Berangkat Aja Dulu! (Part 1)

Januari 16, 2018

Kalau kamu enggak mencoba, kamu enggak akan tahu rasanya gimana. Kalau kamu enggak pergi, kamu enggak akan tahu rasanya berjuang. Yaudah, berangkat aja dulu!

***
Itu yang di atas bukan quotes of the day ya hehe, tapi itu kata-kata Mama saya. Ya, Mama memang selalu jadi orang yang paling paham gimana cara menyemangati anaknya. Bukan tanpa alasan juga Mama ngasih kata-kata itu buat saya. Sejak dulu Mama bukan tipikal orang yang gampang memotivasi dengan kata-kata. Biasanya itu tugas Bapak. Tapi semenjak Bapak pergi lebih dulu, Mama merangkap peran sebagai Ibu sekaligus Ayah buat saya. Dengan bermodal sebagai pedagang warung kelontong di rumah, Mama tidak pernah mengatakan “tidak” untuk hal-hal seputar studi pendidikan saya. Daebak! Bahkan saya kepikiran, kalau suatu saat saya jadi seorang Ibu, mungkinkah saya setangguh Mama ? Semoga saja. Ini juga sedang latihan kok (ceilah hahaha).
Nah nah.. tapi kali ini saya bukan mau mendeskripsikan sosok Mama di tulisan ini. Melainkan ingin membagi cerita dan pengalaman ketika saya dan Mama saling menguatkan dalam berbagai hal. Salah satunya adalah ketika momen yang belum lama ini Alhamdulillah direzekikan untuk saya, di bulan kelahiran saya pula hehehe. Qadarallah memang kejutan Allah siapa yang tahu coba ya. Sampai sekarang saja saya enggak habis pikir gimana ya Allah membuat settingan waktu ke waktu untuk ngasih surprise kepada setiap hamba-Nya. Tapi ya kalau dipertanyakan terus mah itu namanya kita tidak yakin dengan keajaiban Allah. Jadi, cukupkan dengan senantiasa bersyukur dan meningkatkan kualitas diri dengan ibadah.
Terus kaaan.. momen belum lama yang saya maksudkan di atas itu adalah ketika Allah mengizinkan saya menjadi satu dari 13 orang keren di ajang yang keren pula. Ya, Alhamdulillah Desember 2017 lalu saya mendapatkan sebuah surel yang tidak asing. Sebab, saya baru seminggu lalunya mengirimkan sebuah tulisan esai ke alamat email tersebut dalam rangka berpartisipasi mengikuti perlombaan esai nasional tingkat mahasiswa. Mbak Anggy Denok Sukmawati, namanya (saya akan posting foto beliau di tulisan berikutnya hehe). Beliau adalah seorang peneliti muda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat dan salah satu panitia utama dalam perlombaan esai yang saya ikutsertakan itu.
Emailnya buat saya merinding berkali-kali, bahkan sampai detik ini kalau saya baca ulang lagi. Skenario-Nya keren banget, Masya Allah! Jadi, email itu berisikan sebuah pengumuman dimana saya lolos sebagai finalis yang akan dibiayai berangkat ke Jakarta, tepatnya yang akan bersaing dengan 12 finalis lainnya di gedung LIPI. Para finalis yang lolos tersebut ternyata disaring dari 797 naskah esai yang masuk selama kurun waktu 15 hari sejak awal dibukanya perlombaan itu. Saya mencoba berkali-kali meyakinkan kalau saya tidak salah membaca nama di urutan ke-4 dalam daftar nama-nama lolos seleksi tersebut. Yang kemudian saya lihat adalah perwakilan dari Sumatera. Ya, ada 3 orang diantaranya saya dari Medan, Kiky dari Jambi, dan Roni dari Padang.
Maka, sejak email itu bertengger di kotak masuk email saya, semangat saya seperti dipompa lagi. Termasuk yang tadinya semangat ingin skripsian dan tamat cepat di semester 7, mendadak harus digeser sedikit dan kemungkinan akan sedikit tertunda dari target waktu yang sudah saya list sejak lama (jangan ditiru ini mah, bukan mahasiswa teladan yang seperti ini hehehe). Selain itu, seminar hasil skripsi saya (meliputi Bab 1 sampai Bab 5) yang rencananya akan dilaksanakan awal Januari 2018, alhasil gagal total. Karena saya harus fokus persiapan lomba dan entah kenapa rasanya momen ini seolah mendorong diri saya untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan semaksimal mungkin. 
Saya sudah menggeser waktu seminar skripsi, maka tak baik rasanya kalau kesempatan ini saya permainkan pula. Bahkan sebelum keberangkatan menuju Jakarta, saya merasa tidak enakan sama dosen pembimbing (doping) saya yang justru selalu support bahkan sebelum beliau jadi doping saya. Doa saya cuma satu, semoga beliau tidak kecewa dengan saya. Karena saya tahu gimana rasanya dikecewakan (tsaaah.. kok malah curhat maneh, nduk? hahaha abaikan).
Kira-kira hampir tiga minggu saya mempersiapkan diri. Mulai dari mengulas isi esai, menemukan poin-poin yang akan dipresentasikan, menyiapkan slide presentasi semenarik mungkin, membuat pitch desk, latihan presentasi, sampai mempersiapkan diri dengan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang bakal diajukan oleh dewan juri. Apalagi dengar-dengar dari panitia (setelah beberapa hari pengumuman, seluruh finalis digabung ke dalam satu grup obrolan di Whatsapp), dewan jurinya ada 4 orang  yang basic-nya memang sebagai peneliti dan para akademisi dan kajiannya pun sudah berfokus pada budaya lokal, sesuai dengan tema perlombaan kali ini.
Dengan tidak memerdulikan diri dari rasa malu, saya pun meminta bantuan ke beberapa teman untuk me-review latihan presentasi saya. Dan yang membuat saya tertohok adalah ketika latihan dengan dua orang teman yang sudah seperti abang saya sendiri. Mereka itu Iqbal dan Abil. Tanpa ragu mereka bilang, “kau kalau mau menarik presentasinya, jangan buat slide macem gini. Ini terlalu kaku dan kau justru terlihat seperti mau ngajar di kelas. Macem slide dosen aku di kampus hahaha. Isinya kebanyakan tulisan”. 
Memang benar, teman yang baik adalah yang mengingatkan kita dengan kebaikan dan menuntun kita menjadi pribadi lebih baik. Termasuk dari segi persiapan ini, bisa dikatakan mereka berdua sangat berperan menjelang keberangkatan saya. Alhamdulillah, meski kami sudah jarang bersapa akhir-akhir ini, tapi bisa saling hadir di saat yang tepat. Ya, bukan berarti tidak intens bertemu dan bersapa menandakan tidak saling mendoakan. Justru kehadiran di waktu yang tepat punya nilai yang lebih di mata saya. Terima kasih atas keringanan hati kalian, Iqbal dan Abil. Tidak hanya mereka berdua, tapi seorang teman bernama Dita Andriani dan seorang senior kampus bernama Nurrafiqa juga turut memberikan dukungan. Terima kasih banyak, Dita dan Kak Fiqa.
***

[Menuju 3 hari keberangkatan].
Tiga hari menjelang hari keberangkatan, Alhamdulillah saya diuji dengan diberikan nikmat sakit. Kondisi tubuh benar-benar melemah dan suhu badan yang tidak karuan tingginya. Mungkin efek karena seminggu terakhirnya saya porsir tidur enggak tidur dan kurangnya nafsu makan meski saya tetap makan 3x sehari. Mau tidak mau, saya dianjurkan untuk suntik neurobion. Saya ingat itu hari Jum’at dan keberangkatan saya di hari Senin pagi pukul 07.40 WIB. Mama saya langsung khawatir. Apalagi ia tahu kalau keberangkatan saya ke Jakarta bukan cuma untuk lomba, melainkan akan melakukan perjalanan lagi ke beberapa kota. Kebiasaan ngebolang sendirian, kalau Ibu saya bilang.
