satu itu. Supaya Ibu tidak merasa bersalah lagi pada anaknya. Tolong, bantu dan bimbing aku untuk melangkah lagi.”

    Setiap kali pulang dari persinggahan itu, aku merasa lega. Mungkin, rasa bersalah Ibu akan sulit terobati, sampai akhirnya nanti aku benar-benar bisa sekolah lagi. Semoga Allah jabah doa Ibu.

    Satu lagi, belum lama ini Ibu berpesan banyak untukku yang sudah semakin dewasa. Kata Ibu, “Sekiranya ada yang berniat baik padamu, izinkan dia datang ke rumah ya, Ibu mau lihat dulu. Jangan tutup hatimu, jangan pikirkan juga kesendirian Ibu. Cukup cita-cita sekolahmu yang tertunda, tapi urusan hatimu jangan. Itu manusiawi, anak Ibu juga butuh teman bertukar pikiran, kan? Masa mau terus-terusan cerita sama ibu-ibu begini sih.”

    Ibuku, begitulah wataknya. Berbeda sangat jauh daripada anaknya. Aku lebih tertutup, sementara Ibu sangat terbuka. Aku mampu menahan tangis, tapi Ibu tak bisa bendung air matanya. Aku suka hal-hal unik dan menantang, Ibu justru suka hal-hal pasti dan kerap menghindari bahaya. Aku punya segudang pertanyaan, sementara Ibu memilih zona nyaman.

    Untuk Ibu, aku sudah tidak apa-apa. Jangan lagi meminta maaf, sebab bukan salahmu juga. Aku diminta belajar lagi, kurasa Dia sedang memberiku soal-soal ujian lanjutan, tapi belum tahu kapan soal itu akan dibagikan. Kuharap, aku bisa menjawab setiap soal, sekalipun itu yang tersulit. Sekarang ini, sedang kucari kisi-kisi untuk menjawab soal itu. Aku mulai tahu caranya, sedikit  lagi hampir sampai. Doakan aku, itu saja sudah lebih dari cukup.

    Ibu, sehat-sehatlah selalu. Jangan khawatir, anakmu akan segera sekolah lagi dalam waktu dekat. Percaya. Bukankah Dia selalu jadi yang utama? Bukankah Dia selalu punya kejutan?
    Continue Reading

    Setiap detik seseorang bisa menjadi orang yang baru. Setiap detik seseorang bisa menjadi mesin waktu.

    Boleh dibilang, ini murni 'random thought' versi anak usia 22 tahun. Iseng saja sebenarnya dan nggak ada isi yang terlalu serius, menurut saya. Satu paket sudut pandang, seperti  tertulis di judul tulisan ini, berawal dari pikiran liar yang setiap malam selalu bertambah. Bingung juga mau mulainya dari mana.

    Belakangan ini, saya -mungkin bukan cuma saya- merasa seperti seorang pemain sepak bola tanpa 'supporter'. Entah karena saya yang tidak peka atau bagaimana, yang jelas saya semakin sulit terbuka pada orang-orang baru. Terkesan eksklusif ya? Iya, mungkin seperti itu.

    "Semestaku semakin mengecil," kata-kata ini kerap berputar di kepala. Sungguh, pernah ada rasa takut setiap kali kalimat itu terlintas. Tapi nampaknya, itu memang tidak bisa dipungkiri. Beberapa kali saya merasa hidup saya benar-benar hidup. Hidung saya lega setiap kali menghirup nikmat udara. Meski berjalan sendiri, saya tidak masalah. Meski tidak ada pendukung yang bersorak-sorai, toh saya baik-baik saja.

    Ada satu titik ketika saya merasa seperti tali layang-layang. Tarik ulur dengan realita dan masa lalu. Beruntungnya, belum lama ini saya telah menuntaskan 'utang' di masa lalu. Utang itu adalah cerita lampau yang sering membuat emosi saya naik-turun. Saya tidak punya tempat untuk menuangkan itu. Sekalipun ada, saya memilih tidak membagikannya secara cuma-cuma karena yang tahu caranya cuma saya sendiri. Jadi, untuk apa berbagi?

    Hal-hal tidak terduga selalu hadir di depan saya tanpa ketuk pintu terlebih dahulu. Ia masuk begitu saja, nyelonong dan duduk sesuka hati di mana saja yang ia mau. Sebuah kesialan karena saya seringkali tidak punya persiapan. Kaget pasti. Tapi setelah berhasil melaluinya, saya diberi kebebasan memetik 'buah' mana yang saya mau dan dibawa 'pulang' untuk bekal.

