• Home
    • Akademik
    • Diurna Rizka
    • Tulisan
    • _Writing Competition
    • _Blog Competition
    • _Writing Project
    • Petualangan
    Jika lelah dengan sekian hal yang terjadi di dunia, ingat saja bahwa akan ada dan selalu ada orang-orang yang tetap bisa dekat dengan kita, menganggap kita istimewa, dan menjadi sebaik-baiknya pendengar selain diri kita sendiri.

    ***
    Sudah lama enggak nulis, eh sekalinya nulis enggak lama hehe. Empat bulan terakhir ini, ada beberapa draft tulisan yang aku rasa cukup disimpan saja di laptop. Hmm, sebenarnya bukan karena isinya bersifat privasi, tapi setelah menuangkan unek-unek itu ke dalam tulisan, aku cukupkan sampai disitu dan enggak mau dibagikan. Karena niatnya memang mau cerita dan rasanya cukup beberapa hal aja yang orang lain perlu tahu. Mungkin pengaruh usia atau apa namanya itu, tapi makin kesini aku lebih sering berusaha “mencukupkan diri”. Kalau bukan diri sendiri yang mencukupkan apa yang kita punya, terus siapa lagi kan ya ? hehehe.

    13 Desember 2018 kemarin menjadi hari dimana aku melihat Mama lebih kuat dari biasanya. Yang aku tahu, Mama tipikal orang yang gampang nangis. Tapi waktu itu aku enggak lihat itu di wajah Mama. Walaupun di akhir-akhirnya Mama nangis juga sebentar, tapi menurutku ada sesuatu yang ia kuatkan di dalam dirinya. Beda mungkin samaku, yang untuk nangis aja masih bingung harus nangis karena apa. Atau mungkin karena sebelum-sebelumnya uda sering ngerasain kecewa kali ya (ceilah), jadi sampai hambar sama perasaan sendiri. Sedih sedu sedan atau apalah namanya itu, bukan lagi jadi makanan buatku. Kalau dulu, mungkin iya. Kalau sekarang, kayaknya pikir-pikir dulu deh alasan buat nangis.

    Ada yang bilang, “udah nangis aja daripada ditahan ntar jadi sakit.. lagian ngapain sih nangis ditahan ? emang hatimu sekuat baja ? itu kan manusiawi”, gitu. Iya sih, enggak salah juga orang lain berpendapat. Enggak salah juga orang lain ngomentari. Tapi mungkin karena di beberapa sikon, ada yang enggak orang lain tahu tentang kita dan kehidupan kita. Bukan beberapa, bahkan banyak. Sulit juga buat kita ngejelasin ke orang-orang tentang apa yang kita rasain, yang kita alami, yang jadi rencana kita (meskipun Allah uda ngatur jalan hidup setiap hamba-Nya), dan yang jadi alasan kenapa kita harus dan nggak harus buat begini-begitu. Kan enggak mungkin juga kita ngomong gini, “kamu tuh harus tau, kalau aku itu bla bla bla.. kamu tuh harus ngerasain apa yang aku rasain”. Ealah, itu orang drama queen banget. Emang dia doang yang punya “kerikil tajam” di hidupnya.

    Mau cari sampai ke ujung dunia pun, yang tahu siapa kita dan apa yang harus kita ambil, itu ya cuma diri kita sendiri. Enggak perlu nambah beban hidup orang lain dengan minta orang lain untuk ngertiin hidup kita lagi. Kalau mau berbagi, sok atuh berbagi. Tapi ya jangan jatuh-jatuhnya malah minta diurusin segala macemnya, itu namanya kan nyusahin orang lain ya. Beda halnya dengan meminta bantuan atau pertolongan orang lain. Secara definisi dan praktiknya, jelas berbeda. Perlu dijelasin banget nih ? Hmm kayaknya enggak usah ya, bisa googling juga kan hehe.

    Eh balik ke cerita awal. Hari Kamis pekan lalu pun jadi hari dimana aku jadi lebih kuat dari biasanya. Keberangkatan pukul 11.05 WIB dari Bandara Kualanamu itu rasanya jadi penerbangan kesekian yang berat sekali. Tapi aku mencoba untuk enggak nunjukkin itu di depan Mama dan keluarga lainnya yang ikut mengantarkan. Ada adik-adikku (sepupu) yang masih kecil-kecil. Aku yang gengsi ini, enggak mau kelihatan lemah di depan adik-adik. Ya dong, kakak masih nangis sih! (padahal uda mau lari ke kamar mandi, mau mewek hehe).

    Tapi emang bener, apa yang ada di pikiran kita, itu juga yang bakal keluar sebagai wujud kepribadian diri kita. Jadi, bijaklah sedari berpikir, supaya yang keluar dari diri kita juga sesuai dengan apa yang ada di pikiran kita. Kalau aku nyebutnya semacam energi positif yang harus selalu ada, sekalipun kadarnya dikit banget. Ya aku mah apa atuh, masih harus di ayo-ayoin biar semangat hahaha (let say di beberapa hal doang kok). Nah, di momen ini pun aku terapkan ke diri sendiri. 

    Terhitung sejak dua hari sebelum berangkat, aku mulai nyiapin mental yang lebih matang. Beresin kerjaan rumah kayak biasanya, rapiin meja belajar, buku-buku dan lemari, ganti seprei kasur, setrikain baju (dua hari itu jadi momen aku nyetrika baju orang-orang rumah sebelum berangkat, terus nyambil setrika ku bayangin ini siapa ya yang nyetrikain baju kalau aku pergi nanti), sampai ngabisin lebih banyak waktu buat main sama adik-adik. Sampai aku nulis ini, jujur aku kangen sama adik-adik, biasanya aku yang hobi marah kalau mereka ganggu aku lagi belajar dan tiba-tiba nyelonong aja masuk ke kamar. Kangen tingkah mereka yang tiap pagi pamitan sebelum ke sekolah, terus malamnya gangguin aku belajar sampai merengek minta belajar bareng.

    Energi positif yang uda aku bangun dari beberapa hari sebelum berangkat pun akhirnya terealisasi di momen keberangkatan itu. Sampai Ibuku (adik iparnya Mama) ngomong gini, “ah nggak seru ah, Kak Ika masa nggak nangis sih mau pergi merantau”. Terus aku balas sederhana banget, “uda diniatkan buat nggak nangis, Bu”. Alhamdulillah, hatiku pun lebih lempang ngelepas Mama, adik-adik, dan semuanya. Hatiku cuma lebih banyak berdoa mulai dari boarding, jalan menuju Gate 10 (pintu menuju maskapai yang akan bawa aku terbang kali itu hehe), sampai aku duduk di kursi 27F sambil memandang landasan Kualanamu dari balik jendela pesawat. Yak, aku terbang.. meninggalkan rumah lebih lama.. merantau.

    Keputusan untuk merantau pun sudah aku usung sedari semester akhir di bangku kuliah. Keinginan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, aku punya rencana melanjutkan studi. Aku enggak mau membebankan Mama atas keinginanku yang satu itu. Jadi, aku memutuskan untuk berkarir dulu di tanah rantau. Sembari mengumpulkan pundi-pundi harta karun dan sejenisnya (ceilah), nantinya aku juga punya persiapan lebih fokus secara mental dan finansial, karena kalau diizinkan Allah sekolah lagi toh kan aku bakal hidup sendiri juga di tanah rantau (dimanapun itu nanti, Bismillah aja dulu). Yang penting, niat harus diluruskan. Insya Allah semesta mendukung. Duh, aku deg-degan nulis di bagian ini hahaha.

    Selain itu, aku pun ingin belajar lebih mandiri, mengurus diri sendiri, membangun keberanian, memperbanyak saudara di bumi Allah, dan semoga Allah selalu menjadi nomor satu dari setiap hal yang aku kerjakan dan aku niatkan. Hidup sendiri di tanah rantau. Enggak ada tuh yang ingetin langsung biar enggak telat makan, ingetin sholatnya supaya jangan dilama-lamain, sampai ingetin buat belajar masak (ini tugas penting buat aku, kudu harus wajib bisa masak yang enak). Biasanya, itu semua dilakukan oleh Mama –si superwoman yang kerennya enggak abis-abis.

    Pesan dari teman-temanku sebelum aku berangkat, “Rizka, jangan pernah berubah. Tetap jadi Rizka seperti yang kami kenal. Rizka yang kami kenal ramah dan nggak mandang oranglain dari kasta apapun. Rizka yang sederhana dari berpikir dan berpenampilan. Rizka yang humble, kuat, dan nggak gampang nangis sekalipun kondisinya berat. Kalau sedih, kita selalu ada buat dengerin cerita Rizka. Kalau kangen, pulang ya.. jangan ditahan sendiri kangennya. Tetap waspada, hati-hati sama orang yang baru dikenal. Kami semua selalu nunggu Rizka pulang, buat sharing pengalaman dan ilmunya. Kami bakal kangen, Riz!”. 

    Aamiin Aamiin Aamiin, Masya Allah aku terharu huhu. Kan, mau nangis dong ini  hmm. Terima kasih banyak buat teman-teman, adik-adik, kakak-abang, dan semuanya. Maafin kalau ada salah-salah yang disengaja ataupun enggak. Karena katanya, salah satu langkah supaya rezeki kita lancar adalah dengan lebih banyak meminta maaf atas kesalahan yang selama ini sengaja atau enggak sengaja kita perbuat. Biar pintu rezeki terbuka dengan lempang. Insya Allah, siapapun yang baca ini dan pernah hadir dalam kehidupan Rizka (ceilah), mohon dimaafkan yah. Kalau masih sulit memaafkan, boleh kali diobrolin ke aku. Ntar kita makan bareng di warung, kamu makan sepuasnya, aku bayarin (nyogok dong ini namanya hahaha abaikan).