“Yah dek, masa sakit pas mau berangkat gini. Besok Sabtu kan Ika bilang ada kerja di kampus dari pagi sampai malam. Tambah lagi nanti mau lanjut ngebolang sendirian. Gimana tuh?,” tanya Ibu saya khawatir sambil mencoba mengompres demam saya dengan kain basah.
“Bisa. Ika bisa, Ma,” jawab saya singkat. Rasanya ingin jawab lebih panjang lagi untuk meyakinkan Mama, tapi saking menggigilnya tak karuan, saya cuma bisa melontarkan kalimat itu ke Mama. Lalu, saya tidur (yelah kalau urusan tidur, enggak dalam kondisi apapun saya nomor satu memang hahaha).
Esoknya di Sabtu pagi (13 Januari 2018), saya ditugaskan menjadi notulen dalam kegiatan Musyawarah Nasional Ikatan Alumni USU (MUNAS IKA USU) yang pertama di Gedung Biro Rektor USU. Kerjanya dari pagi sampai malam. Dengan kondisi masih demam tinggi, saya pun berangkat ke kampus.
Alhamdulillah, di tengah kondisi seperti itu Allah masih mampukan saya untuk bekerja dengan semaksimal mungkin. Memang benar, ketika jatuh sakit itu harusnya dilawan bukan malah melemahkan diri. Yang penting, semangatnya itu loh! (eaak sok kuat saya mah, padahal uda terseok-seok aja di rumah hahaha).

[Hari pertama di Jakarta. 15 Januari 2018]
Selepas Subuh saya menuju Bandara Kualanamu yang membutuhkan waktu tempuh 1,5 jam dari rumah saya. Boarding time paling lama pukul 7 pagi dan saya langsung menuju Gate 6 untuk menunggu panggilan penumpang memasuki pesawat. Ada rasa campur aduk ketika saya duduk di antara para penumpang yang pagi itu menunggu di ruang gate. Matahari pagi juga pelan-pelan seolah memberi cahaya ke dalam ruangan yang kemudian saya tangkap melalui kamera telepon genggam. Sebelum berangkat, seperti biasa saya mengirimkan pesan singkat ke teman-teman yang menurut saya perlu untuk diberi kabar. Tidak banyak, hanya beberapa saja. 
Sesampainya saya di Jakarta, kurang lebih pukul 10.15 WIB, sebuah pesan masuk ke WA saya. Salah satu finalis lomba dari Jambi, Kiky namanya, mengabarkan bahwa dirinya sudah menunggu tepat di depan kursi dekat bagian pengambilan bagasi. Ya, Kiky memang sejak awal dibuat grup WA finalis, ia menanyakan siapa yang kira-kira punya jadwal keberangkatan sama dan saya menawarkan diri untuk itu (berhubung memang biar sekalian punya teman juga ke penginapan hehehe).
Alhamdulillah, kita tiba di Hotel Sofyan Inn Tebet, Jakarta Selatan dengan selamat meski ketika kami datang, Jakarta diguyur hujan deras. Sesampainya di lobi hotel, kami bertemu dengan Pak Ali (nama lengkapnya Alie Humaedi, seorang peneliti utama di LIPI sekaligus Ketua Panitia dalam perlombaan ini). Dugaan saya (mungkin juga sama dengan yang dirasakan oleh para finalis lainnya), Pak Alie adalah orang yang kaku dan formal sekali. Mengingat beliau adalah peneliti utama bidang kemasyarakatan dan kebudayaan di LIPI, saya rasa ekspetasi seperti itu sudah biasa hehe (maafkan kami ya, Pak Alie). Ternyata, Pak Alie orangnya humble sekali, sangat friendly, pola pemikirannya fleksibel dan tajam. 
Ini nih namanya Pak Alie Humaedi. Beliau banyak mengajarkan pelajaran baru buat saya dan teman-teman finalis. Terima kasih, Pak. Sudah mau kami repotin. Sukses terus buat, Pak Alie.