    Saya sulit terbuka, padahal dulu saya dikenal sangat cerewet. Saya pikir, "ah, sudahlah, mending aku tidur saja." Benar, hari-hari saya dipenuhi penat. Untuk protes pada ketidakadilan yang sering saya lihat di jalanan pun sulit saya komentari. Paling-paling, saya cuma ngomel sendiri di buku catatan, hanya supaya hati saya baik-baik saja.

    Tidak bisa sesuka hati. Meskipun takdir sering datang sesuka hati, tapi saya tidak bisa sesuka hati itu pula. Lagi-lagi, ada yang tidak adil di sini. Tapi nggak apa-apa, justru dari sini saya belajar menjadi orang asing setiap hari. Saya seperti buah, perlu dikupas kulitnya dengan rapi untuk tahu rasa buahnya manis atau tidak. Saya perlu dikupas habis oleh si takdir itu, supaya ke depannya saya tahu rasa manis dan pahit. Supaya saya tidak merasa cuma hidup saya yang keras. Semua orang tengah berjuang, kau harus tahu itu.

    Semua rencana dirombak habis. Habis-habisan. Inilah patah hati kedua yang saya punya setelah patah hati pertama kehilangan Bapak. Kau tahu, rasanya tak terbilang. Setengah mati saya kecewa pada takdir. Sungguh, saya berani bersumpah. Tapi sejak itu, saya tahu bagaimana mengobati luka saya sendiri, kemudian berdiri lagi, dan berlari dengan jujur dimulai dari garis awal. Sejak itu, saya tahu bagaimana tumbuh menjadi dewasa. Meski ini tak pernah saya minta, tapi beginilah cara Tuhan menjawab doa-doa saya. Jalannya terjal sekali, Kawan, dan sekali lagi kau harus tahu itu.

    Tak pernah terpikir untuk membuat orang lain kagum. Ini receh. Suatu hari -belum lama ini-, saya tulis dalam buku catatan, "mengapa banyak sekali orang yang memuji, tapi sedikit sekali orang yang menawarkanmu pedang?". Artinya, orang-orang yang memberi pujian itu saya anggap hanya lalu. Sebaliknya, orang yang menawarkan saya pedang adalah sahabat karib. Saya berteman padanya, sekalipun dia tidak pernah meminta untuk menjadi teman saya.

    Jujur pada diri sendiri itu seperti harta karun. Penemuan baru saya ini sangat mengobati luka. Saya pikir, masih sedikit orang yang punya ini karena kebanyakan orang mulai hidup untuk menuruti tingginya permintaan orang lain padanya. Orang-orang berbondong membuat dirinya seperti cermin untuk orang lain. Semua ramai minta dilihat, diperhatikan, diselamatkan, diabadikan, hingga disanjung. Padahal, hakikat hidup sebagai makhluk sosial tidak seperti itu? Iya, kan? Coba koreksi jika saya salah.

    Bahagia saya sederhana. Bahagia saya adalah Ibu. Bahagia saya adalah adik-adik. Bahagia saya adalah berjalan sendiri, menikmati udara segar, tertawa tanpa ragu, dan bersyukur setiap hari. Bahagia saya adalah setiap kali bercerita pada-Nya selagi mampu, tentang apapun. Bahagia saya adalah memandang apa saja yang membuat orang lain bahagia. Bahagia saya adalah mendoakan kebahagiaan orang lain, karena itu sudah cukup.
    Continue Reading

    Awal tahun lalu di Januari 2018, cerita ini benar terjadi. Bandara Soekarno-Hatta tempatnya. Waktu itu, aku menuju Jogja setelah satu malam sebelumnya mengunjungi kerabat di Bogor. Seperti biasanya, aku bepergian sendiri. Tidak peduli akan sampai atau tidak, atau bahkan perjalanan ternyata harus berhenti karena suatu hal, yang terpenting saat itu adalah jalan terus selagi bisa.

    Bukan baru kemarin sore aku menjadi pejalan tunggal. Itu sudah dimulai sejak kecil. Tepatnya, semenjak aku punya idola. Ayahku.
    Keyakinan untuk terus berjalan sendiri pun semakin diamini setelah kehilangan idola itu. Meski kerap kali menjadi asing, aku tahu bahwa segala sesuatu untukku telah dicukupkan.

    Teranyar sore itu di bandara, aku memilih kursi dekat kaca di ruang tunggu bandara. Tak lama, perutku keroncongan. Aku baru ingat ternyata amunisi perutku belum diisi sedari siang tadi. Untunglah, bekal sekotak roti unyil dari kerabat di Bogor membuatku tidak perlu repot hilir mudik keluar bandara demi mencari camilan.

    Hendak kusantap roti itu, sesuatu di tas kecilku bergetar. Ada panggilan di ponsel. Kubuka layar, tertulis "Mama".
    Setelah gigitan kecil pertama untuk si roti, kugeser layar ponsel ke arah tanda hijau. Suara dari seberang terdengar.