    Hah, enggak terasa sudah hampir satu pekan aku disini. Kamar kos sederhana ukuran 3x2 ini bakal jadi saksi seorang anak muda yang dengan niat untuk sekolah, rela jauh-jauh ninggalin rumah.. ninggalin Ibunya.. ninggalin adik-adiknya.. ninggalin semua kenyamanan di tempat yang paling nyaman sampai kapanpun (baca: rumah). Semoga hijrah dan ikhtiarnya jadi berkah ya, Riz. Iya, udah udah jangan diterusin, nanti nangis hmm.

    Bandara dan petualangan baru. Uda cocok kan antara judul sama isinya ? Cocokin aja deh ya, maklum ini nulisnya juga dari jam 3 pagi. Baiklah, selamat berpetualang, Rizka! Aku yakin, dengan meninggalkan rumah.. akan ada rumah-rumah berikutnya yang Allah hadirkan untukku dalam bentuk keluarga dan sanak saudara baru di tanah rantau. Baik-baik jaga diri, jaga kesehatan, jaga lingkungan, dan jaga hati ya (eh tunggu, ini jaga hati buat siapa ? hmm hmm hmm.. buat yang akan datang di waktu yang tepat aja deh, siapapun itu.. buat kalian yang lagi baca ini juga boleh kok hihi ).

    Sampai ketemu lagi di cerita berikutnya! Dadaaah..

    ---
    [Jakarta, 19 Desember 2018, pukul 05.46 WIB]
    Di kamar kos sambil menunggu kakak-kakak kos yang lain pada bangun.
    Continue Reading
    Hoaah! Di awal postingan ini, aku harus rela ngatain diri sendiri sebagai blogger yang inkonsisten ngeposting tulisan. But really sorry for hear that, karena jujur aja sejauh ini aku benaran sering dilanda hectic berkepanjangan (halah, macam apakali). First, pekerjaan tertunda sejak sebelum skripsian kemarin sampai sekarang, belum kelar-kelar tjooy. Kedua, ketika mau nuntaskan itu-itu semua yang tertunda, lah malah dipadatkan sama agenda yang luar biasa. Oke, aku nggak akan jelasin itu apa-apa aja karena menurutku itu privasi sih ya. Intinya, baik sebelum atau setelah lulus kuliah, kondisi waktu yang harus aku kelola tetap sama. Paling bedanya dikit aja. 

    Kayak misalnya kalau dulu sejauh mana pun kaki melangkah, aku kudu wajib absen muka ke kampus. Let say misalnya itu cuma rapat mingguan organisasi doang yang sebenarnya bisa aja aku tinggalin dengan alasan logis, dan aku tetap harus datang. Tapi kayaknya ada cara lain ya untuk bilang kalau kita lelah sama semua rutinitas harian, tanpa harus bohong. Sejak awal masuk organisasi kan ditanya bolak-balik soal loyalitas, nah disinilah dituntut untuk prove it. Yha, walaupun aku tetap pernah beberapa kali (atau mungkin sering) izin enggak ikut rapat karena nemenin teman-teman dari luar kota yang mampir ke Medan dan aku harus nemenin mereka. Atau aku juga izin karena harus kerja (ehe, maaf selama kuliah aku memang sering nerima kerja proyekan, mayan buat nambah uang kuliah), dan lagi pernah juga nerima kerjaan yang ternyata harus netap di Jakarta hampir sebulan.

    Nah, kalau sekarang bedanya aku nggak harus absen muka lagi ke kampus, nggak mesti ngurusin organisasi dan sepupu-sepupunya segala macem. Tapi sekarang lebih ngurusin hal-hal urgent yang prefer untuk diri sendiri dan lanjutin social project yang uda aku usung-usung lama banget. Weits, “untuk diri sendiri”. Bagi kebanyakan orang yang kenal lama sama aku, mungkin bisa bingung dengan tiga kata itu. Hm, yang aku pernah tahu dari mereka semua, aku dikenal sebagai orang yang social-oriented. Well yah, aku nggak menolak untuk dibilang demikian karena emang kenyatannya begitu. Ketika orang-orang kayak mereka dengar atau baca tiga kata di atas tadi, aku bisa disangka berubah haluan. Oh enggak, tenang aja.

    Sejak kecil, aku memang diajarkan oleh orangtua untuk mendahulukan urusan sesama saudara atau orang lain ketimbang kepentingan pribadi. Tapi dulu nggak diajarkan secara gamblang juga, melainkan dari hal-hal yang biasa dilakukan oleh orangtua di depan mataku. Mungkin dari hal kecil itu, lama kelamaan jadi kebiasaan dan aku nyaman jadi orang yang social-oriented. Meskipun kata orang-orang, “hati hati kau, nanti dimanfaatin”. Hm, aku yakin ada harga yang akan dibayar bagi orang-orang yang senantiasa berbuat. Selama memang orientasinya tidak macam-macam, we must go on!

    Iya, untuk sekarang aku memang fokus dan sering meluangkan waktu untuk diriku sendiri. Aku pikir, ini bukan soal berubah haluan, tapi ini soal prioritas. Maksud dari meluangkan waktu sendiri juga bukan stuck on my priority. Ya aku mikir dulu memang aku jor-joran kerja sampai kadang lupa ada hal penting yang aku kesampingkan. Let say itu soal kesehatan, perhatian buat keluarga terutama untuk Emak, dan cita-cita yang seringkali hanya jadi cita-cita karena aku masih jiwa muda yang pengen semuanya dikerjain. Tapi bukannya jadi baik, malah aku sering menomorduakan hal utama yang awalnya ingin aku selesaikan lebih dulu. Ah, ribetlah pokoknya.

    “When I Told You” ini sebenarnya ditujukan untukku pribadi. Aku menulis dan berbicara untuk diri sendiri. Aku sadar diri banget kalau lingkungan teman-teman enggak bisa disamakan kayak waktu kuliah dulu yang kalau pas jam makan siang, ada teman yang ngingatin buat makan atau nyediakan lauk makan bareng. Enggak, ini waktunya uda berubah. Aku harus bisa jadi pengingat untuk diri sendiri. Jangan mau ketergantungan sama orang lain.

    But, I said thank you untuk semua teman-teman yang uda baik hati sekali jagain aku yang keras kepala ini dari awal sampai sekarang. Gila, keras kepalaku suka buat pusing orang sekitar tjooy! Sampai pernah nih aku berantem sama teman perkara opiniku yang suka buat sakit kepala mereka dan aku susah buat ngalah. Itu seringnya karena aku suka nyosor marah-marah kalau misalkan ada yang nggak pas di mataku. Maksudnya nggak pas itu, kayak persoalan etika dan cara berpikir yang kadang aku menilai itu berat sebelah. Hm, tapi ya udahlah lupain aja soal itu. Terus-terusan jadi orang keras kepala begitu kayaknya enggak bakal nyelesaikan masalah, malah justru nambah musuh. Surely, aku nggak mau kehilangan teman-teman baik kayak mereka. Enggak bakal mau. I swear.

    Apa gunanya aku nulis postingan kayak begini ? Enggak ada tujuan tertentu, tapi tujuan utamanya adalah self-reminder untuk diri sendiri. Kalau orang lain ada banyak cara membuat pengingat diri, aku juga punya cara untuk itu. Aku berniat membuat isi blog ini menjadi lebih santai dan terbuka. Just it, when I told you.

    Continue Reading
    Lepas Bogor disambangi satu malam, Jogja jadi tujuan berikutnya. Rezekinya, Jogja sedang deras-derasnya sejak awal kedatangan waktu itu. Ada yang menyayangkan soal cuaca semacam itu, tapi justru itu berkesan. Kedatangan disambut dengan gegap gempita sepasukan penduduk langit. Lalu pertanyaannya: lantas, kepiluan macam apa yang harus tercurahkan kalau ternyata bahagia bisa ditemukan dengan hal-hal sederhana, apalagi pada perjalanan yang inginnya sudah lama?. 

    Meski penat memang tidak bisa dipungkiri, namun ada rasa ingin menetap lebih lama di kota pendidikan itu. Selain membawa misi berpetualang, pun dibalik itu ada keinginan menuntaskan rindu pada kerabat yang pernah ditemui, lama tidak ditemui, dan bahkan tidak pernah bertemu barang sekalipun.

    ***
    Sebuah notifikasi Instagram masuk, dari seorang sahabat lama yang belum pernah saya temui sejak perkenalan kami dari seorang sahabat lama juga. Eh, kayak kenal nih nama akunnya, pekik saya dalam hati. Benar, pemilik akun itu sudah lama sekali tidak saya tanyai kabarnya. Semenjak memutuskan unactive Twitter, saya banyak kehilangan kontak sahabat-sahabat lama. Padahal, itu adalah platform saya pertama kali menemukan banyak relasi dan kebanyakan dari mereka telah saya anggap seperti keluarga. Termasuk yang satu ini, yang akan saya beritahu alasan tulisan ini muncul di blog.

    Well, namanya Ika Priyanti. Nama yang  tidak asing bagi saya, sebab nama panggilan saya sama dengan beliau. Awal kenal dengan Ika dari twitter, kisaran tahun 2011 atau 2012 seingat saya. Eh tapi karena apa ya waktu itu ? Hemm.. saya tidak bisa mengingatnya dengan pasti, mungkin ada sebagian memori yang hilang atau tersangkut hehehe. Tapi saya ingat dengan sangat baik bahwa perkenalan dengan Ika dibarengi dengan teman-teman Ika lainnya, yang sama-sama dalam satu organisasi di sekolah mereka di Pontianak, Kalimantan Barat.

    Kalau ada yang pernah ngerasain serunya punya sahabat pena, saya juga punya cerita seru karena punya sahabat jarak jauh. Dulu, saya dan Ika sering berbalas pesan dari DM twitter. Kami memang jarang sekali muncul di beranda, karena mungkin masih malu-malu hihi. Lalu, kalau ada waktu-waktu senggang, biasanya kami mengadakan janji untuk berkomunikasi lewat telepon. Tidak sering, tapi pernah beberapa kali. Kalau boleh jujur, saya senang sekali setiap kali harus mengatur jadwal hanya untuk bertelepon dengan Ika, karena saya suka punya teman jauh. Meski saya belum pernah lihat seperti apa rupa Ika waktu itu, but it’s so important for me, comfortable and worth it!

    Bagi saya, sebutan sahabat pena ataupun sahabat jarak jauh bukanlah masalah. Karena keduanya sama-sama menyenangkan. Disamping teman-teman di sekolah hanya menganggap saya anak aneh dengan menyimpan segudang cerita di kolong meja kelas, ternyata di usia itu saya punya orang-orang baik yang mau menerima saya apa adanya. Itu saya sembunyikan tidak di kolong meja, melainkan melebur dalam keseharian putih abu-abu saya. Tidak ada yang tahu siapa mereka, tapi saya bersyukur punya mereka. Dengan mereka, saya merasa bahwa saya punya hari esok yang panjang dan akan melampaui perjalanan jauh. Meski mereka memang tidak pernah sepenuhnya tahu tentang cerita-cerita di kolong meja itu karena tidak berada di sekitar saya, tapi bagi saya, hanya dengan mendengarkan cerita-cerita mereka tentang serunya berorganisasi di sekolah di pulau seberang sana pun sudah cukup membuat saya paham, “oooh rupanya orang-orang di pulau itu lucu ya, unik. Persahabatan mereka begitu seru. Suatu saat, aku mau mengunjungi mereka disana. Makan sopang dan minum es kopyor yang sering mereka ceritakan”. Sejak saat itu, mereka adalah keluarga buat saya. Terkhusus Ika, telah jadi bagian cerita menarik di masa-masa SMA.

    Pertama kali Ika ke Jogja, Ika sempat mengirimkan foto bangunan gedung Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada untuk saya. Iya, saya dulu kepengin sekali berkuliah disana. Seingat saya, Ika sampai bela-belain cetak foto gedung itu dengan memberi pesan, “Ika ada cetak foto ini buat Ika. Nanti kalau Ika jadi ke Jogja, Ika kasih ya. Terus, tadi Ika jalan ke Malioboro dan teringat Ika. Jadi Ika belikan satu tas kecil buat Ika, mudah-mudahan Ika suka. Tapi nggak tahu ini gimana cara ngasihnya. Nanti ya nunggu Ika kesini aja. Ika simpenin”.

    ***

    Januari 2018 silam, ternyata Allah kabulkan doa Ika. Saya berkesempatan menjajaki kota istimewa itu sendirian dengan membawa misi silaturahim. Tanpa ketinggalan, saya juga dihubungkan kembali dengan Ika setelah hampir 3 tahun tidak tahu kabar sama sekali. Lewat DM Instagram, kami pun bertukar nomor Whatsapp dan mengatur jadwal untuk janji bertemu. Saya rasa, waktu mengajarkan kami banyak hal. Yang dulunya hanya lewat telepon genggam, justru telah bertransformasi dari telepon genggam menjadi tatap muka. Well done, that sounds good! Itu menandakan bahwa waktu sekian tahun berhasil membayar rasa penasaran saya dan Ika untuk melihat rupa masing-masing hahaha.

    Di Bandara Adi Sucipto pukul 21.00 WIB, sebelum saya menuju gate keberangkatan karena harus pulang ke Medan, Ika mengirim pesan whatsapp kalau dia telah menunggu di depan meja informasi bagian depan. Riwehnya saya membawa dua tas super gede hahaha, akhirnya saya pun mempercepat langkah kaki untuk keluar sebentar menemui Ika. 

    Tahu gimana perasaan saya waktu detik-detik mau ketemu Ika ? Perasaan saya kosong, speechless dan agak bingung mau gimana nanti pas ketemu. Berpelukan ala teletubbies atau senyum saja atau jingkrak-jingkrak seperti kebiasaan saya yang absurd itu ? Oh tidak-tidak, saya membuyarkan semua hal aneh-aneh. Saya berhenti berekspektasi. Biar mengalir saja apa adanya. Kalau harus teriak, yasudah biarlah (tapi kalau sampai teriak sih bakal kelihatan siapa yang paling norak, hmm you know me so well lah ya hahaha).

    Saya menoleh ke kiri dan kanan. Mata saya menjurus kemana-mana, berharap menemukan sosok Ika secepat mungkin supaya estimasi waktunya tidak kelamaan. “Ika pakai jilbab biru dongker, pakai jaket di sebelah kanan pas di depan meja informasi ya, Ka”, kata Ika dari pesan whatsapp. Alih-alih nampak karena itu sudah malam hari, saya yang lupa bawa kacamata itu pun tak tahu harus gimana supaya mudah mengenali sosok Ika karena penglihatan saya tak bisa jelas sekali.

    Alhamdulillah, ternyata tidak butuh waktu lama untuk menemukan. Ika yang lebih dulu mengenali saya. “Assalamualaikum.. Ika nih ?”, kata Ika pertama kali menyapa. Kami langsung berpelukan. Tak tahu rasanya, saking bahagianya saya hanya bisa menyematkan senyum terus-terusan hahaha. Rupanya bukan justru jingkrak-jingkrak, tapi ini bahagia versi elegannya (eaak, bisa juga jadi elegan hahaha). “Ternyata aslinya tinggi banget yah, Masya Allah senang banget ketemu Ika”, kata Ika lagi. Ngomong-ngomong, sesungguhnya tinggi badan saya tidak terlalu tinggi, tapi tulangnya saja yang nambah ke atas hehehe.

    Kita akhirnya duduk dan ngobrol di dekat situ. Betapa saya ingin bilang pada bagian maskapai, “Pak/Bu, delay aja napa sih pesawatnya.. lumayan kalau delay 30 menitan saya bisa ngobrol lebih lama dikit nih. Bisa nggak ? Bisain aja dooong, sekali ini doang”, begitu kira-kira permintaan saya yang ternyata tidak dikabulkan. Bisa-bisanya coba minta begituan, ya mana ada yang mau wujudkan. 

    Salahin siapa ? Salahin outlet Preksu dan google maps di aplikasi gocar saya yang membuat Ika dan saya jadi harus ketemuan mepet-mepet begitu di bandara. Kalau saja saya tahu outlet Preksu di Jalan Condong Catur itu jaraknya ibarat dahi dan rambut saya, tentu saya tak perlu repot-repot pesan gocar yang datangnya hampir setengah jam setelah dia komplain kalau alamat yang saya klik di aplikasi ternyata salah. Catatan buat para pelancong yang sok jago macem saya : jangan sekali-sekali ngandelin transportasi online, tapi lebih baik tanyalah pada masyarakat setempat supaya tahu estimasi waktu menuju lokasi tujuanmu (kok ini jadi tips dan trik traveling sih? hahaha).

    Ceritain apa saja sih waktu itu sama Ika ? Buanyaaak rek, buanyaaak. Tapi kami lebih banyak senyum ketawa-senyum ketawa gitu. Mungkin saking kesenangannya ketemu satu sama lain (aih aiih, kayak ketemu doi nggak ? hahaha). Malam itu, saya tidak sempat cek di luar gimana kondisi langit di malam terakhir petualangan saya di Jogja. Yang jelas, malam itu sedikit rintik hujan dan kami menikmati beberapa menit sampai akhirnya diumumkan, “panggilan terakhir kepada seluruh penumpang pesawat Citilink tujuan Medan, Kualanamu untuk segera memasuki pesawat”. 

    Kemudian, 5 menit terakhir kami minta tolong sama Bapak-Bapak (kami sampai lupa tanya namanya tapi tetap ingat mengucapkan terima kasih), untuk membantu kami mendokumentasikan pertemuan itu. Ika, you have made my last night in Jogja so deep! Ini akan jadi alasan saya untuk datang mengunjungi Jogja lagi. Atau mungkin akan menetap disana ? Hahaha biar Allah yang atur semua waktunya, karena kejutan-Nya pasti enggak bakal buat kita menyesal dan sia-sia. Cannot wait to see you again, so thanks in advance! 

    ***

    Hari ini, 07 April 2018, Ika sedang berulang tahun. Saya tidak menyimpan tanggal lahirnya, karena beruntungnya saya telah diberitahu oleh notifikasi Line hahaha. Literally.. Barakallahu Fii Umrik, Ika Priyanti. Saya bersyukur telah mengenal baik dirimu, sebagai teman – sebagai saudara – sebagai keluarga. Terima kasih telah menerima persahabatan jarak jauh ini dengan hangat dan bijak. Hari-hari yang sedang dan akan kita jalani, semuanya tidak lepas dari ujian dan tanda tanya di depan sana. Ia hadir dalam bentuk kesedihan dan kebahagiaan. Tapi dari itu semua, kita akan terus belajar dari apa yang sedang terjadi. Dengan demikian, kita akan terus tumbuh menjadi orang yang semakin lengkap pemahaman hidupnya. Agar kita bisa menjadi orang lebih bijak setiap kali mengalami masalah-masalah apapun.

    Jika lelah dengan sekian hal yang terjadi di dunia, ingat saja bahwa akan ada dan selalu ada orang-orang yang tetap bisa dekat dengan kita, menganggap kita istimewa, dan menjadi sebaik-baiknya pendengar selain diri kita sendiri. Sebab, melalui merekalah Allah hadir menemani kita dan dari nasihat merekalah Allah menyampaikan sesuatu, hingga dari pelukan merekalah Allah ingin memberitahu bahwa kita tidak akan pernah dibiarkan menghadapi segala sesuatu sendirian, sekalipun kesedihan itu hanya mampu disimpan dalam hati.

    Jaga diri dan tetap baik pada siapapun. Semoga segala urusanmu dimudahkan Allah dan bahagiamu dijaga Allah hingga diberikan padamu tepat pada waktunya. Jangan lelah mengejar impian-impianmu yang tertinggal. Ada begitu banyak orang yang mendoakanmu di setiap waktu, tahu atau tidaknya dirimu. Semangat menuntaskan misi berpetualang ilmu, Ka! Lain waktu kita pasti akan bertemu lagi, Insya Allah. Di bumi Allah dengan langit cerah, kita akan bertukar cerita tentang banyak hal.

    Salam hangat,
    Rizka Sitanggang.

    Continue Reading

    Maret tidak ada postingan. Saya tahu itu dan saya merasa bersalah. Kalau saja tumblr tidak di blokir oleh pemerintah, mungkin akan banyak draft tulisan disana. Antara tidak punya teman cerita atau memang lebih nyaman saja bercerita di platform begitu. Tanpa ada yang harus membaca unek-unek sampah milik seorang anak yang hobi sekali meninggalkan rumah. Bukan karena tidak betah, hanya saja ada begitu banyak hal yang tidak bisa dituangkan barang sebentar pun. Justru terkadang, apa yang paling ingin dituliskan dan ditampilkan adalah yang paling tidak terungkapkan.

    Postingan ini sebenarnya tidak begitu penting untuk dibaca. Kalau sudah baca sampai bagian ini dan ingin keluar dari laman blog saya, silahkan tidak apa. Toh juga postingan ini tadinya untuk menghibur diri sendiri, tapi ikhwal saya pikir ada baiknya kalau dibagikan saja. Syukur-syukur bisa jadi kontemplasi bersama.

    Akhir Maret kemarin, saya mengesalkan. Ya, saya kesal pada diri sendiri. Satu hal yang seharusnya orang lain tidak perlu tahu, jadinya tahu. Saya ingat sekali, sore itu hujan sedang deras-derasnya. Saya dan teman-teman tidak dapat menahan haru sebab salah seorang dari kami telah menyelesaikan masa studinya dengan hasil memuaskan. Kami memang begitu, menyenangkan rasanya kalau ada orang-orang terdekat sedang berbahagia. Bahkan seandainya pun bahagia itu bukan untuk kami, tetaplah kami akan menjadi bagian paling bahagia di harinya. Tidak sedikit orang-orang saya temui seperti itu dan saya tahu bahwa orang-orang demikian adalah orang baik. 

    Ohiya lanjut ke ceritanya. Dalam pertemanan 12 orang, kata teman-teman, saya itu lain sendiri. Lainnya adalah karena saya suka menyendiri dan tidak begitu suka keramaian. Siapa bilang ? Padahal saya juga suka ke tempat-tempat ramai, apalagi kalau ada lampu-lampu di sepanjang jalannya. Kayak lampion di Pekan Raya Sumatera Utara, misalnya. Atau kayak lampu-lampu bergelantungan di simpang empat antara Istana Maimun, Perpustakaan Daerah, Masjid Raya, dan Kesawan Square di Medan. Ya sesederhana itu sih memang hehe. Tapi kata mereka, saya lain sendiri.

    Pernah satu diantara mereka bilang begini, “Kalau aku jadi kau, mana mau aku jalan sendirian ke toko buku, ke taman kota dan ngabisin waktu seharian disana hanya untuk baca buku. Ngapain coba? Kayak orang gila.”

    Oh, saya baru tahu kalau jalan sendirian itu identik dengan orang gila. Saya pikir itu pekerjaan orang waras yang hanya ingin jalan saja, bukan karena apa-apa. Saya jadi baru tahu juga kalau ternyata orang-orang pada umumnya sering melakukan sesuatu itu karena sebuah alasan yang menurut mereka rasional. Sekali lagi, saya baru tahu.

    Selain dikatain lain sendiri, saya juga dianggap yang paling tidak peka. Lebih dalamnya lagi, kata mereka saya sudah mati rasa. Kata mereka, itu akibat saya sering patah hati. Siapa bilang ? Saya baru patah hati satu kali, waktu Bapak saya meninggal. Itu patah hati yang paling saya anggap, selebihnya tidak. Lebih tepatnya tidak mau saya anggap sebagai patah hati melainkan penyalahgunaan perasaan yang berujung pada gagalnya macam-macam ekspektasi. Salah saya itu mah, bukan salah siapa-siapa. Makanya, jadi manusia enggak usah berharap lebih sama manusia. Ada tuh kata-kata dari Ali bin Abi Thalib, coba cari tahu sendiri sana.

    Ohiya, balik lagi ke ceritanya. Di sore hari yang hujan itu, ada isu-isu kalau salah satu di antara kami ada yang memendam rasa dengan salah satu di antara kami lainnya. Dengar-dengar sih dari awal masuk kuliah. Saya sempat kaget dengar kabar itu, tapi habis itu langsung biasa saja. Wajar sih kalau ada rasa, pun yang dikagumi juga orangnya baik. Dan jadilah mereka berdua itu foto bersama. Salah seorang teman saya nyeletuk, “Jadian! Jadian! Jadian!”, yang kemudian diikuti oleh teman-teman yang lain. Melihat seperti itu, saya cuma senyum saja. Terakhir saya melihat sorak-sorai begitu waktu SMA. Ketika seorang teman cowok menyatakan perasaannya ke teman cewek saya. Kebetulan saya duduk enggak terlalu di depan waktu SMA, jadi saya pun mandangi dari jauh saja. Lucu, tapi saya kurang suka.

    Rupanya, rasa kagum itu diwujudkan dengan sebuah pemberian. Ya, teman saya itu diberi hadiah dengan tas warna merah muda. Setahu saya, isinya itu mukenah. Waktu tahu isinya itu, saya senyum dan geleng-geleng kepala. Nampaknya dia ingin seriusin temen saya nih, dalam hati saya bilang. Lalu, teman saya yang nyeletuk tadi itu kemudian nyeletuk lagi, “yuhuu.. dah bisalah kita siap-siap jadi panitia nih wee”. Seterusnya mereka semua keroyokan bersuara. Kata mereka, itu bentuk dari dukungan atau motivasi. Oh begitu rupanya. Niatnya baik memang, tapi saya kurang suka. Mungkin karena saya berpikir kalau sesuatu yang terlalu digaungkan itu justru bisa membuat luka sedalam-dalamnya, kapan saja. Begitupun, saya mengagumi bagaimana cara teman-teman saya menyampaikan rasa sayangnya terhadap satu sama lain.

    Habis sorak-sorakan itu, teman saya menyeletuk lagi, “jadi maharnya berapa gram?”. Yang lainnya menyerukan sekian per sekian harga dan rupanya saya gagal ngerem mulut saya untuk ngomong. “Eh wee, kenapa harus mikirin mahar gede-gede? Bukannya perempuan yang martabatnya tinggi itu justru yang memberikan kemudahan?”, lontar saya. Agak nyesal sebenarnya habis bilang begitu, tapi itulah kata-kata. Sifatnya irreversible, artinya apa yang sudah dikeluarkan maka itu akan jadi milik orang lain dan tidak dapat ditarik kembali.

    Saya sudah duga, akan terjadi perang dingin kalau saya ngomong dengan pemahaman lain sendiri (bagi mereka). “Heh! Kalau cowoknya mampu dan ceweknya senang-senang aja, kenapa rupanya ? Kok kau pula yang sibuk sih Riz?”, celetuk teman saya.

    “Walah, aku nggak maksud apa-apa. Kalau keduanya sepakat ya nggak apa juga. Kali aja kan mau kasih mahar tinggi-tinggi, cocok juga kok. Apalagi kalau uda ada gelar di namanya yakan hahaha”, kata saya.

    “Alah Riz, dalam hatimu pun kau maunya kan mahar tinggi. Gak usahlah kau tutup-tutupi. Perempuan dasarnya kan matre. Kau pun juganya itu!”, ketus teman saya.

    Dan disitulah saya merasa bahwa sore itu lucu sekali. Hujan sedang deras-derasnya yang harusnya saya bisa nikmati itu tanpa perlu ikut-ikutan macem hujan, di depan umum pula. Padahal saya mikir kalau itu sebenarnya bukan masalah hebat, tapi rasanya lucu karena itu menyentuh hati. Ada rasa marah yang saya enggak mungkin juga blak-blakan mencaci maki siapa orang yang bicara. Lucu rasanya, ketika hal-hal kecil pun diartikan secara umum oleh sebagian orang. Generalisasi. Mungkin pun saya pernah atau masih seperti itu, maka akhirnya saya diperlakukan demikian. Tidak apa, itu sebuah pelajaran.

    Sampai detik ini, kata-kata itu saya ingat sebagai pengingat diri. “Besok-besok, kamu enggak usah banyak ngomong Riz. Kalau ada yang nanya saja kau baru boleh ngomong”, kata saya dalam hati. Tapi habis bergumam demikian, saya ingin ralat kata-kata itu. 

    Kalau dalam satu kondisi ada orang yang sangat butuh pendapat tapi dia tidak tanya saya, bagaimana ? Masa saya harus diam dan nunggu dia nanya saya baru saya jawab, padahal seumpamanya saya bisa bantu jawab. Bukankah itu membunuh nurani saya sendiri ?, pikir saya kemudian. Oh, lucu rasanya. 

    Sore itu, teman-teman seangkatan di kampus pun tahu bahwa seorang anak yang sering mereka katai "kau perempuan atau bukan? Kemana-mana kau pergi sesuka hati", pun akhirnya tidak semati-rasa seperti pikiran mereka. Pun perasaan anak itu bisa sama derasnya dengan hujan hanya karena kata-kata yang menurut mereka sepele. Agak menjijikkan pastinya bagi si anak itu sendiri ketika orang lain harusnya tidak perlu tahu soal itu, tapi justru jadinya tahu. Padahal sama sekali dia tidak ingin menunjukkan. Mungkin, salah satu kelemahan yang sulit dia pungkiri adalah dia salah satu orang yang 'tidak tahu tempat'. Lucu rasanya kalau diingat-ingat. Anak itu berharap, mereka segera melupakan itu. Sejak sore itu, setiap kali hujan turun dengan derasnya, anak perempuan itu bilang ke diri sendiri supaya dia lebih banyak diam sampai hujan berhenti.

    [Cerita ini harusnya untuk Maret, tapi melalui April saya sampaikan ini agar tidak terulang]
    Medan, 02 April 2018.

    Continue Reading
    Memang, berjuang itu bukan seberapa hebat medan juangnya, tapi seberapa kuat melewati cobaannya. Satu diantaranya, datang dari sesuatu yang justru kamu sukai. Iya, keproduktifanmu dalam berkarya itu cobaannya. Iya, itu cobaannya.
    ***
            Well, ini adalah cerita lanjutan dari postingan “Berangkat Aja Dulu (Part 1)”. Kalau di postingan sebelumnya saya buka dengan kata-kata daebak dari Mama saya, di tulisan ini biarkan saya eksis di blog sendiri hahaha (yakali masa eksis di lapak orang, kan ngawur jadinya entar). Nah, sebelumnya kan saya cerita tentang morat-marit mencari pengalaman di Ibukota dan disambut kedatangannya dengan hujan lebat (untung enggak badai), jadi ini saya lanjutin ceritanya. Ehem ehem, mendongeng dimulai hehe.

    [Malam terakhir bareng finalis].
    “Malam ini... malam terakhir bagi kita. Untuk mencurahkan rasa rindu di dada.
    Esok aku akan pergi lama kembali. Kuharapkan agar engkau sabar menanti.
    Aku akan sabar menanti kembali. Selamat jalan dan sampai jumpa lagi”
            Jreng-jreng, tersyairlah lagu karya penyanyi dangdut legendaris Indonesia, Rhoma Irama dan Rita Sugiarto. Ini lagu bisa dibilang manisnya di zaman-zaman Mama dan Bapak saya baru ketemuan kali ya. Ya gak apa deh, kan memang apa yang dituangkan dalam lirik lagu itu kebetulan pas pula dengan perasaan saya. Aiiih aiih, bukan lagi..
            16 Januari 2018 malam, bisa dibilang ini momen yang buat saya dan teman-teman finalis memutuskan untuk tidur telat alias begadang. Terus ngapain saja kami semalaman suntuk ? Ya main. Kalau kids zaman now sih mungkin mainnya sudah yang gaul-gaul ya. Tapi kami justru milih permainan yang anak-anak able. Permainan ABC 5 DASAR, namanya. Entah siapa yang memprotokoli untuk main beginian di antara kami, yang jelas kalau rada unik-unik, absurd, dan beda dari yang lain sih saya mau. Ya kapan lagi kan bisa gila bareng-bareng teman. Beda daerah lagi.
            Permainan ini sebenarnya enggak yang gimana-gimana sekali. Saya suka saja karena selain masuk kategori permainan jadul, pun juga mengasah otak untuk berpikir cepat dan disini bakal ketahuan sejauh mana wawasan yang kita punya tentang topik tertentu. Cara bermainnya tidak sulit. Kurang lebih seperti kita bermain “Buah-Buahan” di zaman SD dulu hehe masih ingat dong ya? 
            Cukup keluarkan jari tangan seberapa yang ingin kita keluarkan. Lalu, salah seorang anggota berperan sebagai joki (istilahnya) untuk menghitung urutan abjad sesuai dengan jumlah jari tangan yang dikeluarkan oleh seluruh pemain. Misalkan, ternyata abjad H. Kemudian, disepakati nih mau topik apa yang diusung. Misalkan lagi, topiknya tentang nama-nama negara di dunia. Kemudian, masing-masing pemain harus menyebutkan nama negara yang dimulai dari huruf H, dengan cepat dan benar. Ya ini tadi yang saya bilang harus tanggap karena kalau keduluan sama pemain yang lain, maka habislah kita. Yang terakhir tidak menyebutkan maka dia yang kalah.
            Nah, kan enggak seru tuh kalau main bareng-bareng tapi enggak ada hukumannya bagi yang kalah. Jadi, kami menyepakati hukumannya adalah mukanya dicemongin alias ditepungi pakai bedak putih. Kebetulan, salah seorang finalis ada yang bedak tepungnya masih lumayan banyak, maka jadilah kita izin untuk dipakai setengah isinya.
            Singkat cerita, momen ini sangat membuat seisi hotel menjadi ramai. Hotel Sofyan Inn Tebet itu bisa dikategorikan seperti apartemen. Jadi khawatirnya saya kalau pengunjung yang lain justru terganggu, meskipun kamar para finalis diatur satu lorong paling ujung. Mungkin panitia juga sudah membayangkan bagaimana kalau kami memang rusuh. Ya contohnya saja seperti ini kan. 
            Momen malam terakhir bareng-bareng ini menghabiskan banyak gela tawa di antara kami semua. Rasanya bisa sampai bertemu dengan mereka semua adalah satu kesyukuran. Bagi saya, ini bukan berangkat untuk ikut lomba melainkan seperti gathering kampus. Statusnya saja masing-masing berasal dari provinsi beda-beda, tapi feel¬-nya itu berasa kita dari daerah yang sama. Ya melebur saja gitu. Apalagi teman-teman finalis pada konyol semua, saya pun jadi ikutan tak mau kalah (padahal memang dasarnya saya konyol juga).
            Kemudian, di tengah permainan ini, Si Komang nyeletuk, “eh siapa ya yang besok jadi pembicara bareng Pak Diaz ? Kan kata Pak Alie habis malam ini bakal dikasih tahu kan. Yoo siapa yang hapenya ada di notif sama Pak Alie ? Sudah pada cek hape belum ?”
            Tersadarkan oleh kata-kata Komang, kami semua pun membuyar sebentar. Saya berlari kecil ke kamar untuk mengecek telepon genggam yang sedang saya isi ulang baterainya. Eh tapi, sebelum hendak beranjak keluar kamar untuk bergabung dengan teman-teman yang lain, saya tertegun dengan isi pesan WA. Pak Alie Humaedi LIPI, begitu yang tertulis di layar WA. Maka, saya memberanikan diri membuka isi pesan itu.
            Rizka dan Vitorio.. mohon mempersiapkan diri untuk ikut mendamping pembicaraan bersama dengan Pak Diaz dan Bu Nuke. Besok pagi pukul 08.45 sampai dengan 11-an. Obrol santai tentang konsep kebangsaan bagi orang muda ya. Ingat yang maju belum tentu menjadi juara ya. Tks. Alie.
            Saya langsung kembali ke kamar tempat dimana teman-teman berkumpul lagi.
    “Eh, aku dapat pesan WA dari Pak Alie. Kata beliau, aku sama Vito besok yang bakal mendampingi Pak Diaz dan Bu Nuke. Vito sudah baca pesannya?,” tanya saya langsung kepada Vito. 
    “Belum, Riz. Hapeku di kamar. Ntaran aja deh aku bukanya. Pesannya paling sama kan ya sama punyamu juga ?,” jawab Vito.

    ***
    [Obrol Orang Muda].
            Obrol orang muda hari ini seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Ali, temanya tentang makna nasionalisme di kalangan generasi millenial. Ini bisa dibilang adalah hari yang cukup membuat saya bolak-balik ke toilet. Grogi bok! Di samping saya juga first time bakal duduk sebelahan sama Staf Khusus Presiden, Pak Diaz, saya pun juga bingung mau ngomong apa hahaha. Tapi balik lagi ke niat di awal, bahwasanya saya yakin semua bakal dimudahkan kalau kita niatnya memang baik. Insya Allah. Dan Alhamdulillah semuanya berjalan lancar selama acara Obrol Orang Muda berlangsung.
     

    [Pengumuman Pemenang]
            Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah. Mungkin ini yang sedari kemarin Ibu saya bilang, “terkadang memang usaha itu sedikit mengorbankan diri kita, ya misalkan kayak Ika sampai jatuh sakitlah, ya disuntiklah, ya kerja dari pagi sampai malam meski dengan kondisi tubuh yang lemah sekalilah, dan yang lain-lainnya. Tapi kalau Allah uda bilang jadi¸ gak bakal ada yang bisa mengganggu keputusan-Nya”.
            Itu yang selalu saya ingat menjelang pengumuman para pemenang Lomba Esai Nasional 2018 ini. Singkat cerita, Pak Diaz memang tidak bisa berlama-lama untuk bergabung bersama kami di ruangan. Maka, pengumuman finalis pun dipercepat sekian menit. Qadarallah, Allah Maha Besar. Melalui seleksi panjang itu, di siang menjelang sore itu... tersebutlah nama saya sebagai pemenang Juara 2 Lomba Esai Nasional kali ini. 
            Saya disitu mau girang, tapi ya kan malu toh hahaha. Tapi saya coba tahan emosi kegembiraan itu dengan terus mengucapkan ‘Alhamdulillah’ berulang-ulang dalam hati. Kalau boleh jujur, jauh dari lubuk hati paling dalam pun saya mengakui seluruh finalis pada kesempatan kali ini adalah para pemenang. Tentunya, para pejuang! Dan satu kesyukuran yang tidak ingin saya lewatkan adalah saya bersyukur bisa mengenal 13 orang finalis dengan keberagaman yang membuat pertemuan ini begitu unik dan mengesankan. Ditambah, kesempatan saya mengenal lebih dekat LIPI seperti apa, lingkungan bekerjanya seperti apa, orang-orang di dalamnya bagaimana, dan bermunajat dalam hati untuk bercita-cita suatu saat nanti, saya ingin mengabdi sebagai peneliti disini, semoga Allah rangkul terus cita-cita ini sampai tiba dimana Ia mampukan aku untuk mengemban amanah itu. Amin Allahumma Amin.
            Qadarallah, rasanya Allah kasih kejutan dengan bonus-bonus yang tak kalah menarik. Tapi justru menurut saya ini adalah ujian. Ada orang yang diuji pada rasa syukurnya. Ada juga yang diuji atas kesabarannya. Maka, mau kaya, miskin, berada, kekurangan, senang, sedih, setiap orang akan diuji dengan cara masing-masing. Apa-apa yang kita hadapi selalu datang secara tidak terduga. Begitu pula dengan datangnya rezeki kita. Dan begitulah cara Allah untuk melihat rasa sabar serta rasa syukur hamba-Nya. Rencana-Nya memang selalu mengejutkan.
            Namun, yang menjadi poin pentingnya dari itu semua adalah kemauan. Ya, kemauan belajar dari segala hal mengejutkan itu. Karena dengan mau belajar, kita memahami diri kita ini rendah dan perlu meningkatkan kualitas diri. Kemudian, yang lebih penting (lagi) dari mau belajar sesuatu adalah mau belajar untuk menjadi lebih baik.
            Seperti mau belajar memberi, mau belajar sabar, mau belajar santun, mau belajar bersyukur, mau belajar menghargai waktu, mau belajar beribadah, serta berbagai kemauan untuk belajar lainnya. Sebab bagaimanapun juga, orang-orang terbaik adalah yang mau belajar untuk menjadi lebih baik.
            Akhir kata, terima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang Insya Allah terus menjadi baik dengan versinya masing-masing. Yang tidak pernah melupakan makna dalam berperan menjadi anak bangsa yang produktif berkarya. Mudah-mudahan satu langkah kecil ini bisa bermanfaat meluas untuk siapa saja. Begitupun mampu menjadi virus kebaikan yang dapat merangkul lebih banyak tangan dalam berbuat bagi orang-orang di sekitar. Amiin Allahumma Amiin.
            Atas nama rasa syukur, sampai bertemu di perjalanan berikutnya yang Insya Allah lebih baik pula. Ditunggu kabar-kabar baiknya, rekan-rekan sejawat @pmblipi! Barakallahu.
    ---
    Jakarta, 17 Januari 2018.

    Continue Reading
    Kalau kamu enggak mencoba, kamu enggak akan tahu rasanya gimana. Kalau kamu enggak pergi, kamu enggak akan tahu rasanya berjuang. Yaudah, berangkat aja dulu!

    ***
    Itu yang di atas bukan quotes of the day ya hehe, tapi itu kata-kata Mama saya. Ya, Mama memang selalu jadi orang yang paling paham gimana cara menyemangati anaknya. Bukan tanpa alasan juga Mama ngasih kata-kata itu buat saya. Sejak dulu Mama bukan tipikal orang yang gampang memotivasi dengan kata-kata. Biasanya itu tugas Bapak. Tapi semenjak Bapak pergi lebih dulu, Mama merangkap peran sebagai Ibu sekaligus Ayah buat saya. Dengan bermodal sebagai pedagang warung kelontong di rumah, Mama tidak pernah mengatakan “tidak” untuk hal-hal seputar studi pendidikan saya. Daebak! Bahkan saya kepikiran, kalau suatu saat saya jadi seorang Ibu, mungkinkah saya setangguh Mama ? Semoga saja. Ini juga sedang latihan kok (ceilah hahaha).
    Nah nah.. tapi kali ini saya bukan mau mendeskripsikan sosok Mama di tulisan ini. Melainkan ingin membagi cerita dan pengalaman ketika saya dan Mama saling menguatkan dalam berbagai hal. Salah satunya adalah ketika momen yang belum lama ini Alhamdulillah direzekikan untuk saya, di bulan kelahiran saya pula hehehe. Qadarallah memang kejutan Allah siapa yang tahu coba ya. Sampai sekarang saja saya enggak habis pikir gimana ya Allah membuat settingan waktu ke waktu untuk ngasih surprise kepada setiap hamba-Nya. Tapi ya kalau dipertanyakan terus mah itu namanya kita tidak yakin dengan keajaiban Allah. Jadi, cukupkan dengan senantiasa bersyukur dan meningkatkan kualitas diri dengan ibadah.
    Terus kaaan.. momen belum lama yang saya maksudkan di atas itu adalah ketika Allah mengizinkan saya menjadi satu dari 13 orang keren di ajang yang keren pula. Ya, Alhamdulillah Desember 2017 lalu saya mendapatkan sebuah surel yang tidak asing. Sebab, saya baru seminggu lalunya mengirimkan sebuah tulisan esai ke alamat email tersebut dalam rangka berpartisipasi mengikuti perlombaan esai nasional tingkat mahasiswa. Mbak Anggy Denok Sukmawati, namanya (saya akan posting foto beliau di tulisan berikutnya hehe). Beliau adalah seorang peneliti muda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat dan salah satu panitia utama dalam perlombaan esai yang saya ikutsertakan itu.
    Emailnya buat saya merinding berkali-kali, bahkan sampai detik ini kalau saya baca ulang lagi. Skenario-Nya keren banget, Masya Allah! Jadi, email itu berisikan sebuah pengumuman dimana saya lolos sebagai finalis yang akan dibiayai berangkat ke Jakarta, tepatnya yang akan bersaing dengan 12 finalis lainnya di gedung LIPI. Para finalis yang lolos tersebut ternyata disaring dari 797 naskah esai yang masuk selama kurun waktu 15 hari sejak awal dibukanya perlombaan itu. Saya mencoba berkali-kali meyakinkan kalau saya tidak salah membaca nama di urutan ke-4 dalam daftar nama-nama lolos seleksi tersebut. Yang kemudian saya lihat adalah perwakilan dari Sumatera. Ya, ada 3 orang diantaranya saya dari Medan, Kiky dari Jambi, dan Roni dari Padang.
    Maka, sejak email itu bertengger di kotak masuk email saya, semangat saya seperti dipompa lagi. Termasuk yang tadinya semangat ingin skripsian dan tamat cepat di semester 7, mendadak harus digeser sedikit dan kemungkinan akan sedikit tertunda dari target waktu yang sudah saya list sejak lama (jangan ditiru ini mah, bukan mahasiswa teladan yang seperti ini hehehe). Selain itu, seminar hasil skripsi saya (meliputi Bab 1 sampai Bab 5) yang rencananya akan dilaksanakan awal Januari 2018, alhasil gagal total. Karena saya harus fokus persiapan lomba dan entah kenapa rasanya momen ini seolah mendorong diri saya untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan semaksimal mungkin. 
    Saya sudah menggeser waktu seminar skripsi, maka tak baik rasanya kalau kesempatan ini saya permainkan pula. Bahkan sebelum keberangkatan menuju Jakarta, saya merasa tidak enakan sama dosen pembimbing (doping) saya yang justru selalu support bahkan sebelum beliau jadi doping saya. Doa saya cuma satu, semoga beliau tidak kecewa dengan saya. Karena saya tahu gimana rasanya dikecewakan (tsaaah.. kok malah curhat maneh, nduk? hahaha abaikan).
    Kira-kira hampir tiga minggu saya mempersiapkan diri. Mulai dari mengulas isi esai, menemukan poin-poin yang akan dipresentasikan, menyiapkan slide presentasi semenarik mungkin, membuat pitch desk, latihan presentasi, sampai mempersiapkan diri dengan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang bakal diajukan oleh dewan juri. Apalagi dengar-dengar dari panitia (setelah beberapa hari pengumuman, seluruh finalis digabung ke dalam satu grup obrolan di Whatsapp), dewan jurinya ada 4 orang  yang basic-nya memang sebagai peneliti dan para akademisi dan kajiannya pun sudah berfokus pada budaya lokal, sesuai dengan tema perlombaan kali ini.
    Dengan tidak memerdulikan diri dari rasa malu, saya pun meminta bantuan ke beberapa teman untuk me-review latihan presentasi saya. Dan yang membuat saya tertohok adalah ketika latihan dengan dua orang teman yang sudah seperti abang saya sendiri. Mereka itu Iqbal dan Abil. Tanpa ragu mereka bilang, “kau kalau mau menarik presentasinya, jangan buat slide macem gini. Ini terlalu kaku dan kau justru terlihat seperti mau ngajar di kelas. Macem slide dosen aku di kampus hahaha. Isinya kebanyakan tulisan”. 
    Memang benar, teman yang baik adalah yang mengingatkan kita dengan kebaikan dan menuntun kita menjadi pribadi lebih baik. Termasuk dari segi persiapan ini, bisa dikatakan mereka berdua sangat berperan menjelang keberangkatan saya. Alhamdulillah, meski kami sudah jarang bersapa akhir-akhir ini, tapi bisa saling hadir di saat yang tepat. Ya, bukan berarti tidak intens bertemu dan bersapa menandakan tidak saling mendoakan. Justru kehadiran di waktu yang tepat punya nilai yang lebih di mata saya. Terima kasih atas keringanan hati kalian, Iqbal dan Abil. Tidak hanya mereka berdua, tapi seorang teman bernama Dita Andriani dan seorang senior kampus bernama Nurrafiqa juga turut memberikan dukungan. Terima kasih banyak, Dita dan Kak Fiqa.
    ***

    [Menuju 3 hari keberangkatan].
    Tiga hari menjelang hari keberangkatan, Alhamdulillah saya diuji dengan diberikan nikmat sakit. Kondisi tubuh benar-benar melemah dan suhu badan yang tidak karuan tingginya. Mungkin efek karena seminggu terakhirnya saya porsir tidur enggak tidur dan kurangnya nafsu makan meski saya tetap makan 3x sehari. Mau tidak mau, saya dianjurkan untuk suntik neurobion. Saya ingat itu hari Jum’at dan keberangkatan saya di hari Senin pagi pukul 07.40 WIB. Mama saya langsung khawatir. Apalagi ia tahu kalau keberangkatan saya ke Jakarta bukan cuma untuk lomba, melainkan akan melakukan perjalanan lagi ke beberapa kota. Kebiasaan ngebolang sendirian, kalau Ibu saya bilang.
    “Yah dek, masa sakit pas mau berangkat gini. Besok Sabtu kan Ika bilang ada kerja di kampus dari pagi sampai malam. Tambah lagi nanti mau lanjut ngebolang sendirian. Gimana tuh?,” tanya Ibu saya khawatir sambil mencoba mengompres demam saya dengan kain basah.
    “Bisa. Ika bisa, Ma,” jawab saya singkat. Rasanya ingin jawab lebih panjang lagi untuk meyakinkan Mama, tapi saking menggigilnya tak karuan, saya cuma bisa melontarkan kalimat itu ke Mama. Lalu, saya tidur (yelah kalau urusan tidur, enggak dalam kondisi apapun saya nomor satu memang hahaha).
    Esoknya di Sabtu pagi (13 Januari 2018), saya ditugaskan menjadi notulen dalam kegiatan Musyawarah Nasional Ikatan Alumni USU (MUNAS IKA USU) yang pertama di Gedung Biro Rektor USU. Kerjanya dari pagi sampai malam. Dengan kondisi masih demam tinggi, saya pun berangkat ke kampus.
    Alhamdulillah, di tengah kondisi seperti itu Allah masih mampukan saya untuk bekerja dengan semaksimal mungkin. Memang benar, ketika jatuh sakit itu harusnya dilawan bukan malah melemahkan diri. Yang penting, semangatnya itu loh! (eaak sok kuat saya mah, padahal uda terseok-seok aja di rumah hahaha).

    [Hari pertama di Jakarta. 15 Januari 2018]
    Selepas Subuh saya menuju Bandara Kualanamu yang membutuhkan waktu tempuh 1,5 jam dari rumah saya. Boarding time paling lama pukul 7 pagi dan saya langsung menuju Gate 6 untuk menunggu panggilan penumpang memasuki pesawat. Ada rasa campur aduk ketika saya duduk di antara para penumpang yang pagi itu menunggu di ruang gate. Matahari pagi juga pelan-pelan seolah memberi cahaya ke dalam ruangan yang kemudian saya tangkap melalui kamera telepon genggam. Sebelum berangkat, seperti biasa saya mengirimkan pesan singkat ke teman-teman yang menurut saya perlu untuk diberi kabar. Tidak banyak, hanya beberapa saja. 
    Sesampainya saya di Jakarta, kurang lebih pukul 10.15 WIB, sebuah pesan masuk ke WA saya. Salah satu finalis lomba dari Jambi, Kiky namanya, mengabarkan bahwa dirinya sudah menunggu tepat di depan kursi dekat bagian pengambilan bagasi. Ya, Kiky memang sejak awal dibuat grup WA finalis, ia menanyakan siapa yang kira-kira punya jadwal keberangkatan sama dan saya menawarkan diri untuk itu (berhubung memang biar sekalian punya teman juga ke penginapan hehehe).
    Alhamdulillah, kita tiba di Hotel Sofyan Inn Tebet, Jakarta Selatan dengan selamat meski ketika kami datang, Jakarta diguyur hujan deras. Sesampainya di lobi hotel, kami bertemu dengan Pak Ali (nama lengkapnya Alie Humaedi, seorang peneliti utama di LIPI sekaligus Ketua Panitia dalam perlombaan ini). Dugaan saya (mungkin juga sama dengan yang dirasakan oleh para finalis lainnya), Pak Alie adalah orang yang kaku dan formal sekali. Mengingat beliau adalah peneliti utama bidang kemasyarakatan dan kebudayaan di LIPI, saya rasa ekspetasi seperti itu sudah biasa hehe (maafkan kami ya, Pak Alie). Ternyata, Pak Alie orangnya humble sekali, sangat friendly, pola pemikirannya fleksibel dan tajam. 
    Ini nih namanya Pak Alie Humaedi. Beliau banyak mengajarkan pelajaran baru buat saya dan teman-teman finalis. Terima kasih, Pak. Sudah mau kami repotin. Sukses terus buat, Pak Alie.
    Tadinya menurut susunan pembagian kamar peserta, saya akan berbagi kamar dengan finalis asal Jember, Kak Desi namanya. Namun, dikarenakan Pak Alie melihat kedatangan saya dan Kiky yang barengan dan mungkin saja kami terlihat sudah kompak di mata Pak Alie hahaha, akhirnya kami pun diberi keluwesan apakah mau mengganti teman sekamarnya atau tidak. Saya sempat pandang-pandangan sama Kiky karena sebelum tiba di hotel, kami sudah sempat berkomunikasi dengan teman sekamar kami masing-masing. Saya harusnya sekamar dengan Kak Desi (Jember) dan Kiky harusnya sekamar dengan Tina (Bandung). 
    Alhasil, pilihan kami adalah mengganti teman sekamar dengan alasan awalnya menghargai tawaran dari Pak Ali. Selain itu, Tina juga masih dalam perjalanan menuju Jakarta yang kemungkinan besarnya akan tiba sore hari. Sedangkan Kak Desi sesampainya di hotel (sebelum saya dan Kiky), langsung izin keluar lagi dengan temannya untuk memperbaiki telepon genggamnya yang katanya sedikit bermasalah. Kami kemudian saling menghubungi teman sekamar kami sebelumnya dan menyampaikan pergantian kamar tersebut. Jadilah, saya dan Kiky menjadi penghuni kamar 242 selama dua hari ke depan (saya lupa fotoin nomor kamarnya hehe, maapkeun).
    Sesampainya di kamar, saya dan Kiky kelaparan hahaha. Lalu, seorang teman di kamar sebelah yang sudah mengetahui kedatangan kami, I Komang Sukarma namanya (dari Bali), kemudian chat ke saya. “Rizka, kalian sudah makan siang ? Mau makan siang bareng gak ? Aku kelaperan,” begitulah kira-kira isi chat-nya. Saya pikir, Komang ini anaknya agak sedikit elegan (tapi memang iya sih hahaha), ternyata orangnya kocak dan absurd. Komang satu kamar dengan Ricky (dari Universitas Indonesia, Jakarta) dan menjadi penghuni kamar 244 (tepat di samping kamar saya dan Kiky).
    Keakraban kami berempat (saya, Kiky, Komang, dan Ricky) berlanjut ketika kami memutuskan untuk memesan makan siang pakai aplikasi go-food dari hape saya. Kenapa pakai aplikasi itu ? Karena siang itu hujan sedang lebat-lebatnya dan tidak memungkinkan kami untuk mencari makan siang di daerah yang kami berempat sama-sama tidak paham. Sementara para finalis lain belum sampai, kami berempat yang menjadi penghuni awal di hotel pun mulai menampakkan tabiat-tabiat yang bisa dikategorikan aib (aib kok diceritain disini sih? eh ya gapapa lah, kita kan memang gitu orangnya).
    Aibnya sebenarnya enggak aib-aib sekali, ya tepatnya sih rada absurd-lah ya. Kayak misalnya aja, siang itu setelah pesanan makan siang kami datang, kami langsung duduk lesehan di lantai kamar karena tidak boleh makan di lobi hotel berhubung makanannya dari luar. Lalu, dikarenakan tidak ada piring apalagi mangkok yang bisa menampung makanan kami (kebetulan kami pesannya Nasi Sop Ayam), maka kami memutar otak. Pertama kali, Komang langsung mengambil gelas minum di kamar dan lancangnya bilang, "udah kita makan sopnya pakai ini aja".
    "Lah, kan kita enggak ada sendok juga," kata Kiky.
    "Yaudah, makan sopnya begini. Kan nasinya di kertas nasi tuh. Ambil nasinya, baru sopnya diminum kayak air putih," jawab Komang tanpa dosa.
    "Hahaha makan sop udah kayak makan mie gelas kita nih," kataku menyambar sambil tertawa renyah.
    Kami pun tanpa ragu melakukan hal tidak biasa itu. Makan sop dengan gelas dan tanpa menggunakan sendok. Sejujurnya, saya justru senang sama yang beginian. Istilahnya, enggak ada malu-malu atau malah mikir ribet. Ya wong buat makan saja kenapa harus diribetin. Memang sih makan mestilah punya adab dan keteraturan, tapi rasanya di kondisi seperti itu tak ada salahnya. Malah seru kan ? Momen susah senangnya bareng-bareng, ceilaah hahaha. Tapi yang buat lucunya lagi, ya Komang. Kami bertiga (kecuali Komang), baru tahu kalau Komang tidak tahan pedas. Sedangkan cabe merah untuk dicampurkan di dalam kuah sop, menurut Komang sangat sangat pedas. Kalau saya-Kiky-Ricky mah biasa saja, mungkin karena lidah kami terbiasa dengan makanan pedas.
    Si Komang sampai nangis saking kepedasannya dan lompat ke kamar mandi untuk kumur-kumur, sampai gosok gigi loh dia hahaha. Eventually, Komang is my best friend since the day has came around us. Sejak pertama kali kenal dan berbicara dengan Komang, saya tahu Komang adalah orang baik dan ramah. Dia sangat peduli dengan kawan, pengertian, lembut, kocak, asik, tidak segan-segan, tidak pilih-pilih teman dan itu terbukti selama kegiatan berlangsung, meskipun dia memang rada malu-maluin. Sama kayak saya hahaha. But, really nice to have you as my friend, Komang (saya bakal buat tulisan khusus kok tentang Komang dan semua teman-teman LIPI di postingan berikutnya, tungguin ya!).
    Yang bertanya-tanya si Komang yang mana. Nah, itu tuh yang ngambil foto wefie kami, paling depan dia mah hahaha. FYI, untuk foto doang si Komang bisa ngatur wajah dan senyumnya supaya sinkron gitu loh. Daebak! wkwk
    Nah, malam harinya selepas Isya, para finalis dikumpulkan di ruang lobi dan melakukan briefing untuk presentasi esok harinya. Tentunya, briefing malam itu bersama Pak Alie. Poin pentingnya berbicara tentang teknis penilaian meliputi siapa-siapa saja dewan juri, alokasi waktu setiap sesi peserta maksimal 30 menit terdiri dari 14 menit presentasi dan 16 menit tanya jawab. Lalu, Pak Alie juga menjelaskan bahwa di hari dimana penganugerahan hadiah yaitu tanggal 17 Januari 2018, akan dilakukan setelah kegiatan “Dialog Orang Muda”. 
    Dalam kegiatan itu akan dipilih dua orang finalis yang dianggap vokal (belum tentu nominasi juara) dan akan dihadirkan bersama untuk menjadi pembicara dengan Bapak Diaz Hendropriyono, Ph.D (anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Staf Khusus Presiden) dan Ibu Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA (Deputi IPSK LIPI). Keputusan 2 orang finalis yang akan menjadi pembicara akan dilakukan pada tanggal 16 Januari 2018, pukul 18.30 WIB.
    Sebelum ditutupnya malam hari pertama di Jakarta, seluruh finalis melakukan undian untuk menentukan urutan penampilan presentasi esok harinya. Daaaan.. saya kedapatan nomor urut 11. Ya Allah, lamanya (dalam hati saya). Kemudian yang menjadi unik karena saya dan Komang di urutan yang sebelahan. Saya nomor 11, Komang nomor 12. Sedangkan Ricky nomor 8 dan Kiky nomor 9. Dekat-dekatan nomor urut dengan 3 orang teman yang sama-sama absurd selama kegiatan itu, membuat degdegan saya makin degdegan hahaha. Yailah, gimana gak degdegan.. wong saya sangat yakin kalau semua finalis yang akan tampil besok sudah mempersiapkan amunisi dan senjata dengan level yang saya sendiri masih mempertanyakan diri saya, “amunisi saya sudah seberapa kuat toh ?”. 
    Tapi saya kembali lagi ke tujuan ikut lomba ini, semata-mata bukan karena untuk pencapaian semata. Tentu, untuk merajut kekeluargaan dalam keberagaman. Ini yang selalu saya tunggu-tunggu di setiap kegiatan apapun itu dan menjadi poin pentingnya. Ketika bertemu dengan wajah baru, orang baru, karakter baru, dan pengalaman baru akan menjadi catatan perjalanan saya hari ke hari. Perjalanan tentang memaknai hari menjadi sebaik-baiknya manusia. Insya Allah, semoga Allah izinkan selalu.

    [Hari Kedua, Presentasi. 16 Januari 2018]
    Di hari kedua ini, sejujurnya saya sangat-sangat degdegan. Makin degdegan malah dari hari pertama. Ditambah lagi ketika dewan juri sudah duduk di kursi masing-masing. Melihat penampilan teman-teman yang lain Masya Allah keren sekali. Ada yang membuka presentasinya dengan tarian Jawa, lantunan lagu Sunda, bermain Wayang Timplong, menyiarkan Seloko Jambi, dan sebagainya. Slide presentasinya juga tak kalah menarik. Saya semakin memantik diri dengan terus menjaga semangat. Disamping itu, saya melihat kondisi hari makin siang dan presentasi saya akan dilakukan setelah sholat Dzuhur dan makan siang. Saya berdoa, semoga saya tidak ngantuk setelah melahap makan siang. Ya biasalah kan, kalau habis makan siang itu penyakitnya suka nguap-nguap hahaha.
    Giliran saya pun tiba. Sebelum memasuki area presentasi, saya menyempatkan memakai tali Gorga khas Sumatera Utara bertuliskan “HORAS’ dan mengikatkannya di kepala. Mudah-mudahan ini bisa menularkan semangat ke saya dan mengurangi degdegan seharian ini seperti semangat yang terkandung dalam makna kata “HORAS” itu. Melihat kondisi peserta dan dewan juri yang (mulai) kurang semangat, saya memutuskan merubah konsep presentasi. Tidak seperti pada saat latihan di Medan. Saya pure menggunakan dialek (logat bahasa) Medan. Selepas saya mengucapkan 3 salam wajib khas Sumut, “Ahoi, Horas, Mejuah-Juah”, para penonton dan dewan juri seketika tertawa lepas. Alhamdulillah, pembuka yang baik (kata saya dalam hati).
    Presentasi saya Alhamdulillah berjalan lancar. Entah saking semangatnya atau memang suasana di ruangan sangat nyaman, bersyukurnya saya pun mampu menjawab semua pertanyaan dari para dewan juri. Kebetulan memang yang saya presentasikan sangat melekat dengan diri saya sebagai anak Medan. Saya jadi ingat lagu “Anak Medan” yang di salah satu liriknya berkata, “biar kambing di kampung sendiri, tapi banteng di perantauan”. Ya, itu menjadi gambaran perjuangan orang-orang Medan yang terkenal dengan orang-orangnya keras tapi hatinya lembut dan setia kawan. Hehehe, ini bukan rasis loh ya. Based on true story.
    Setelah seluruh finalis menampilan presentasi terbaiknya, kami pun kembali ke penginapan dengan memesan 2 mobil gocar. Lagi dan lagi, Jakarta macet rek hahaha. Jadilah kami terjebak kemacetan cukup lama sehingga tiba di hotel pun sekitar 10 menit setelah adzan Maghrib di Jakarta. Cerita punya cerita, ternyata ada yang ketiduran waktu di gocar. Yelaaah, kelelahan seharian kan. Berpikir keras pula gimana caranya menaklukkan pertanyaan dewan juri. Qadarallah, semuanya begitu mengesankan dan menyenangkan. Semangatnya teman-teman itu loh, aiih aiih salut saya!
    ***
    Nah, itu cerita selama dua hari di Jakarta dalam rangka Lomba Esai Nasional LIPI. Seru gak ? Kurang ya ? hehehe maapkeun kalau kurang seru ya. Eitss.. tapi ini belum selesai ceritanya. Ada satu hari lagi yang sangat mengesankan untuk kami semua. Mau tahu ? Nantikan postingan berikutnya!
    Terima kasih sudah baca. Mampir lagi ya nanti.
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Searching

    • ABOUT ME

    Media Sosial

    • Tumblr
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram

    HUBUNGI SAYA DENGAN EMAIL

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengunjung

    Pict of Me

    Pict of Me

    Catatan Berkarya



    Recent Post

    • Esai Seleksi Beasiswa Karya Salemba Empat
    • Esai Diri (Program Friendship From Indonesia 2017, China - Malaysia)

    Arsip Blog

    • ►  2022 (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2021 (1)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  Juni (1)
    • ►  2019 (8)
      • ►  Desember (2)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (2)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (1)
    • ▼  2018 (6)
      • ▼  Desember (1)
        • Bandara dan Petualangan Baru
      • ►  Agustus (1)
        • When I Told You
      • ►  April (2)
        • Kita (Tidak) Punya Cukup Waktu Bercerita
        • Lucu Rasanya
      • ►  Januari (2)
        • Berangkat Aja Dulu (Part 2)
        • Berangkat Aja Dulu! (Part 1)
    • ►  2017 (21)
      • ►  Desember (5)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (2)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juli (3)
      • ►  Juni (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (3)
      • ►  Maret (1)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2015 (3)
      • ►  Agustus (3)

    Label

    • Blog Competition
    • Cerita Rizka
    • Diurna Rizka
    • Esai
    • Pendidikan
    • Petualangan
    • Rizka Gusti Anggraini Sitanggang
    • Tulisan
    • Writing Competition
    Instagram LinkedIn

    Created with MRIL BeautyTemplatesDistributed By Rizka Sitanggang

    Back to top