Tadinya menurut susunan pembagian kamar peserta, saya akan berbagi kamar dengan finalis asal Jember, Kak Desi namanya. Namun, dikarenakan Pak Alie melihat kedatangan saya dan Kiky yang barengan dan mungkin saja kami terlihat sudah kompak di mata Pak Alie hahaha, akhirnya kami pun diberi keluwesan apakah mau mengganti teman sekamarnya atau tidak. Saya sempat pandang-pandangan sama Kiky karena sebelum tiba di hotel, kami sudah sempat berkomunikasi dengan teman sekamar kami masing-masing. Saya harusnya sekamar dengan Kak Desi (Jember) dan Kiky harusnya sekamar dengan Tina (Bandung). 
Alhasil, pilihan kami adalah mengganti teman sekamar dengan alasan awalnya menghargai tawaran dari Pak Ali. Selain itu, Tina juga masih dalam perjalanan menuju Jakarta yang kemungkinan besarnya akan tiba sore hari. Sedangkan Kak Desi sesampainya di hotel (sebelum saya dan Kiky), langsung izin keluar lagi dengan temannya untuk memperbaiki telepon genggamnya yang katanya sedikit bermasalah. Kami kemudian saling menghubungi teman sekamar kami sebelumnya dan menyampaikan pergantian kamar tersebut. Jadilah, saya dan Kiky menjadi penghuni kamar 242 selama dua hari ke depan (saya lupa fotoin nomor kamarnya hehe, maapkeun).
Sesampainya di kamar, saya dan Kiky kelaparan hahaha. Lalu, seorang teman di kamar sebelah yang sudah mengetahui kedatangan kami, I Komang Sukarma namanya (dari Bali), kemudian chat ke saya. “Rizka, kalian sudah makan siang ? Mau makan siang bareng gak ? Aku kelaperan,” begitulah kira-kira isi chat-nya. Saya pikir, Komang ini anaknya agak sedikit elegan (tapi memang iya sih hahaha), ternyata orangnya kocak dan absurd. Komang satu kamar dengan Ricky (dari Universitas Indonesia, Jakarta) dan menjadi penghuni kamar 244 (tepat di samping kamar saya dan Kiky).
Keakraban kami berempat (saya, Kiky, Komang, dan Ricky) berlanjut ketika kami memutuskan untuk memesan makan siang pakai aplikasi go-food dari hape saya. Kenapa pakai aplikasi itu ? Karena siang itu hujan sedang lebat-lebatnya dan tidak memungkinkan kami untuk mencari makan siang di daerah yang kami berempat sama-sama tidak paham. Sementara para finalis lain belum sampai, kami berempat yang menjadi penghuni awal di hotel pun mulai menampakkan tabiat-tabiat yang bisa dikategorikan aib (aib kok diceritain disini sih? eh ya gapapa lah, kita kan memang gitu orangnya).
Aibnya sebenarnya enggak aib-aib sekali, ya tepatnya sih rada absurd-lah ya. Kayak misalnya aja, siang itu setelah pesanan makan siang kami datang, kami langsung duduk lesehan di lantai kamar karena tidak boleh makan di lobi hotel berhubung makanannya dari luar. Lalu, dikarenakan tidak ada piring apalagi mangkok yang bisa menampung makanan kami (kebetulan kami pesannya Nasi Sop Ayam), maka kami memutar otak. Pertama kali, Komang langsung mengambil gelas minum di kamar dan lancangnya bilang, "udah kita makan sopnya pakai ini aja".
"Lah, kan kita enggak ada sendok juga," kata Kiky.
"Yaudah, makan sopnya begini. Kan nasinya di kertas nasi tuh. Ambil nasinya, baru sopnya diminum kayak air putih," jawab Komang tanpa dosa.
"Hahaha makan sop udah kayak makan mie gelas kita nih," kataku menyambar sambil tertawa renyah.