    "Uda di bandara, Nak?," kata wanita yang kuhapal betul warna suaranya.

    "Uda, Ma. Ini lagi di ruang tunggu. Pesawatnya delay," jawabku sambil mengunyah pelan si roti.

    "Uda sholat? Mama baru aja selesai sholat ini di sini," katanya.

    "Alhamdulillah uda juga. Ini lagi makan roti unyil. Tadi dibawain Fifi yang di Bogor itu, Ma. Kelaparan ini soalnya," ujarku seraya tertawa kecil. Aku menyeringai, terbayang kondisi sudah beberapa kali terjadi setiap kali aku pergi jauh meninggalkan rumah.

    "Ya ampun. Belum makan siang ya? Aduh, jangan hemat-hemat kali, Nak. Makan aja apa yang mau dimakan. Jangan ditahan-tahan seleranya. Uang tabungannya masih cukup sampai pulang ke Medan?," tanya Mama beruntun.

    "Hahaha santai, Ma. Insya Allah di sini terjaga kok. Cuma memang ini perutnya jadi sering lapar karena jalan terus. Tabungan Alhamdulillah aman. Insya Allah bersisa kok nanti sampai di Medan. Semuanya sudah diperhitungkan, Ma," jawabku.

    Entah sudah jadi kebiasaan sejak kapan, aku memang suka sekali membuat prioritas finansialku untuk satu hingga  dua bulan ke depan. Hobiku menabung, lalu dipakai untuk membeli apa yang kusuka. Misalnya, membeli buku setiap bulan, menambah dekorasi kamar atau membeli cat dinding untuk merubah suasana kamar, hingga menyisihkannya untuk ditabung saja. Karenanya, setiap kali aku punya keinginan mengunjungi suatu tempat atau kota atau negara, sudah jauh-jauh hari kupersiapkan.

    Sebab kebiasaan itu pula membuatku jarang atau bahkan lupa membawa oleh-oleh untuk teman-teman. Seringkali, ketika ditanyai soal buah tangan, aku memang menjawab jujur tidak ada. Untuk diri sendiri pun aku tak sempat beli. Kadang, ini juga yang membuatku terkesan pelit. Tak sedikit pula teman-teman jadi bersikap biasa saja lantaran mungkin tidak bisa kupenuhi maunya mereka.

    Apa boleh buat, seperti itulah aku. Belum paham mengelola uang untuk tujuan lain. Tapi, sesekali aku pernah menyisihkan uang untuk persiapan seandainya ingin memberi hadiah untuk teman. Sayangnya, di tengah jalan, uangnya ludes kupakai untuk keperluan sekolah dan membeli buku. Sulit kubayangkan bagaimana rasanya menjadi teman-temanku. Pasti ada rasa 'enek' ketika menyadari hidupnya harus mengenal orang pelit dan perhitungan seperti ini.

    ***
    Di ruang tunggu bandara itu, aku tiba-tiba merasa ada sepasang mata yang sedari tadi memerhatikan. Kujangkau mataku ke seluruh ruangan. Rupanya, seorang pria yang duduk tidak jauh dariku kedapatan melirik. Penampilannya khas seorang Ayah. Kuterka, usianya hampir lima puluh tahun. Ada rambut putih terlihat dan kulit wajahnya sedikit menurun.

    Kulemparkan senyum seadanya dengan sedikit menurunkan kepala ketika mata itu ke arahku lagi. Tiba-tiba, beliau datang menghampiri. Kemudian duduk di depanku. Bisa kulihat jelas wajah beliau yang terlihat sederhana. Senyumnya teduh khas seorang Ayah.

    "Dari mana, Nak?," kata beliau menyapa.

    "Dari Bogor, Pak. Saya mau ke Jogja," jawabku ramah.

    "Oh, saya juga mau ke Jogja. Tempat anak saya di sana," balas Bapak itu.

    Kami pun mengobrol cukup lama. Hingga, terdengar suara operator bandara dari alat pengeras suara. Berikutnya diumumkan bahwa pesawat menuju Jogja sudah tiba di bandara dan akan segera berangkat 20 menit lagi. Para penumpang diminta segera naik ke pesawat udara. Perbincangan aku dan beliau tetap berlanjut di lorong menuju pintu masuk pesawat.

    Tak lama kemudian, aku sudah duduk rapi di bangku penumpang sesuai nomor kursi di tiket yang kupegang. Aku dan si Bapak terpisah. Beliau duduk di kursi urutan belakang. Kupandangi lapangan bandara itu sebelum lepas landas. Sore itu, langit sarat akan makna. Ditambah, beberapa perkataan si Bapak tadi yang cukup membuatku yakin bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Sekalipun aku sering merasa asing di persimpangan jalan.

