Asing di Persimpangan Jalan

Juni 13, 2019


Awal tahun lalu di Januari 2018, cerita ini benar terjadi. Bandara Soekarno-Hatta tempatnya. Waktu itu, aku menuju Jogja setelah satu malam sebelumnya mengunjungi kerabat di Bogor. Seperti biasanya, aku bepergian sendiri. Tidak peduli akan sampai atau tidak, atau bahkan perjalanan ternyata harus berhenti karena suatu hal, yang terpenting saat itu adalah jalan terus selagi bisa.

Bukan baru kemarin sore aku menjadi pejalan tunggal. Itu sudah dimulai sejak kecil. Tepatnya, semenjak aku punya idola. Ayahku.
Keyakinan untuk terus berjalan sendiri pun semakin diamini setelah kehilangan idola itu. Meski kerap kali menjadi asing, aku tahu bahwa segala sesuatu untukku telah dicukupkan.

Teranyar sore itu di bandara, aku memilih kursi dekat kaca di ruang tunggu bandara. Tak lama, perutku keroncongan. Aku baru ingat ternyata amunisi perutku belum diisi sedari siang tadi. Untunglah, bekal sekotak roti unyil dari kerabat di Bogor membuatku tidak perlu repot hilir mudik keluar bandara demi mencari camilan.

Hendak kusantap roti itu, sesuatu di tas kecilku bergetar. Ada panggilan di ponsel. Kubuka layar, tertulis "Mama".
Setelah gigitan kecil pertama untuk si roti, kugeser layar ponsel ke arah tanda hijau. Suara dari seberang terdengar.

"Uda di bandara, Nak?," kata wanita yang kuhapal betul warna suaranya.

"Uda, Ma. Ini lagi di ruang tunggu. Pesawatnya delay," jawabku sambil mengunyah pelan si roti.

"Uda sholat? Mama baru aja selesai sholat ini di sini," katanya.

"Alhamdulillah uda juga. Ini lagi makan roti unyil. Tadi dibawain Fifi yang di Bogor itu, Ma. Kelaparan ini soalnya," ujarku seraya tertawa kecil. Aku menyeringai, terbayang kondisi sudah beberapa kali terjadi setiap kali aku pergi jauh meninggalkan rumah.

"Ya ampun. Belum makan siang ya? Aduh, jangan hemat-hemat kali, Nak. Makan aja apa yang mau dimakan. Jangan ditahan-tahan seleranya. Uang tabungannya masih cukup sampai pulang ke Medan?," tanya Mama beruntun.

"Hahaha santai, Ma. Insya Allah di sini terjaga kok. Cuma memang ini perutnya jadi sering lapar karena jalan terus. Tabungan Alhamdulillah aman. Insya Allah bersisa kok nanti sampai di Medan. Semuanya sudah diperhitungkan, Ma," jawabku.

Entah sudah jadi kebiasaan sejak kapan, aku memang suka sekali membuat prioritas finansialku untuk satu hingga  dua bulan ke depan. Hobiku menabung, lalu dipakai untuk membeli apa yang kusuka. Misalnya, membeli buku setiap bulan, menambah dekorasi kamar atau membeli cat dinding untuk merubah suasana kamar, hingga menyisihkannya untuk ditabung saja. Karenanya, setiap kali aku punya keinginan mengunjungi suatu tempat atau kota atau negara, sudah jauh-jauh hari kupersiapkan.

Sebab kebiasaan itu pula membuatku jarang atau bahkan lupa membawa oleh-oleh untuk teman-teman. Seringkali, ketika ditanyai soal buah tangan, aku memang menjawab jujur tidak ada. Untuk diri sendiri pun aku tak sempat beli. Kadang, ini juga yang membuatku terkesan pelit. Tak sedikit pula teman-teman jadi bersikap biasa saja lantaran mungkin tidak bisa kupenuhi maunya mereka.

Apa boleh buat, seperti itulah aku. Belum paham mengelola uang untuk tujuan lain. Tapi, sesekali aku pernah menyisihkan uang untuk persiapan seandainya ingin memberi hadiah untuk teman. Sayangnya, di tengah jalan, uangnya ludes kupakai untuk keperluan sekolah dan membeli buku. Sulit kubayangkan bagaimana rasanya menjadi teman-temanku. Pasti ada rasa 'enek' ketika menyadari hidupnya harus mengenal orang pelit dan perhitungan seperti ini.

***
Di ruang tunggu bandara itu, aku tiba-tiba merasa ada sepasang mata yang sedari tadi memerhatikan. Kujangkau mataku ke seluruh ruangan. Rupanya, seorang pria yang duduk tidak jauh dariku kedapatan melirik. Penampilannya khas seorang Ayah. Kuterka, usianya hampir lima puluh tahun. Ada rambut putih terlihat dan kulit wajahnya sedikit menurun.

