Maafkan Ibu, Cita-Citamu Belum Tercapai

September 09, 2019



Sejak Ibu dikabarkan sakit pada Februari 2019, aku menjadi orang yang sensitif dengan kata ‘Ibu’. Meski demikian, aku berusaha menjadi orang yang periang, seperti orang-orang menilai di perkenalan pertama. Di sini, aku belajar cara melakoni peran ketika menjadi orang dewasa, anak remaja, kakak, adik, atau bahkan bisa jadi saingan bagi orang lain. Bukankah hidup ini panggung sandiwara di mana setiap orang diberi peran masing-masing?

Bicara soal Ibu, kalau boleh dibilang, aku dan Ibu menjadi lebih dekat semenjak Bapak meninggal. Karena aku anak satu-satunya dan perempuan pula, maka aku mawas diri bahwa sepeninggal Bapak, hidupku bergantung pada diriku sendiri. Kendati begitu, aku tetap manusia biasa yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Namun kuharap dan berdoa, selagi diriku mampu, semoga aku tidak jadi orang yang merepotkan orang lain, barang sekecil apapun itu.

Judul tulisan ini ada kaitannya dengan perkataan Ibu. Lebih tepatnya, itu memang perkataan Ibu. Ya, Ibu minta maaf berkali-kali padaku, bahkan sampai detik ini jika pembahasan itu tak sengaja jadi bahan obrolan kami berdua. Ibu minta maaf, sebab dia merasa bersalah lantaran aku memutuskan pulang dari tanah perantauan, demi merawat Ibu di kampung halaman.

Pikirku, untuk apa dapat pekerjaan hebat di kota orang, tapi Ibu sendiri aku harus berpikir dua kali. Maka kuputuskan pulang, setidaknya sampai kondisi Ibu cukup membaik, kalaupun nanti aku ingin melanjutkan perantauan lagi.

Memang, keinginan untuk merantau lagi sangatlah besar. Tujuanku tidak muluk-muluk, aku hanya ingin sekolah lagi. Itu saja. Setelah sekolah selesai, aku berniat ingin pulang ke kampung halaman lagi dan mencari pekerjaan layak di sini. Tapi ternyata, Allah berkata lain, dan memintaku menjeda cita-cita itu. Ada tugas lebih penting daripada itu.

Sejak itulah, Ibu merasa punya salah besar pada anaknya. Sudah kubilang, tidak apa-apa. Tapi ternyata itu jadi pikiran Ibu berhari-hari, sampai hari ini. “Maaf ya, Nak, cita-citamu untuk lanjut sekolah belum tercapai,” kata Ibu.

Kondisi Ibu sekarang sudah cukup membaik, Alhamdulillah. Hanya, tanpa Ibu sadari atau tidak, sejak kejadian Ibu operasi saat aku masih di perantauan, itu jadi pukulan telak buat anaknya. Aku jadi lebih tertutup pada siapapun, meski kalau orang-orang melihat sepertinya biasa saja. Tapi bukankah kesedihan memang sebaiknya tidak perlu diumbar-umbar toh? Sedih dan bahagia itu tidak jauh berbeda, bahkan hampir mirip. Datangnya suka tiba-tiba, terkadang tanpa harus ada alasan, dan tidak baik kalau diumbar ke banyak orang.

Beberapa tulisan terakhir di blog memang isinya tidak jauh-jauh dari ini, sedikit banyaknya hampir mengarah kepada hal yang sama. Semua tentang ‘kapal berlayar’, terkena ombak pasang-surut, berpegangan pada poros kompas, dan melaju dengan berani. Hebat betul ‘kapal’ itu kalau seandainya bisa berlabuh dengan selamat, tidak hancur. Aku mau seperti itu!

Kalau boleh aku bercerita, setiap Minggu aku punya satu kebiasaan yang tidak pernah kuceritakan pada Ibu sejak kepulanganku dari perantauan. Setiap Minggu pagi, aku sempatkan bertandang ke ‘rumah’ Bapak. Letaknya paling sudut sebelah kanan, tepat di bawah pohon rimbun. Rumah Bapak teduh betul, andai kau tahu. Dindingnya semua terlapis warna putih, sesuai permintaan Bapak. Tanpa bunga dan air, aku datang saja sekadar mampir. Di balik nisan yang tersemat namanya itu, aku berbisik, “Pak, bagaimana satu pekanmu? Aku baik-baik saja. Pekerjaanku pun baik-baik saja. Semoga pekanmu juga begitu baik ya, Pak.”

Di ujung nisannya, aku berjongkok dengan menadahkan kedua tangan. Beberapa hafalan yang mulai kudapat dari Ummi (guru mengajiku setiap Minggu), kulafalkan untuk keteduhan Bapak di rumahnya. Bapak dengar, Bapak rasa. Sebelum ku tutup doaku, pesan yang selalu ku sematkan, “Allah Satu Yang Maha Tahu, aku ingin sekolah lagi, mewujudkan cita-cita Bapak yang satu itu. Supaya Ibu tidak merasa bersalah lagi pada anaknya. Tolong, bantu dan bimbing aku untuk melangkah lagi.”

Setiap kali pulang dari persinggahan itu, aku merasa lega. Mungkin, rasa bersalah Ibu akan sulit terobati, sampai akhirnya nanti aku benar-benar bisa sekolah lagi. Semoga Allah jabah doa Ibu.

Satu lagi, belum lama ini Ibu berpesan banyak untukku yang sudah semakin dewasa. Kata Ibu, “Sekiranya ada yang berniat baik padamu, izinkan dia datang ke rumah ya, Ibu mau lihat dulu. Jangan tutup hatimu, jangan pikirkan juga kesendirian Ibu. Cukup cita-cita sekolahmu yang tertunda, tapi urusan hatimu jangan. Itu manusiawi, anak Ibu juga butuh teman bertukar pikiran, kan? Masa mau terus-terusan cerita sama ibu-ibu begini sih.”

Ibuku, begitulah wataknya. Berbeda sangat jauh daripada anaknya. Aku lebih tertutup, sementara Ibu sangat terbuka. Aku mampu menahan tangis, tapi Ibu tak bisa bendung air matanya. Aku suka hal-hal unik dan menantang, Ibu justru suka hal-hal pasti dan kerap menghindari bahaya. Aku punya segudang pertanyaan, sementara Ibu memilih zona nyaman.

Untuk Ibu, aku sudah tidak apa-apa. Jangan lagi meminta maaf, sebab bukan salahmu juga. Aku diminta belajar lagi, kurasa Dia sedang memberiku soal-soal ujian lanjutan, tapi belum tahu kapan soal itu akan dibagikan. Kuharap, aku bisa menjawab setiap soal, sekalipun itu yang tersulit. Sekarang ini, sedang kucari kisi-kisi untuk menjawab soal itu. Aku mulai tahu caranya, sedikit  lagi hampir sampai. Doakan aku, itu saja sudah lebih dari cukup.

Ibu, sehat-sehatlah selalu. Jangan khawatir, anakmu akan segera sekolah lagi dalam waktu dekat. Percaya. Bukankah Dia selalu jadi yang utama? Bukankah Dia selalu punya kejutan?

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar