Bandara dan Petualangan Baru

Desember 19, 2018

Jika lelah dengan sekian hal yang terjadi di dunia, ingat saja bahwa akan ada dan selalu ada orang-orang yang tetap bisa dekat dengan kita, menganggap kita istimewa, dan menjadi sebaik-baiknya pendengar selain diri kita sendiri.

***
Sudah lama enggak nulis, eh sekalinya nulis enggak lama hehe. Empat bulan terakhir ini, ada beberapa draft tulisan yang aku rasa cukup disimpan saja di laptop. Hmm, sebenarnya bukan karena isinya bersifat privasi, tapi setelah menuangkan unek-unek itu ke dalam tulisan, aku cukupkan sampai disitu dan enggak mau dibagikan. Karena niatnya memang mau cerita dan rasanya cukup beberapa hal aja yang orang lain perlu tahu. Mungkin pengaruh usia atau apa namanya itu, tapi makin kesini aku lebih sering berusaha “mencukupkan diri”. Kalau bukan diri sendiri yang mencukupkan apa yang kita punya, terus siapa lagi kan ya ? hehehe.

13 Desember 2018 kemarin menjadi hari dimana aku melihat Mama lebih kuat dari biasanya. Yang aku tahu, Mama tipikal orang yang gampang nangis. Tapi waktu itu aku enggak lihat itu di wajah Mama. Walaupun di akhir-akhirnya Mama nangis juga sebentar, tapi menurutku ada sesuatu yang ia kuatkan di dalam dirinya. Beda mungkin samaku, yang untuk nangis aja masih bingung harus nangis karena apa. Atau mungkin karena sebelum-sebelumnya uda sering ngerasain kecewa kali ya (ceilah), jadi sampai hambar sama perasaan sendiri. Sedih sedu sedan atau apalah namanya itu, bukan lagi jadi makanan buatku. Kalau dulu, mungkin iya. Kalau sekarang, kayaknya pikir-pikir dulu deh alasan buat nangis.

Ada yang bilang, “udah nangis aja daripada ditahan ntar jadi sakit.. lagian ngapain sih nangis ditahan ? emang hatimu sekuat baja ? itu kan manusiawi”, gitu. Iya sih, enggak salah juga orang lain berpendapat. Enggak salah juga orang lain ngomentari. Tapi mungkin karena di beberapa sikon, ada yang enggak orang lain tahu tentang kita dan kehidupan kita. Bukan beberapa, bahkan banyak. Sulit juga buat kita ngejelasin ke orang-orang tentang apa yang kita rasain, yang kita alami, yang jadi rencana kita (meskipun Allah uda ngatur jalan hidup setiap hamba-Nya), dan yang jadi alasan kenapa kita harus dan nggak harus buat begini-begitu. Kan enggak mungkin juga kita ngomong gini, “kamu tuh harus tau, kalau aku itu bla bla bla.. kamu tuh harus ngerasain apa yang aku rasain”. Ealah, itu orang drama queen banget. Emang dia doang yang punya “kerikil tajam” di hidupnya.

Mau cari sampai ke ujung dunia pun, yang tahu siapa kita dan apa yang harus kita ambil, itu ya cuma diri kita sendiri. Enggak perlu nambah beban hidup orang lain dengan minta orang lain untuk ngertiin hidup kita lagi. Kalau mau berbagi, sok atuh berbagi. Tapi ya jangan jatuh-jatuhnya malah minta diurusin segala macemnya, itu namanya kan nyusahin orang lain ya. Beda halnya dengan meminta bantuan atau pertolongan orang lain. Secara definisi dan praktiknya, jelas berbeda. Perlu dijelasin banget nih ? Hmm kayaknya enggak usah ya, bisa googling juga kan hehe.

Eh balik ke cerita awal. Hari Kamis pekan lalu pun jadi hari dimana aku jadi lebih kuat dari biasanya. Keberangkatan pukul 11.05 WIB dari Bandara Kualanamu itu rasanya jadi penerbangan kesekian yang berat sekali. Tapi aku mencoba untuk enggak nunjukkin itu di depan Mama dan keluarga lainnya yang ikut mengantarkan. Ada adik-adikku (sepupu) yang masih kecil-kecil. Aku yang gengsi ini, enggak mau kelihatan lemah di depan adik-adik. Ya dong, kakak masih nangis sih! (padahal uda mau lari ke kamar mandi, mau mewek hehe).

Tapi emang bener, apa yang ada di pikiran kita, itu juga yang bakal keluar sebagai wujud kepribadian diri kita. Jadi, bijaklah sedari berpikir, supaya yang keluar dari diri kita juga sesuai dengan apa yang ada di pikiran kita. Kalau aku nyebutnya semacam energi positif yang harus selalu ada, sekalipun kadarnya dikit banget. Ya aku mah apa atuh, masih harus di ayo-ayoin biar semangat hahaha (let say di beberapa hal doang kok). Nah, di momen ini pun aku terapkan ke diri sendiri. 

Terhitung sejak dua hari sebelum berangkat, aku mulai nyiapin mental yang lebih matang. Beresin kerjaan rumah kayak biasanya, rapiin meja belajar, buku-buku dan lemari, ganti seprei kasur, setrikain baju (dua hari itu jadi momen aku nyetrika baju orang-orang rumah sebelum berangkat, terus nyambil setrika ku bayangin ini siapa ya yang nyetrikain baju kalau aku pergi nanti), sampai ngabisin lebih banyak waktu buat main sama adik-adik. Sampai aku nulis ini, jujur aku kangen sama adik-adik, biasanya aku yang hobi marah kalau mereka ganggu aku lagi belajar dan tiba-tiba nyelonong aja masuk ke kamar. Kangen tingkah mereka yang tiap pagi pamitan sebelum ke sekolah, terus malamnya gangguin aku belajar sampai merengek minta belajar bareng.

