Nggak Terasa, Sudah Setahun

Desember 25, 2019


“Karena membahagiakan semua orang adalah mustahil. Maka logikanya, kita punya hak untuk memilih orang yang akan kita bahagiakan" (Tulus via Tumblr @palawija)

Kurang lebih seminggu lalu itu tepat 1 tahun aku meninggalkan Instagram. Ternyata, waktu setahun itu enggak lama loh. Nggak berasa malahan. Tau-taunya uda mau akhir tahun 2019 aja. Eh Januari 2020 bakal berusia 23 tahun pula. Semoga umurku sampai ya untuk terus berkontemplasi setiap tahunnya. Aamiin.

Di tulisan ini, aku pengin kontemplasi sedikit tentang setahun yang kulewati tanpa Instagram. Kenapa cuma Instagram sih? Iya, karena menurutku di sana semua orang bebas membagi apa  pun yang dia inginkan. Tentang hidupnya, kegiatannya, apa saja kepada publik, baik yang dikenal maupun tidak dikenal.

Alasan kuat mengapa aku hengkang (ceilah bahasanya) dari Instagram sejak setahun lalu karena sedang menghadapi masa-masa berat. Emang seberat apa sih? Ya, definisi berat di tiap orang beda-beda ya. Tapi, ini soal keluarga dan yang terberat adalah jati diri.

Terus selama setahun ini sudah menemukan jati diri? Hmm, belum dikatakan sudah, tapi seenggaknya mulai terarah mau ke mana. Pun yang terpenting, kali ini lebih realistis dan mendewasa (tjakep!).

Semula, aku pikir kalau meninggalkan Instagram akan membuatku ketinggalan informasi ini dan itu. Ternyata, memang iya! Eh tapi, informasi yang bagaiman dulu nih? Kalau informasi soal kehidupan orang lain sudah jelas aku tidak tau apa-apa lagi. Kalau pun tau, paling secara kebetulan tau dari teman-teman dekat pas lagi ngumpul.

"Eh si anu tuh sekarang begini ya, begitu ya, tau nggak Riz?"
"Enggak", jawabku singkat yang kemudian diikuti dengan menyimak cerita teman-teman sambil ngangguk dan ketawa kalau emang ada yang lucu.

Saking serunya dengar cerita mereka, aku seringkali kehilangan selera buat cerita. Giliran diminta buat cerita, aku bingung mau mulai dari mana. Soalnya, ceritaku ya begitu-begitu aja, shay. Kurasa, mereka juga tidak begitu tertarik mendengarkan. Tidak ada yang terlalu istimewa untuk dibagikan.

Oh ya, semenjak tidak main Instagram lagi, beberapa teman kuliah, junior kuliah, sampai senior kuliah menghubungiku lewat Whatsapp. Atau pernah juga ada yang telepon dan SMS. Hampir semuanya menanyakan hal serupa.

"Riz, ke mana aja selama ini? Kok tulisannya uda nggak pernah lagi muncul di story Instagram?"
"Riz, apa kabar sih? Kangen loh sama tulisan-tulisanmu dan cerita yang sering kau masukkan di story IG. Nggak bikin Writing Project lagi? Bikin dong, mau berkarya nih"
"Baik-baik aja kan, Riz? Kalau ada apa-apa itu jangan biasain dipendam dan diselesaikan sendirian dong. Dibagi ke kami, siapa tau kami bisa bantu"

Kurang lebih intinya begitu. Aku dari lubuk hati paling dalam, mau bilang terima kasih sebesar-besarnya buat teman-teman semua yang sudah baik menawarkan diri beserta bantuannya. 

Tapi aku bukan tidak mau terima bantuan, apalagi untuk cerita secara detil. Aku cuma pengin ngasih kesempatan ke diri sendiri untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan mengikuti kata hati. Karena, aku percaya betul kalau kata hati itu tidak pernah mengkhianati.

Setahun terakhir ini banyak betul hal yang mengubah cara pandangku tentang hidup. Terutama, bagaimana bahagia menjalani hidup dengan versi terbaik diri sendiri. Aku tidak lagi harus memulai dan mengakhiri hari berdasarkan penilaian orang lain.

Semua penilaian orang lain itu nomor kesekian, meskipun beberapa di antaranya pasti berguna untuk bahan evaluasi diri (kalau memang itu positif). Aku punya kadar bahagia sendiri, walau di depan orang mungkin harus 'pandai-pandai' menyesuaikan peran. Kapan harus jadi sekadar teman, kawan mengobrol, rekan bercanda, seorang pekerja, sebagai anak, dan peran lainnya.

Jadi orang dewasa itu kadang ribet ya, perannya banyak banget. Tapi kalau bisa mengelola peran, sepertinya semua keribetan itu bakal jadi hal seru dan menantang. Percaya nggak? Aku percaya hehe. Cuma, sekarang aku sendiri lagi belajar untuk hal itu. Terus belajar sih lebih tepatnya. Baca situasi. Semoga dimampukan!