Kami pun tanpa ragu melakukan hal tidak biasa itu. Makan sop dengan gelas dan tanpa menggunakan sendok. Sejujurnya, saya justru senang sama yang beginian. Istilahnya, enggak ada malu-malu atau malah mikir ribet. Ya wong buat makan saja kenapa harus diribetin. Memang sih makan mestilah punya adab dan keteraturan, tapi rasanya di kondisi seperti itu tak ada salahnya. Malah seru kan ? Momen susah senangnya bareng-bareng, ceilaah hahaha. Tapi yang buat lucunya lagi, ya Komang. Kami bertiga (kecuali Komang), baru tahu kalau Komang tidak tahan pedas. Sedangkan cabe merah untuk dicampurkan di dalam kuah sop, menurut Komang sangat sangat pedas. Kalau saya-Kiky-Ricky mah biasa saja, mungkin karena lidah kami terbiasa dengan makanan pedas.
Si Komang sampai nangis saking kepedasannya dan lompat ke kamar mandi untuk kumur-kumur, sampai gosok gigi loh dia hahaha. Eventually, Komang is my best friend since the day has came around us. Sejak pertama kali kenal dan berbicara dengan Komang, saya tahu Komang adalah orang baik dan ramah. Dia sangat peduli dengan kawan, pengertian, lembut, kocak, asik, tidak segan-segan, tidak pilih-pilih teman dan itu terbukti selama kegiatan berlangsung, meskipun dia memang rada malu-maluin. Sama kayak saya hahaha. But, really nice to have you as my friend, Komang (saya bakal buat tulisan khusus kok tentang Komang dan semua teman-teman LIPI di postingan berikutnya, tungguin ya!).
Yang bertanya-tanya si Komang yang mana. Nah, itu tuh yang ngambil foto wefie kami, paling depan dia mah hahaha. FYI, untuk foto doang si Komang bisa ngatur wajah dan senyumnya supaya sinkron gitu loh. Daebak! wkwk
Nah, malam harinya selepas Isya, para finalis dikumpulkan di ruang lobi dan melakukan briefing untuk presentasi esok harinya. Tentunya, briefing malam itu bersama Pak Alie. Poin pentingnya berbicara tentang teknis penilaian meliputi siapa-siapa saja dewan juri, alokasi waktu setiap sesi peserta maksimal 30 menit terdiri dari 14 menit presentasi dan 16 menit tanya jawab. Lalu, Pak Alie juga menjelaskan bahwa di hari dimana penganugerahan hadiah yaitu tanggal 17 Januari 2018, akan dilakukan setelah kegiatan “Dialog Orang Muda”
Dalam kegiatan itu akan dipilih dua orang finalis yang dianggap vokal (belum tentu nominasi juara) dan akan dihadirkan bersama untuk menjadi pembicara dengan Bapak Diaz Hendropriyono, Ph.D (anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Staf Khusus Presiden) dan Ibu Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA (Deputi IPSK LIPI). Keputusan 2 orang finalis yang akan menjadi pembicara akan dilakukan pada tanggal 16 Januari 2018, pukul 18.30 WIB.
Sebelum ditutupnya malam hari pertama di Jakarta, seluruh finalis melakukan undian untuk menentukan urutan penampilan presentasi esok harinya. Daaaan.. saya kedapatan nomor urut 11. Ya Allah, lamanya (dalam hati saya). Kemudian yang menjadi unik karena saya dan Komang di urutan yang sebelahan. Saya nomor 11, Komang nomor 12. Sedangkan Ricky nomor 8 dan Kiky nomor 9. Dekat-dekatan nomor urut dengan 3 orang teman yang sama-sama absurd selama kegiatan itu, membuat degdegan saya makin degdegan hahaha. Yailah, gimana gak degdegan.. wong saya sangat yakin kalau semua finalis yang akan tampil besok sudah mempersiapkan amunisi dan senjata dengan level yang saya sendiri masih mempertanyakan diri saya, “amunisi saya sudah seberapa kuat toh ?”
Tapi saya kembali lagi ke tujuan ikut lomba ini, semata-mata bukan karena untuk pencapaian semata. Tentu, untuk merajut kekeluargaan dalam keberagaman. Ini yang selalu saya tunggu-tunggu di setiap kegiatan apapun itu dan menjadi poin pentingnya. Ketika bertemu dengan wajah baru, orang baru, karakter baru, dan pengalaman baru akan menjadi catatan perjalanan saya hari ke hari. Perjalanan tentang memaknai hari menjadi sebaik-baiknya manusia. Insya Allah, semoga Allah izinkan selalu.

[Hari Kedua, Presentasi. 16 Januari 2018]
Di hari kedua ini, sejujurnya saya sangat-sangat degdegan. Makin degdegan malah dari hari pertama. Ditambah lagi ketika dewan juri sudah duduk di kursi masing-masing. Melihat penampilan teman-teman yang lain Masya Allah keren sekali. Ada yang membuka presentasinya dengan tarian Jawa, lantunan lagu Sunda, bermain Wayang Timplong, menyiarkan Seloko Jambi, dan sebagainya. Slide presentasinya juga tak kalah menarik. Saya semakin memantik diri dengan terus menjaga semangat. Disamping itu, saya melihat kondisi hari makin siang dan presentasi saya akan dilakukan setelah sholat Dzuhur dan makan siang. Saya berdoa, semoga saya tidak ngantuk setelah melahap makan siang. Ya biasalah kan, kalau habis makan siang itu penyakitnya suka nguap-nguap hahaha.
Giliran saya pun tiba. Sebelum memasuki area presentasi, saya menyempatkan memakai tali Gorga khas Sumatera Utara bertuliskan “HORAS’ dan mengikatkannya di kepala. Mudah-mudahan ini bisa menularkan semangat ke saya dan mengurangi degdegan seharian ini seperti semangat yang terkandung dalam makna kata “HORAS” itu. Melihat kondisi peserta dan dewan juri yang (mulai) kurang semangat, saya memutuskan merubah konsep presentasi. Tidak seperti pada saat latihan di Medan. Saya pure menggunakan dialek (logat bahasa) Medan. Selepas saya mengucapkan 3 salam wajib khas Sumut, “Ahoi, Horas, Mejuah-Juah”, para penonton dan dewan juri seketika tertawa lepas. Alhamdulillah, pembuka yang baik (kata saya dalam hati).
Presentasi saya Alhamdulillah berjalan lancar. Entah saking semangatnya atau memang suasana di ruangan sangat nyaman, bersyukurnya saya pun mampu menjawab semua pertanyaan dari para dewan juri. Kebetulan memang yang saya presentasikan sangat melekat dengan diri saya sebagai anak Medan. Saya jadi ingat lagu “Anak Medan” yang di salah satu liriknya berkata, “biar kambing di kampung sendiri, tapi banteng di perantauan”. Ya, itu menjadi gambaran perjuangan orang-orang Medan yang terkenal dengan orang-orangnya keras tapi hatinya lembut dan setia kawan. Hehehe, ini bukan rasis loh ya. Based on true story.
Setelah seluruh finalis menampilan presentasi terbaiknya, kami pun kembali ke penginapan dengan memesan 2 mobil gocar. Lagi dan lagi, Jakarta macet rek hahaha. Jadilah kami terjebak kemacetan cukup lama sehingga tiba di hotel pun sekitar 10 menit setelah adzan Maghrib di Jakarta. Cerita punya cerita, ternyata ada yang ketiduran waktu di gocar. Yelaaah, kelelahan seharian kan. Berpikir keras pula gimana caranya menaklukkan pertanyaan dewan juri. Qadarallah, semuanya begitu mengesankan dan menyenangkan. Semangatnya teman-teman itu loh, aiih aiih salut saya!
***
Nah, itu cerita selama dua hari di Jakarta dalam rangka Lomba Esai Nasional LIPI. Seru gak ? Kurang ya ? hehehe maapkeun kalau kurang seru ya. Eitss.. tapi ini belum selesai ceritanya. Ada satu hari lagi yang sangat mengesankan untuk kami semua. Mau tahu ? Nantikan postingan berikutnya!
Terima kasih sudah baca. Mampir lagi ya nanti.

Baca Artikel Yang Kamu Suka

1 komentar