    "Kamu pergi sendirian? Ke mana-mana sendirian? Tidak takut?," kata Bapak itu yang terngiang.

    "Insya Allah tidak takut, Pak. Sekali pun saya harus takut, saya harap bukan takut pada apa atau siapa yang nyata di depan saya. Kalau yang nyata wujudnya, selama saya mampu, saya akan upaya lindungi diri sendiri. Saya harap, saya cukup takut pada apa yang seringnya tidak kelihatan. Pikiran saya. Saya takut sama diri saya sendiri. Takut kalau sampai saya tidak bisa bicara sama diri sendiri," jawabku waktu itu yang membuat wajah si Bapak seketika mengerut.

    Dia terlihat berpikir memahami kata-kataku. Aku pun tidak berharap si Bapak paham betul maksudnya. Adalah hal wajar kalau ada orang yang sering tidak paham caraku bicara. Kata teman-teman, aku terlalu kaku. Bicaraku seperti kamus berjalan, baku sekali.

    Tapi ternyata, si Bapak kemudian tersenyum. Dia seperti menemukan makna dari jawabanku tadi. Sebelum kami berdiri dan berjalan menuju petugas bandara untuk menunjukkan bukti tiket, beliau menepuk tas punggungku.

    "Siapa namamu tadi, Nak?," tanyanya lagi.

    "Rizka, Pak. Lengkapnya, Rizka Gusti Anggraini Sitanggang. Ayah saya mualaf. Ibu saya asli Jawa," jawabku lengkap seperti menghapal. Kemudian aku tertawa karena memang sengaja kujawab begitu sekadar bercanda.

    "Hahaha mantap sekali jawabanmu," kata beliau ikut tertawa.

    "Sore ini, Bapak bersyukur telah dipertemukan dengan Rizka. Rasanya obrolan tadi singkat sekali ya. Saya bahkan berharap pesawat datang lebih lambat sedikit lagi. Tapi pasti bisa diamuk massa seisi bandara ya hahaha," lanjutnya.

    "Rizka anak hebat dan berani. Tidak masalah sendiri, ada Tuhan yang menyertai. Suatu hari, Bapak yakin akan ada orang baik yang akan jadi teman perjalananmu nanti. Orang baik yang bukan hanya jadi teman diskusimu, tetapi juga untuk Ibumu. Hidupmu memang berjalan tidak biasa, cukup berat kelihatannya. Tapi kita akan bertemu lagi di waktu yang baik tentunya, kan? Di pertemuan itu nanti, Bapak akan lihat Rizka berdiri jadi orang baik yang bermanfaat luas untuk banyak orang".

    Begitulah penutup beliau. Setiba di Jogja dan sebelum berpisah, kami bertukar nomor ponsel.

    "Pak, saya akan hubungi Bapak sepulang saya di Medan nanti. Pak, kita akan bertemu di waktu yang baik. Saya akan berdiri jadi orang baik yang bermanfaat bagi orang banyak. Seperti yang Bapak yakini dan doakan," ujarku setengah ingin menangis.

    Beliau mengangguk cepat. "Pastikan kamu jaga Ibumu baik-baik. Pastikan kamu bisa berjalan lebih jauh lagi dari hari ini".
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Searching

    • ABOUT ME

    Media Sosial

    • Tumblr
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram

    HUBUNGI SAYA DENGAN EMAIL

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengunjung

    Pict of Me

    Pict of Me

    Catatan Berkarya



    Recent Post

    • Esai Seleksi Beasiswa Karya Salemba Empat
    • Esai Diri (Program Friendship From Indonesia 2017, China - Malaysia)

    Arsip Blog

    • ►  2022 (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2021 (1)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  Juni (1)
    • ▼  2019 (8)
      • ▼  Desember (2)
        • Nggak Terasa, Sudah Setahun
        • Zona Nyaman
      • ►  November (1)
        • Aku Ingin
      • ►  Oktober (1)
        • Balik Lagi Jadi Nokturnal ?
      • ►  September (2)
        • Are You Okay?
        • Maafkan Ibu, Cita-Citamu Belum Tercapai
      • ►  Juli (1)
        • Satu Paket Sudut Pandang
      • ►  Juni (1)
        • Asing di Persimpangan Jalan
    • ►  2018 (6)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2017 (21)
      • ►  Desember (5)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (2)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juli (3)
      • ►  Juni (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (3)
      • ►  Maret (1)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2015 (3)
      • ►  Agustus (3)

    Label

    • Blog Competition
    • Cerita Rizka
    • Diurna Rizka
    • Esai
    • Pendidikan
    • Petualangan
    • Rizka Gusti Anggraini Sitanggang
    • Tulisan
    • Writing Competition
    Instagram LinkedIn

    Created with MRIL BeautyTemplatesDistributed By Rizka Sitanggang

    Back to top