Satu Paket Sudut Pandang
Juli 30, 2019
Setiap detik seseorang bisa menjadi orang yang baru. Setiap detik seseorang bisa menjadi mesin waktu.
Boleh dibilang, ini murni 'random thought' versi anak usia 22 tahun. Iseng saja sebenarnya dan nggak ada isi yang terlalu serius, menurut saya. Satu paket sudut pandang, seperti tertulis di judul tulisan ini, berawal dari pikiran liar yang setiap malam selalu bertambah. Bingung juga mau mulainya dari mana.
Belakangan ini, saya -mungkin bukan cuma saya- merasa seperti seorang pemain sepak bola tanpa 'supporter'. Entah karena saya yang tidak peka atau bagaimana, yang jelas saya semakin sulit terbuka pada orang-orang baru. Terkesan eksklusif ya? Iya, mungkin seperti itu.
"Semestaku semakin mengecil," kata-kata ini kerap berputar di kepala. Sungguh, pernah ada rasa takut setiap kali kalimat itu terlintas. Tapi nampaknya, itu memang tidak bisa dipungkiri. Beberapa kali saya merasa hidup saya benar-benar hidup. Hidung saya lega setiap kali menghirup nikmat udara. Meski berjalan sendiri, saya tidak masalah. Meski tidak ada pendukung yang bersorak-sorai, toh saya baik-baik saja.
Ada satu titik ketika saya merasa seperti tali layang-layang. Tarik ulur dengan realita dan masa lalu. Beruntungnya, belum lama ini saya telah menuntaskan 'utang' di masa lalu. Utang itu adalah cerita lampau yang sering membuat emosi saya naik-turun. Saya tidak punya tempat untuk menuangkan itu. Sekalipun ada, saya memilih tidak membagikannya secara cuma-cuma karena yang tahu caranya cuma saya sendiri. Jadi, untuk apa berbagi?
Hal-hal tidak terduga selalu hadir di depan saya tanpa ketuk pintu terlebih dahulu. Ia masuk begitu saja, nyelonong dan duduk sesuka hati di mana saja yang ia mau. Sebuah kesialan karena saya seringkali tidak punya persiapan. Kaget pasti. Tapi setelah berhasil melaluinya, saya diberi kebebasan memetik 'buah' mana yang saya mau dan dibawa 'pulang' untuk bekal.
Saya sulit terbuka, padahal dulu saya dikenal sangat cerewet. Saya pikir, "ah, sudahlah, mending aku tidur saja." Benar, hari-hari saya dipenuhi penat. Untuk protes pada ketidakadilan yang sering saya lihat di jalanan pun sulit saya komentari. Paling-paling, saya cuma ngomel sendiri di buku catatan, hanya supaya hati saya baik-baik saja.
Tidak bisa sesuka hati. Meskipun takdir sering datang sesuka hati, tapi saya tidak bisa sesuka hati itu pula. Lagi-lagi, ada yang tidak adil di sini. Tapi nggak apa-apa, justru dari sini saya belajar menjadi orang asing setiap hari. Saya seperti buah, perlu dikupas kulitnya dengan rapi untuk tahu rasa buahnya manis atau tidak. Saya perlu dikupas habis oleh si takdir itu, supaya ke depannya saya tahu rasa manis dan pahit. Supaya saya tidak merasa cuma hidup saya yang keras. Semua orang tengah berjuang, kau harus tahu itu.
Semua rencana dirombak habis. Habis-habisan. Inilah patah hati kedua yang saya punya setelah patah hati pertama kehilangan Bapak. Kau tahu, rasanya tak terbilang. Setengah mati saya kecewa pada takdir. Sungguh, saya berani bersumpah. Tapi sejak itu, saya tahu bagaimana mengobati luka saya sendiri, kemudian berdiri lagi, dan berlari dengan jujur dimulai dari garis awal. Sejak itu, saya tahu bagaimana tumbuh menjadi dewasa. Meski ini tak pernah saya minta, tapi beginilah cara Tuhan menjawab doa-doa saya. Jalannya terjal sekali, Kawan, dan sekali lagi kau harus tahu itu.
Tak pernah terpikir untuk membuat orang lain kagum. Ini receh. Suatu hari -belum lama ini-, saya tulis dalam buku catatan, "mengapa banyak sekali orang yang memuji, tapi sedikit sekali orang yang menawarkanmu pedang?". Artinya, orang-orang yang memberi pujian itu saya anggap hanya lalu. Sebaliknya, orang yang menawarkan saya pedang adalah sahabat karib. Saya berteman padanya, sekalipun dia tidak pernah meminta untuk menjadi teman saya.
Jujur pada diri sendiri itu seperti harta karun. Penemuan baru saya ini sangat mengobati luka. Saya pikir, masih sedikit orang yang punya ini karena kebanyakan orang mulai hidup untuk menuruti tingginya permintaan orang lain padanya. Orang-orang berbondong membuat dirinya seperti cermin untuk orang lain. Semua ramai minta dilihat, diperhatikan, diselamatkan, diabadikan, hingga disanjung. Padahal, hakikat hidup sebagai makhluk sosial tidak seperti itu? Iya, kan? Coba koreksi jika saya salah.
Bahagia saya sederhana. Bahagia saya adalah Ibu. Bahagia saya adalah adik-adik. Bahagia saya adalah berjalan sendiri, menikmati udara segar, tertawa tanpa ragu, dan bersyukur setiap hari. Bahagia saya adalah setiap kali bercerita pada-Nya selagi mampu, tentang apapun. Bahagia saya adalah memandang apa saja yang membuat orang lain bahagia. Bahagia saya adalah mendoakan kebahagiaan orang lain, karena itu sudah cukup.
0 komentar