Energi positif yang uda aku bangun dari beberapa hari sebelum berangkat pun akhirnya terealisasi di momen keberangkatan itu. Sampai Ibuku (adik iparnya Mama) ngomong gini, “ah nggak seru ah, Kak Ika masa nggak nangis sih mau pergi merantau”. Terus aku balas sederhana banget, “uda diniatkan buat nggak nangis, Bu”. Alhamdulillah, hatiku pun lebih lempang ngelepas Mama, adik-adik, dan semuanya. Hatiku cuma lebih banyak berdoa mulai dari boarding, jalan menuju Gate 10 (pintu menuju maskapai yang akan bawa aku terbang kali itu hehe), sampai aku duduk di kursi 27F sambil memandang landasan Kualanamu dari balik jendela pesawat. Yak, aku terbang.. meninggalkan rumah lebih lama.. merantau.

Keputusan untuk merantau pun sudah aku usung sedari semester akhir di bangku kuliah. Keinginan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, aku punya rencana melanjutkan studi. Aku enggak mau membebankan Mama atas keinginanku yang satu itu. Jadi, aku memutuskan untuk berkarir dulu di tanah rantau. Sembari mengumpulkan pundi-pundi harta karun dan sejenisnya (ceilah), nantinya aku juga punya persiapan lebih fokus secara mental dan finansial, karena kalau diizinkan Allah sekolah lagi toh kan aku bakal hidup sendiri juga di tanah rantau (dimanapun itu nanti, Bismillah aja dulu). Yang penting, niat harus diluruskan. Insya Allah semesta mendukung. Duh, aku deg-degan nulis di bagian ini hahaha.

Selain itu, aku pun ingin belajar lebih mandiri, mengurus diri sendiri, membangun keberanian, memperbanyak saudara di bumi Allah, dan semoga Allah selalu menjadi nomor satu dari setiap hal yang aku kerjakan dan aku niatkan. Hidup sendiri di tanah rantau. Enggak ada tuh yang ingetin langsung biar enggak telat makan, ingetin sholatnya supaya jangan dilama-lamain, sampai ingetin buat belajar masak (ini tugas penting buat aku, kudu harus wajib bisa masak yang enak). Biasanya, itu semua dilakukan oleh Mama –si superwoman yang kerennya enggak abis-abis.

Pesan dari teman-temanku sebelum aku berangkat, “Rizka, jangan pernah berubah. Tetap jadi Rizka seperti yang kami kenal. Rizka yang kami kenal ramah dan nggak mandang oranglain dari kasta apapun. Rizka yang sederhana dari berpikir dan berpenampilan. Rizka yang humble, kuat, dan nggak gampang nangis sekalipun kondisinya berat. Kalau sedih, kita selalu ada buat dengerin cerita Rizka. Kalau kangen, pulang ya.. jangan ditahan sendiri kangennya. Tetap waspada, hati-hati sama orang yang baru dikenal. Kami semua selalu nunggu Rizka pulang, buat sharing pengalaman dan ilmunya. Kami bakal kangen, Riz!”

Aamiin Aamiin Aamiin, Masya Allah aku terharu huhu. Kan, mau nangis dong ini  hmm. Terima kasih banyak buat teman-teman, adik-adik, kakak-abang, dan semuanya. Maafin kalau ada salah-salah yang disengaja ataupun enggak. Karena katanya, salah satu langkah supaya rezeki kita lancar adalah dengan lebih banyak meminta maaf atas kesalahan yang selama ini sengaja atau enggak sengaja kita perbuat. Biar pintu rezeki terbuka dengan lempang. Insya Allah, siapapun yang baca ini dan pernah hadir dalam kehidupan Rizka (ceilah), mohon dimaafkan yah. Kalau masih sulit memaafkan, boleh kali diobrolin ke aku. Ntar kita makan bareng di warung, kamu makan sepuasnya, aku bayarin (nyogok dong ini namanya hahaha abaikan).

Hah, enggak terasa sudah hampir satu pekan aku disini. Kamar kos sederhana ukuran 3x2 ini bakal jadi saksi seorang anak muda yang dengan niat untuk sekolah, rela jauh-jauh ninggalin rumah.. ninggalin Ibunya.. ninggalin adik-adiknya.. ninggalin semua kenyamanan di tempat yang paling nyaman sampai kapanpun (baca: rumah). Semoga hijrah dan ikhtiarnya jadi berkah ya, Riz. Iya, udah udah jangan diterusin, nanti nangis hmm.

Bandara dan petualangan baru. Uda cocok kan antara judul sama isinya ? Cocokin aja deh ya, maklum ini nulisnya juga dari jam 3 pagi. Baiklah, selamat berpetualang, Rizka! Aku yakin, dengan meninggalkan rumah.. akan ada rumah-rumah berikutnya yang Allah hadirkan untukku dalam bentuk keluarga dan sanak saudara baru di tanah rantau. Baik-baik jaga diri, jaga kesehatan, jaga lingkungan, dan jaga hati ya (eh tunggu, ini jaga hati buat siapa ? hmm hmm hmm.. buat yang akan datang di waktu yang tepat aja deh, siapapun itu.. buat kalian yang lagi baca ini juga boleh kok hihi ).

Sampai ketemu lagi di cerita berikutnya! Dadaaah..

---
[Jakarta, 19 Desember 2018, pukul 05.46 WIB]
Di kamar kos sambil menunggu kakak-kakak kos yang lain pada bangun.

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar