Lucu Rasanya

April 01, 2018


Maret tidak ada postingan. Saya tahu itu dan saya merasa bersalah. Kalau saja tumblr tidak di blokir oleh pemerintah, mungkin akan banyak draft tulisan disana. Antara tidak punya teman cerita atau memang lebih nyaman saja bercerita di platform begitu. Tanpa ada yang harus membaca unek-unek sampah milik seorang anak yang hobi sekali meninggalkan rumah. Bukan karena tidak betah, hanya saja ada begitu banyak hal yang tidak bisa dituangkan barang sebentar pun. Justru terkadang, apa yang paling ingin dituliskan dan ditampilkan adalah yang paling tidak terungkapkan.

Postingan ini sebenarnya tidak begitu penting untuk dibaca. Kalau sudah baca sampai bagian ini dan ingin keluar dari laman blog saya, silahkan tidak apa. Toh juga postingan ini tadinya untuk menghibur diri sendiri, tapi ikhwal saya pikir ada baiknya kalau dibagikan saja. Syukur-syukur bisa jadi kontemplasi bersama.

Akhir Maret kemarin, saya mengesalkan. Ya, saya kesal pada diri sendiri. Satu hal yang seharusnya orang lain tidak perlu tahu, jadinya tahu. Saya ingat sekali, sore itu hujan sedang deras-derasnya. Saya dan teman-teman tidak dapat menahan haru sebab salah seorang dari kami telah menyelesaikan masa studinya dengan hasil memuaskan. Kami memang begitu, menyenangkan rasanya kalau ada orang-orang terdekat sedang berbahagia. Bahkan seandainya pun bahagia itu bukan untuk kami, tetaplah kami akan menjadi bagian paling bahagia di harinya. Tidak sedikit orang-orang saya temui seperti itu dan saya tahu bahwa orang-orang demikian adalah orang baik. 

Ohiya lanjut ke ceritanya. Dalam pertemanan 12 orang, kata teman-teman, saya itu lain sendiri. Lainnya adalah karena saya suka menyendiri dan tidak begitu suka keramaian. Siapa bilang ? Padahal saya juga suka ke tempat-tempat ramai, apalagi kalau ada lampu-lampu di sepanjang jalannya. Kayak lampion di Pekan Raya Sumatera Utara, misalnya. Atau kayak lampu-lampu bergelantungan di simpang empat antara Istana Maimun, Perpustakaan Daerah, Masjid Raya, dan Kesawan Square di Medan. Ya sesederhana itu sih memang hehe. Tapi kata mereka, saya lain sendiri.

Pernah satu diantara mereka bilang begini, “Kalau aku jadi kau, mana mau aku jalan sendirian ke toko buku, ke taman kota dan ngabisin waktu seharian disana hanya untuk baca buku. Ngapain coba? Kayak orang gila.”

Oh, saya baru tahu kalau jalan sendirian itu identik dengan orang gila. Saya pikir itu pekerjaan orang waras yang hanya ingin jalan saja, bukan karena apa-apa. Saya jadi baru tahu juga kalau ternyata orang-orang pada umumnya sering melakukan sesuatu itu karena sebuah alasan yang menurut mereka rasional. Sekali lagi, saya baru tahu.

Selain dikatain lain sendiri, saya juga dianggap yang paling tidak peka. Lebih dalamnya lagi, kata mereka saya sudah mati rasa. Kata mereka, itu akibat saya sering patah hati. Siapa bilang ? Saya baru patah hati satu kali, waktu Bapak saya meninggal. Itu patah hati yang paling saya anggap, selebihnya tidak. Lebih tepatnya tidak mau saya anggap sebagai patah hati melainkan penyalahgunaan perasaan yang berujung pada gagalnya macam-macam ekspektasi. Salah saya itu mah, bukan salah siapa-siapa. Makanya, jadi manusia enggak usah berharap lebih sama manusia. Ada tuh kata-kata dari Ali bin Abi Thalib, coba cari tahu sendiri sana.

Ohiya, balik lagi ke ceritanya. Di sore hari yang hujan itu, ada isu-isu kalau salah satu di antara kami ada yang memendam rasa dengan salah satu di antara kami lainnya. Dengar-dengar sih dari awal masuk kuliah. Saya sempat kaget dengar kabar itu, tapi habis itu langsung biasa saja. Wajar sih kalau ada rasa, pun yang dikagumi juga orangnya baik. Dan jadilah mereka berdua itu foto bersama. Salah seorang teman saya nyeletuk, “Jadian! Jadian! Jadian!”, yang kemudian diikuti oleh teman-teman yang lain. Melihat seperti itu, saya cuma senyum saja. Terakhir saya melihat sorak-sorai begitu waktu SMA. Ketika seorang teman cowok menyatakan perasaannya ke teman cewek saya. Kebetulan saya duduk enggak terlalu di depan waktu SMA, jadi saya pun mandangi dari jauh saja. Lucu, tapi saya kurang suka.

Rupanya, rasa kagum itu diwujudkan dengan sebuah pemberian. Ya, teman saya itu diberi hadiah dengan tas warna merah muda. Setahu saya, isinya itu mukenah. Waktu tahu isinya itu, saya senyum dan geleng-geleng kepala. Nampaknya dia ingin seriusin temen saya nih, dalam hati saya bilang. Lalu, teman saya yang nyeletuk tadi itu kemudian nyeletuk lagi, “yuhuu.. dah bisalah kita siap-siap jadi panitia nih wee”. Seterusnya mereka semua keroyokan bersuara. Kata mereka, itu bentuk dari dukungan atau motivasi. Oh begitu rupanya. Niatnya baik memang, tapi saya kurang suka. Mungkin karena saya berpikir kalau sesuatu yang terlalu digaungkan itu justru bisa membuat luka sedalam-dalamnya, kapan saja. Begitupun, saya mengagumi bagaimana cara teman-teman saya menyampaikan rasa sayangnya terhadap satu sama lain.

Habis sorak-sorakan itu, teman saya menyeletuk lagi, “jadi maharnya berapa gram?”. Yang lainnya menyerukan sekian per sekian harga dan rupanya saya gagal ngerem mulut saya untuk ngomong. “Eh wee, kenapa harus mikirin mahar gede-gede? Bukannya perempuan yang martabatnya tinggi itu justru yang memberikan kemudahan?”, lontar saya. Agak nyesal sebenarnya habis bilang begitu, tapi itulah kata-kata. Sifatnya irreversible, artinya apa yang sudah dikeluarkan maka itu akan jadi milik orang lain dan tidak dapat ditarik kembali.

Saya sudah duga, akan terjadi perang dingin kalau saya ngomong dengan pemahaman lain sendiri (bagi mereka). “Heh! Kalau cowoknya mampu dan ceweknya senang-senang aja, kenapa rupanya ? Kok kau pula yang sibuk sih Riz?”, celetuk teman saya.

“Walah, aku nggak maksud apa-apa. Kalau keduanya sepakat ya nggak apa juga. Kali aja kan mau kasih mahar tinggi-tinggi, cocok juga kok. Apalagi kalau uda ada gelar di namanya yakan hahaha”, kata saya.

“Alah Riz, dalam hatimu pun kau maunya kan mahar tinggi. Gak usahlah kau tutup-tutupi. Perempuan dasarnya kan matre. Kau pun juganya itu!”, ketus teman saya.

Dan disitulah saya merasa bahwa sore itu lucu sekali. Hujan sedang deras-derasnya yang harusnya saya bisa nikmati itu tanpa perlu ikut-ikutan macem hujan, di depan umum pula. Padahal saya mikir kalau itu sebenarnya bukan masalah hebat, tapi rasanya lucu karena itu menyentuh hati. Ada rasa marah yang saya enggak mungkin juga blak-blakan mencaci maki siapa orang yang bicara. Lucu rasanya, ketika hal-hal kecil pun diartikan secara umum oleh sebagian orang. Generalisasi. Mungkin pun saya pernah atau masih seperti itu, maka akhirnya saya diperlakukan demikian. Tidak apa, itu sebuah pelajaran.

Sampai detik ini, kata-kata itu saya ingat sebagai pengingat diri. “Besok-besok, kamu enggak usah banyak ngomong Riz. Kalau ada yang nanya saja kau baru boleh ngomong”, kata saya dalam hati. Tapi habis bergumam demikian, saya ingin ralat kata-kata itu. 

Kalau dalam satu kondisi ada orang yang sangat butuh pendapat tapi dia tidak tanya saya, bagaimana ? Masa saya harus diam dan nunggu dia nanya saya baru saya jawab, padahal seumpamanya saya bisa bantu jawab. Bukankah itu membunuh nurani saya sendiri ?, pikir saya kemudian. Oh, lucu rasanya. 

Sore itu, teman-teman seangkatan di kampus pun tahu bahwa seorang anak yang sering mereka katai "kau perempuan atau bukan? Kemana-mana kau pergi sesuka hati", pun akhirnya tidak semati-rasa seperti pikiran mereka. Pun perasaan anak itu bisa sama derasnya dengan hujan hanya karena kata-kata yang menurut mereka sepele. Agak menjijikkan pastinya bagi si anak itu sendiri ketika orang lain harusnya tidak perlu tahu soal itu, tapi justru jadinya tahu. Padahal sama sekali dia tidak ingin menunjukkan. Mungkin, salah satu kelemahan yang sulit dia pungkiri adalah dia salah satu orang yang 'tidak tahu tempat'. Lucu rasanya kalau diingat-ingat. Anak itu berharap, mereka segera melupakan itu. Sejak sore itu, setiap kali hujan turun dengan derasnya, anak perempuan itu bilang ke diri sendiri supaya dia lebih banyak diam sampai hujan berhenti.

[Cerita ini harusnya untuk Maret, tapi melalui April saya sampaikan ini agar tidak terulang]
Medan, 02 April 2018.

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar