Zona Nyaman
Desember 04, 2019
Bicara soal zona nyaman, sekarang ini aku sedang berada di fase itu. Gara-gara terlalu nyaman, alhasil diri pun jadi ikut terlena. Kata beberapa orang sih, kondisi semacam ini kurang baik untuk perkembangan diri. Kita jadi orang yang stagnan dan cenderung malas memulai hal baru.
Dari sekian banyak hal itu, salah satu yang berpengaruh besar adalah pekerjaan. Saat ini, aku menjalani jam kerja teratur. Masuk jam 9 pagi, pulangnya jam 5 sore. Kerja dari Senin sampai Sabtu, kadang-kadang dapat rotasi masuk di hari Minggu.
Bukan maksud membandingkan, tapi memang pekerjaan saat ini jauh berbeda dari profesi sebelumnya. Dulu bekerja sebagai reporter tidak ada istilah 'istirahat'. Kalau sudah ada berita, kudu dikejar tuh narasumbernya.
Bahkan, aku pernah memaksakan diri turun ke lapangan dengan kondisi sakit dan kaki habis jadi korban pukulan massa saat liputan sehari sebelumnya. Waktu itu, aku diberi amanah meliput peresmian MRT Jakarta oleh Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bayangin, gimana ramenya itu Bundaran HI dengan lautan manusia ibu kota.
Ketika itu, aku tenggelam di antara manusia-manusia yang sibuk ingin swafoto dengan Presiden dan beberapa artis yang turut hadir memeriahkan. Mereka berdesakan tak kenal kiri-kanan. Semua diterobos. Nahasnya, kakiku jadi korban. Alat perekam suara yang kupegang terlepas dari tangan, terinjak-injak, rusak.
Yang terpikirku saat itu adalah menyelamatkan teman-teman wartawan TV yang punya alat lebih besar di bagian belakang. Jangan sampai kena korban juga. Posisiku paling depan, tepatnya setengah berlutut di depan Presiden yang terhalang garis pembatas bertuliskan 'PERS'.
Akibat kejadian itu, aku tak kuat berjalan karena kaki luka. Aku pun harus digotong wartawan lain. Aku hubungi redaktur dan dia minta agar aku rotasi dengan reporter lain. Tapi ya namanya otak bebal, aku tetap meyakini diriku masih mampu. Sampai akhirnya, malam hari tiba di kamar kos dan aku meringis kesakitan.
Begitulah sedikit cerita kilas balik dari pekerjaanku dulu. Hingga karena kondisi ibu menurun, aku pun pulang ke Medan. Niatnya, untuk sementara waktu sampai ibu pulih.
Dan kini, aku menggeluti pekerjaan baru, masih di bidang tulis-menulis juga. Bedanya, ini tidak turun ke lapangan. Hampir tidak ada interaksi dengan orang-orang di luar selama jam kerja, melainkan mentok di kantor saja.
Bisa bayangkan, bagaimana kakiku gatal sekali ingin keluar setiap kali otak merasa butuh udara segar. Tapi, itu semua ku urungkan dan ku tahan. Ya selain pinggang sakit juga, pikiran pun tak karuan. Kata orang, capek pikiran itu justru lebih melelahkan ketimbang capek fisik. Benarkah?
Kembali lagi bicara soal zona nyaman. Kalau boleh jujur, aku belum menemukan apa yang sering orang bilang 'bekerja untuk kepuasan batin'. Lingkungan kerja boleh saja baik, pekerjaan boleh saja nyaman, tapi bagaimana kalau ternyata hati tidak merasa 'penuh'?
Intinya, aku bekerja mengejar waktu, bukan menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Dengan waktu kerja 8 jam sehari, aku dituntut untuk bekerja secepat dan sebanyak mungkin. Soal kualitas, itu menyusul dengan banyaknya jumlah. Bisakah kau bayangkan itu, Kawan?
Ini masih ceritaku dan kau belum dengar saja cerita dari teman-teman yang lain. Mereka punya 'kepelikan' sendiri juga. Bahkan, mereka yang lebih dulu menggeluti pekerjaan itu pun menyimpan suka-duka di dalam hati. Sebagian sudah aku dengar secara langsung, tapi pasti ada banyak lagi yang aku tak tau. Toh, tidak semua harus diumbar, kan?
Sementara sisi lainnya, aku menemukan keluarga baru di sini. Mereka sangat baik. Aku merasa punya abang dan kakak, karena aku sendiri anak tunggal. Tapi aku tau, mereka memiliki beban hidup masing-masing. Jadi, tak etis rasanya kalau aku ingin banyak curhat ini dan itu, seperti halnya orang lain bisa curhat ke kakak atau abangnya.
Maklum, sedari kecil aku tak pernah merasakan punya saudara kandung. Tempat curhat terpercayaku adalah Bapak. Itu pun Bapak 'berpulang' duluan saat usiaku 15 tahun. Sejak itu, aku berupaya menjadi wadah bercerita untuk ibu dan keluarga lain.
Ceritaku sendiri sering kutuangkan di buku harian atau membiarkannya hilang begitu saja. Karena lama-lama kupikir, ceritaku ternyata tidak sepenting itu juga untuk diketahui banyak orang. Orang tak pernah benar-benar tahu tentang proses yang dijalani. Kau harus sadari itu juga ya :)
Implementasi 'berdikari' itu pun ternyata tak semudah slogan yang bergaung di mana-mana. Egomu harus berani kau gantungkan. Kalau tidak, kau tenggelam dengan perasaan dan pikiran 'susah'-mu sendiri. Sementara, orang lain di luar sana sudah bergerak sekian langkah. Kita tertinggal.
Balik lagi ke topik. Sepanjang pernah bekerja sejak duduk di bangku sekolah, ini adalah zona nyamanku. Bila dibiarkan lama, ini tak baik untuk diriku sendiri. Seberapa lama aku bisa bertahan di sini pun tidak ada yang tahu.
Hikmahnya, kalau tidak begini, aku pasti akan menganggap segala sesuatu bisa berjalan seperti inginku saja. Padahal, hidup ini kan ada timbal-balik. Salah satunya, kita tak bisa memprediksi apapun takdir Tuhan. Semua sudah digariskan sedemikian rupa.
Pun kalau tak merasakan pengalaman begini, mana mungkin aku bisa menyelesaikan tulisan ini. Seandainya pun bisa, pasti kebanyakan isinya adalah hoax atau khayalan kan haha. Tak apalah, ini artinya aku diminta belajar 'membaca situasi'. Mungkin, ini juga langkah supaya aku semakin dewasa dalam berpikir dan bertindak.
Zona nyaman memang tak benar-benar menyenangkan. Hidup seolah berjalan biasa saja. Hampir tidak ada tantangan yang membuat kualitas diri meningkat. Hanya kupikir, zona ini perlu dirasakan setiap orang agar lebih banyak menghargai serta bersyukur.
Yang mungkin terlalu banyak bicara, bisa mengurangi kadarnya. Yang mungkin terlalu sering bercanda, ada baiknya diseimbangkan dengan hal bermanfaat lain.
Hidup ini memang pilihan, tapi tidak selamanya hanya baik dan buruk.
Ada pula yang tidak pernah absen hadir dalam mimpi.
Adalah niat, kemauan, dan usaha sungguh-sungguh.
You know, I'm not everything I want to be.
But I'm more than I was, and I'm still learning.
I have used to be real :)
Medan, 4 Desember 2019.
Meja belajar Rizka.
0 komentar