Terus satu lagi, setahun terakhir ini aku belajar untuk sebisa mungkin tidak mengungkit atau mengingat apa pun yang sudah dilakukan ke orang lain. Karena, aku pernah digituin dan rasanya enggak enak cuy! 

Ketika kita nggak pernah hitung-hitungan ke orang lain, ternyata orang lain hitung-hitungan ke kita. Nah, giliran dia punya masalah, dia mengungkit semua yang selama ini pernah dikasih ke kita. Bahkan, kita sendiri pun tak pernah meminta itu darinya. Ini bikin bingung.

Yang lebih sakitnya, dia menyesalkan dirinya sendiri karena sudah meluangkan waktu untuk sekadar mendengar cerita kita pada waktu-waktu sebelumnya. Padahal, itu pun kita tidak pernah minta, melainkan dia menawarkan diri. Bodohnya, kenapa ya waktu itu aku mau cerita ke dia? hahaha skip skip skip!

Pengalaman itulah yang membuatku seringkali enggan buat cerita, sekalipun dalam hati sangat ingin. Sekarang, kalau pun cerita ke orang lain, itu lebih ke nanya pendapat. Karena aku masih fakir ilmu dan pengalaman, jadi pasti perlu insight dari orang-orang yang usianya lebih tua di atasku. 

Mereka pasti punya jam terbang dan cara pandang lebih kritis dalam hal mengambil keputusan ini itu. Kerennya, aku bisa menemukan pendapat unik nan berbeda dari mereka. Di sini pula, aku belajar bagaimana membuat proporsi atas hidupku sendiri. Toh, pendapat nggak ada yang salah kan. Semuanya oke, tinggal disesuaikan aja sama kebutuhan diri sendiri.

Terus, aku sekarang belajar perbanyak mengingat kebaikan apa yang sudah diberikan orang lain. Jadi, kalau tiba-tiba agak kesal nih sama orangnya (biasa kan namanya manusia), ya aku coba ingat-ingat lagi kebaikan orang tersebut. Nanti kan kesalnya rada berkurang tuh, yaudah bakal lupa sendiri deh.

Aku pun belajar bahwa untuk bahagia itu ternyata enggak sesulit yang dibayangkan. Yang utama, aku perlu berlaku adil pada setiap kejadian, barang sekecil apa pun. Sebab, belajar menerima itu sangat penting.

Saking pentingnya belajar menerima, masih banyak orang yang gagal dalam menerima ketidaksempurnaan diri sendiri. Itu masih diri sendiri loh, belum mikirin ketidaksempurnaan orang lain. Wah, bisa makin kacau.

Alhasil, kebanyakan orang merasa hidupnya berat banget. Padahal, pikiran manusia aja yang suka bikin semua jadi berat. Mungkin, aku juga termasuk yang demikian. Makanya, jomblo terus sampai sekarang (ini apaan, enggak nyambung dudul).

Jadi, kata-kata yang kusematkan di awal tulisan ini mungkin bisa menggambarkan sedikit banyaknya pengalamanku setahun tanpa Instagram. Ke depannya, akan tetap tidak main Instagram sih hehe.

Kamu nggak perlu jadi siapa-siapa. Kamu cukup perlu bahagia. Semoga segala niat baik dan cita-cita kamu segera terwujud satu persatu ya, Rizka. Kamu sudah keren kok. Keren banget! Terima kasih sudah melangkah sejauh ini. Ayo, lebih kuat lagi.

(Rizka kepada Rizka)

Baca Artikel Yang Kamu Suka

2 komentar

  1. Wah Kak Rizka, lamaa ga lihat tulisan kakak lagi, kak rizka keren bagiku, soalnya tulisan kakak selalu ngasih aura positif di hidupku kak. Aku suka kesederhanaan tulisan kakak. sampe skrg aku masih sering kepoin sosmed kakak loh, manatau kakak nulis sesuatu haha. Tapi untuk sekarang aku merasa lebih terbantu sih kalau kakak ngeposting di blog daripada di sosmed, soalnya aku juga lagi menjauhi sosmed khususnya instagram. Makasih yaa kak vibes positifnya ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Khata. Salam kenal ya! Makasih banyak sudah mampir ke blog acak adut ini hahaha, semoga cerita-ceritanya bermanfaat ya (walaupun kebanyakan curhat sih). Oh iya, untuk sosmed Instagram, memang udah tidak aktif lagi hampir 2 tahun terakhir. Tapi akunnya masih ada dan beberapa postingan aku biarkan tetap ada, syukur-syukur bisa bermanfaat pula hihi. Ambil yang positifnya aja ya.

      Kalau mau berbagi cerita dari blogmu, aku siap berkunjung lho. Semangat untuk proses baikmu ya, Khata. Semoga diberi kemudahan.

      Salam hangat,
      Rizka Sitanggang :)

      Hapus