Kulemparkan senyum seadanya dengan sedikit menurunkan kepala ketika mata itu ke arahku lagi. Tiba-tiba, beliau datang menghampiri. Kemudian duduk di depanku. Bisa kulihat jelas wajah beliau yang terlihat sederhana. Senyumnya teduh khas seorang Ayah.

"Dari mana, Nak?," kata beliau menyapa.

"Dari Bogor, Pak. Saya mau ke Jogja," jawabku ramah.

"Oh, saya juga mau ke Jogja. Tempat anak saya di sana," balas Bapak itu.

Kami pun mengobrol cukup lama. Hingga, terdengar suara operator bandara dari alat pengeras suara. Berikutnya diumumkan bahwa pesawat menuju Jogja sudah tiba di bandara dan akan segera berangkat 20 menit lagi. Para penumpang diminta segera naik ke pesawat udara. Perbincangan aku dan beliau tetap berlanjut di lorong menuju pintu masuk pesawat.

Tak lama kemudian, aku sudah duduk rapi di bangku penumpang sesuai nomor kursi di tiket yang kupegang. Aku dan si Bapak terpisah. Beliau duduk di kursi urutan belakang. Kupandangi lapangan bandara itu sebelum lepas landas. Sore itu, langit sarat akan makna. Ditambah, beberapa perkataan si Bapak tadi yang cukup membuatku yakin bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Sekalipun aku sering merasa asing di persimpangan jalan.

"Kamu pergi sendirian? Ke mana-mana sendirian? Tidak takut?," kata Bapak itu yang terngiang.

"Insya Allah tidak takut, Pak. Sekali pun saya harus takut, saya harap bukan takut pada apa atau siapa yang nyata di depan saya. Kalau yang nyata wujudnya, selama saya mampu, saya akan upaya lindungi diri sendiri. Saya harap, saya cukup takut pada apa yang seringnya tidak kelihatan. Pikiran saya. Saya takut sama diri saya sendiri. Takut kalau sampai saya tidak bisa bicara sama diri sendiri," jawabku waktu itu yang membuat wajah si Bapak seketika mengerut.

Dia terlihat berpikir memahami kata-kataku. Aku pun tidak berharap si Bapak paham betul maksudnya. Adalah hal wajar kalau ada orang yang sering tidak paham caraku bicara. Kata teman-teman, aku terlalu kaku. Bicaraku seperti kamus berjalan, baku sekali.

Tapi ternyata, si Bapak kemudian tersenyum. Dia seperti menemukan makna dari jawabanku tadi. Sebelum kami berdiri dan berjalan menuju petugas bandara untuk menunjukkan bukti tiket, beliau menepuk tas punggungku.

"Siapa namamu tadi, Nak?," tanyanya lagi.

"Rizka, Pak. Lengkapnya, Rizka Gusti Anggraini Sitanggang. Ayah saya mualaf. Ibu saya asli Jawa," jawabku lengkap seperti menghapal. Kemudian aku tertawa karena memang sengaja kujawab begitu sekadar bercanda.

"Hahaha mantap sekali jawabanmu," kata beliau ikut tertawa.

"Sore ini, Bapak bersyukur telah dipertemukan dengan Rizka. Rasanya obrolan tadi singkat sekali ya. Saya bahkan berharap pesawat datang lebih lambat sedikit lagi. Tapi pasti bisa diamuk massa seisi bandara ya hahaha," lanjutnya.

"Rizka anak hebat dan berani. Tidak masalah sendiri, ada Tuhan yang menyertai. Suatu hari, Bapak yakin akan ada orang baik yang akan jadi teman perjalananmu nanti. Orang baik yang bukan hanya jadi teman diskusimu, tetapi juga untuk Ibumu. Hidupmu memang berjalan tidak biasa, cukup berat kelihatannya. Tapi kita akan bertemu lagi di waktu yang baik tentunya, kan? Di pertemuan itu nanti, Bapak akan lihat Rizka berdiri jadi orang baik yang bermanfaat luas untuk banyak orang".

Begitulah penutup beliau. Setiba di Jogja dan sebelum berpisah, kami bertukar nomor ponsel.

"Pak, saya akan hubungi Bapak sepulang saya di Medan nanti. Pak, kita akan bertemu di waktu yang baik. Saya akan berdiri jadi orang baik yang bermanfaat bagi orang banyak. Seperti yang Bapak yakini dan doakan," ujarku setengah ingin menangis.

Beliau mengangguk cepat. "Pastikan kamu jaga Ibumu baik-baik. Pastikan kamu bisa berjalan lebih jauh lagi dari hari ini".

Baca Artikel Yang Kamu Suka

3 komentar

  1. Acem baca novel aku bah... Wkwkwkk... Next buat cerita terjebak di prambanan kak.. Wkwk.. Di sertai guntur 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya, ini cerita kejebak di Prambanan ya hahaha. Baiiik, diramu dulu ceritanya yaa. Nanti kakak share linknya kalau sudah jadi :D

      Hapus