Aku Ingin

November 13, 2019



Hai November, kita ketemu lagi! Sebulan ini ada banyak sekali cerita yang aku tuliskan di buku harian. Awalnya, ingin kuceritakan juga di sini. Tapi sayangnya, aku tidak seberani itu. Pengecut ya namanya? Ah, entahlah apa namanya itu. Ku urungkan niat untuk membongkar itu semua di sini karena ku pikir tidak semua hal harus selalu diungkapkan. Toh seiring waktu berjalan, bakal kelupaan juga sih kalau memang itu sebenarnya enggak penting-penting amat.

Dalam sebulan terakhir, rasanya campur aduk. Kau tahu kenapa, Kawan? Itu semua karena pikiranku sendiri. Padahal tidak ada yang benar-benar ribet di dunia ini. Yang ribet itu, cuma apa yang ada di dalam otak manusia. Keterbatasan sebagai manusia justru mendorong manusia itu sendiri untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi di masa depan.

Keinginan ini dan itu dibangun sedemikian tinggi, seperti mimpi anak-anak negeri lima menara. Tinggi sekali, membumbung sampai ke langit. Bisa tidak kau gapai itu? Jawabannya, belum tentu. Yang sekali-kali kau rasa mampu, nyatanya bukan itu yang terbaik. Kau rasa mampu sekali, tak serta-merta jadi milikmu begitu mudah.

Aku ingin. Inginku besar sekali, seperti hari-hariku yang megah karena lebih banyak berbesar hati. Kau tau mengapa harus demikian? Karena kalau tidak begitu, aku tidak bisa merawat diri. Inginku banyak sekali, seolah yakin matahari pagi esok hari masih setia jadi penanda bahwa aku masih numpang di Bumi.

Petualangan besar adalah inginku. Meski besar-kecil itu relatif dan besar dalam artianku berbeda. Aku ingin berpetualang besar hingga aku sendiri lelah, kehabisan bensin, minta istirahat. Tapi ada ketakutan bersemayam. Kau tau apa itu? Itu adalah kodrat.

Terlahir sebagai perempuan adalah kodratku, walau aku tak pernah meminta atau menolaknya. Aku bersyukur. Karena dengan mengingat kodrat, inginku jadi punya batas. Inginku jadi punya prioritas, inginku tidak sembarangan dibangun, inginku ada alasan dan nanti inginku pasti akan ada habisnya. Habis, tepatnya ketika ruh tidak lagi bisa mengerdipkan mata atau mengendus bau dengan hidung.

Dicintai adalah inginku, demikian kata kodratku, walau aku tak pernah bilang begitu. Tapi aku juga enggan membantahnya. Setidaknya kalau pun boleh meminta, aku ingin segala sesuatu terbagi sesuai porsi. Begitu pula dengan hari-hari di mana nanti aku akan bilang, "kita terlahir di dunia sebagai manusia dan segala persoalannya di Bumi, bisakah kita berjalan bersama tanpa harus ada pengakuan 'aku' atau pun 'kau'?"

Bergandengan dan sejajar adalah inginku berikutnya. Sebab bagiku, semua manusia itu sama di hadapan Tuhan. Aku ingin, manusia tidak bercerai-berai karena ego. Cukuplah hanya Javasentris milik Ibu Pertiwi yang sulit ditebak apa maunya. Ia diperhatikan tapi seolah 'tidak tahu berterima kasih'. Bak anak emas, apa-apa dituruti dan apa-apa diramaikan.

Dari semua inginku, menjadi bahagia ada di urutan puncak. Perasaan campur aduk, mimpi membumbung tinggi, petualangan besar, kodrat, bagi-membagi, kewajiban-hak-tanggung jawab, dan sebagainya, bermuara pada satu tujuan. Untuk menjadi manusia yang bahagia. Bahagia bagiku adalah bebas. Aku ingin bebas meramu dan menyusun bahagia. Menanam benih seluas-luasnya, lalu memetik ia di kemudian hari.

Aku ingin. Sungguh, aku benar-benar ingin.

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar