Call For Paper : The 15th Journalist Days in Universitas Indonesia
Desember 02, 2017
Penulis :
RIZKA GUSTI ANGGRAINI SITANGGANG
CITRA RELITNA GINTING
Sub-tema :
How Travel Journalism Affects The Local Community
RIZKA GUSTI ANGGRAINI SITANGGANG
CITRA RELITNA GINTING
Sub-tema :
How Travel Journalism Affects The Local Community
A well-informed consumer is an empowered holidaymaker who when given the correct facts is enabled to make a quality discerning decision.
Industri pariwisata di hampir seluruh belahan dunia terus mengalami pertumbuhan positif, bahkan beberapa negara khususnya negara berkembang menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sektor pariwisata. Indonesia yang dikenal dengan sebutan “Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi” ini memiliki kekayaan potensi pariwisata yang sungguh luar biasa apabila digarap serius. Dengan 1.128 suku bangsa, 746 bahasa, beragam flora dan fauna, serta kekayaan alam dan energi terbarukan, menjadikan Indonesia sebagai rumah beragam budaya adiluhung. Tidak heran apabila Sapta Nirwandar, mantan Wakil Menteri Pariwisata Republik Indonesia dalam bukunya "Building Wow: Indonesia Tourism and Creative Industry" menjuluki Indonesia sebagai The Sleeping Giant, raksasa yang sedang tertidur.
Menyebar luas dari Sabang sampai Merauke, keanekaragaman potensi wisata Indonesia bisa dibilang salah satu yang paling lengkap di dunia. Mulai dari alamnya yang memesona (nature), keramahan masyarakat (people), hingga kearifan budaya yang beragam dan khas tiap daerah (culture) adalah harta karun yang tak terbantahkan bagi pariwisata Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, maka sudah tiba saatnya segala potensi tersebut digarap dan dikelola dengan baik dan serius. Kementerian Pariwisata sebagai regulator, pelaku wisata sebagai fasilitator, dan para wisatawan sebagai konsumen merupakan tiga komponen yang akan menggerakan roda industri pariwisata. Salah satu poin penting dalam pengelolaan itu adalah mengenalkan potensi pariwisata tersebut kepada para calon wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Di sinilah media mengambil peran strategis dalam hal mempromosikan pariwisata. Media yang dimaksud berarti luas, baik media cetak, elektronik, hingga media online.
Ketika kita bicara media dan pariwisata, maka tidak adil jika kita tidak membahas konsep jurnalisme yang mempertemukan kedua hal ini. Salah satu jenis jurnalisme yang masih disepelekan dan sedikit mendapat perhatian akademisi dan praktisi, meskipun memegang peranan penting yang sama dalam mengonstruksi realita dan persepsi masyarakat, adalah jurnalisme perjalanan (travel journalism) (Fürsich dan Kavoori, 2001: 149; Hanush, 2010: 68). Jurnalisme perjalanan masih dipandang sebelah mata karena dinilai bisa ditulis siapa pun yang berwisata dan berada pada ‘area abu-abu’ antara hiburan dan nilai berita (news) (Hanusch, 2010: 69). Padahal ketika melakukan perjalanan atau berwisata, masyarakat keluar dari ‘zona aman’ mereka dan masuk ke lingkungan asing penuh risiko kenyamanan dan keamanan, kesehatan, sosial-budaya, ekonomi, hingga politik (Hill-James, 2006: 23).
‘Area abu-abu’ antara berita dan hiburan yang dipertentangkan banyak pihak justru dapat dipersandingkan dan pada saat yang sama dilihat sebagai ‘beauty’ dan ‘brain’ dari media (Hill-James, 2006: 3). ‘Beauty’ karena kedekatan, nilai hiburan, serta liputan kegiatan yang menyenangkan memicu khalayak untuk mengejar kebahagiaan. Namun, jurnalisme perjalanan juga membutuhkan ‘brain’ untuk menyediakan informasi dan memberikan konteks terhadap berita isu internasional, politik, dan ekonomi untuk mempersiapkan khalayak sebagai wisatawan sekaligus warga masyarakat (Hill-James, 2006: 3).
Munculnya konsep travel journalism, sebagai genre jurnalisme yang berfokus pada cerita perjalanan seseorang. Secara sederhana, "travel" berarti perjalanan, dan "journalism" berarti jurnalisme. Jadi, dapat kita tarik makna travel journalism sebagai jurnalisme yang memfokuskan pada liputan perjalanan. Perjalanan yang dimaksud disini memiliki arti yang sangat luas. Bisa jadi perjalanan wisata, berziarah, bertualang, dan sebagainya.
Tujuan dari keberadaan jurnalisme perjalanan adalah untuk merepresentasikan ‘otherness’, sesuatu atau seseorang yang lain, berbeda, di luar kebiasaan (Hanusch, 2010: 71). Hanusch (2010: 72) juga menyadari akan argumentasi bahwa seorang jurnalis perjalanan harus dapat memproduksi cerita untuk memotivasi publik melakukan perjalanan atau berwisata. Menceritakan pengalaman wisata dari sudut pandang jurnalis perjalanan sebagai sesama orang asing merupakan taktik agar publik merasa dekat.
Motivasi jurnalisme perjalanan merupakan dimensi yang penting untuk dianalisis karena dapat menjadi penghubung antara apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab dari jurnalisme dan apa yang sebenarnya diinginkan oleh khalayak (Hanusch, 2010: 76). Beberapa jurnalis perjalanan termotivasi dengan kesempatan berwisata sehingga ingin meneruskan motivasi ini kepada khalayaknya untuk juga pergi melakukan perjalaan yang sama. Jurnalis perjalanan seperti ini berfokus pada pengalaman menarik ketika berwisata. Ada pula jurnalis yang termotivasi untuk mengungkap sesuatu yang tidak kasat mata di destinasi wisata. Mereka berangkat dengan pendekatan kritis untuk menganalisis kehidupan masyarakat lokal dan industri pariwisata secara umum (Hanusch, 2010: 76).
Mengutip tulisan Satrio Arismunandar, salah satu aktivis Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, dalam tulisannya berjudul "Mengenal Jurnalisme Perjalanan (Travel Journalism) dan Program Jelajah, bahwa cikal bakal adanya genre jurnalisme perjalanan ini tidak begitu jelas. Apabila kita kaitkan dengan cerita perjalanan oleh tokoh-tokoh penjelajah seperti Marcopolo, Vasco Da Gama, ataupun Laksamana Chengho yang menuliskan perjalanan mereka mengelilingi dunia maka bisa dibilang konsep ini sebenarnya sudah cukup lama ada.
Di Indonesia, jurnalisme perjalanan selama ini memang erat kaitannya dengan sebuah perjalanan wisata. Dimulai dengan megunjungi tempat-tempat wisata, cerita perjalanan ditulis dengan tujuan sekedar membagi pengalaman hingga usaha promosi tempat wisata itu sendiri. Apabila kita mengamati beberapa surat kabar di Indonesia, kebanyakan telah menyediakan rubrik tersendiri khusus untuk mengulas tempat-tempat wisata dan cerita perjalanannya. Di program televisi apalagi, hampir setiap stasiun televisi mempunyai program wisata jalan-jalan seperti program "My Trip My Advanture" Trans TV, "100 Hari Keliling Indonesia" Kompas TV, "Jejak Petualang" Trans 7, dan program-program lainnya.
Dunia maya sebagai media baru juga menampakkan wajah dalam hal ini. Wisata seperti mempunyai tempat tersendiri di dunia maya, apalagi di era orang-orang sebagai pengguna media sosial. Kemudahan akses informasi telah mengubah paradigma wisata masyarakat yang dulunya lebih mengandalkan media cetak atau televisi untuk mencari tahu tentang suatu tempat tujuan wisata, kini semua itu begitu mudah diakses melalui internet. Blog-blog tentang wisata Indonesia begitu berkembang, hampir semua portal berita online kini mempunyai kanal khusus untuk informasi traveling. Belum lagi jika kita melihat tren media sosial yang membuat orang-orang kini suka bepergian dan mendokumentasikan perjalanan mereka dalam tulisan dan foto walaupun sebatas informasi singkat.
Dari hal tersebut, travel journalism menduduki kursi penting dalam perkembangan pariwisata Indonesia, khususnya destinasi wisata lokal, baik itu tulisan, visual, suara, atau bahkan gabungan ketiganya. Pertama, jurnalisme perjalanan mampu menciptakan destinasi wisata baru. Ya, tidak dapat dipungkiri bahwa keinginan untuk pergi menjelajahi tempat-tempat baru atau biasa disebut “ngebolang” memang sedang menjadi tren di Indonesia. Oleh karena itu, tidak sedikit tempat-tempat yang dulunya bukan tempat tujuan wisata menjadi tempat wisata baru yang banyak dikunjungi oleh wisatawan. Seperti destinasi wisata Tebing Keraton di Bandung, Waduk Semo dan Kalibiru di Jogja, pantai cantik di balik bukit daerah Gunung Kidul, hingga Bukit Gajah Bobok di Sumatera Utara, yang dulu tidak begitu dikenal oleh masyarakatnya. Namun sejak dipublikasikan di internet, kini tempat-tempat tersebut ramai dikunjungi wisatawan.
Kedua, jurnalisme pariwisata dapat menjadi wisata yang sudah ada menjadi populer kembali. Promosi pariwisata yang tidak maksimal seringkali menjadi hambatan bagi kebanyakan daerah di Indonesia. Banyak wisata yang sebenarnya telah dikelola oleh pemerintah sebagai operator pariwisata, namun sepi wisatawan. Maka di sinilah kita dapat melihat bagaimana jurnalisme perjalanan dapat menjadi solusi bagi permasalahan promosi yang kurang maksimal. Disadari atau tidak, para jurnalis perjalanan, dalam hal ini para wisatawan adalah para duta-duta wisata bagi tempat yang ia kunjungi. Melalui cerita perjalanan yang ia tulis, akan semakin banyak orang tahu tentang suatu tempat wisata. Apalagi kalau kita melihat bahwa ada kecenderungan orang-orang akan lebih tertarik dengan testimoni temannya daripada mengetahui informasi tersebut dari iklan.
Ketiga, jurnalisme perjalanan menjadi solusi yang menyelamatkan khususnya dalam hal perkembangan ekonomi dari segi pariwisata. Pada awalnya para wisatawan mendapatkan informasi-informasi wisata yang ia butuhkan. Kemudian karena tertarik dengan tempatnya, mereka memutuskan untuk mengunjungi tempat wisata tersebut. Untuk melakukan perjalanan wisata tentu tidak mungkin tanpa mengeluarkan biaya selama perjalanan, seperti uang tiket, uang makan, sampai uang untuk membeli oleh-oleh. Mau tidak mau wisatawan harus mengeluarkan biaya untuk hal itu. Peredaran uang pun berputar, semakin banyak dan sering uang berputar maka tingkat perekonomian masyarakat akan semakin baik.
Menurut Undang-Undang tentang Pers No. 40/ 1999, disebutkan fungsi pers adalah media informasi, komunikasi, edukasi, hiburan dan kontrol sosial serta lembaga ekonomi Pers juga melaksanakan peranannya berupa: memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak azasi manusia serta menghormati kebhinekaan, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Pers turut berperan memajukan industri pariwisata. Penyebaran informasi pariwisata dapat dimuat melalui media cetak, seperti surat kabar maupun media elektronik seperti televisi, radio dan internet dari suatu daerah atau kepada negara lain. Sebagai media informasi, pers yang menggunakan media elektronik telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Contohnya dengan internet, promosi pariwisata daerah atau negara dilakukan dengan membuat website atau situs-situs objek wisata, sehingga setiap orang di belahan bumi ini dapat mengakses informasi tersebut. Arus informasi membuat dunia terasa semakin sempit.
Namun bicara soal peran jurnalisme perjalanan yang berdampak positif bagi perkembangan pariwisata khususnya destinasi lokal, pun berimbas kepada elektabilitas penyebaran berita yang dilakukan oleh para jurnalis perjalanan. Jurnalisme perjalanan mendapatkan banyak kritik dari dalam dunia jurnalisme sendiri karena dinilai memiliki standar penulisan yang lebih rendah dibandingkan dengan produk literatur perjalanan lainnya serta para jurnalis dinilai tidak bisa terbebas dari pengaruh komersial industri pariwisata dan periklanan (Hill-James, 2006: 94-95).
Sebagian besar artikel perjalanan kekurangan aspek masyarakat dan dialog, bahkan untuk artikel mengenai kota padat penduduk (Hill-James, 2006: 99). Perbedaan bahasa dan keterbatasan menjadi alasan sebagian besar interaksi jurnalis perjalanan dilakukan dengan pemandu wisata sehingga masyarakat lokal hanya dijadikan bagian dari pemandangan alih- alih sebagai sebuah kehidupan di destinasi wisata tersebut (Hill-James 2006: 100).
Hill-James (2006: 28) menambahkan bahwa ancaman etis tidak hanya datang dari perusahaan atau pengiklan yang mengirim para jurnalis untuk meliput di destinasi wisata tertentu, tetapi jurnalis perjalanan juga tidak bisa lepas dari pemerintah daerah tujuan. Pemerintah menyediakan visa, akses, serta informasi politik dan keamanan untuk para jurnalis perjalanan dengan pertimbangan menjadikan media perjalanan cara untuk meningkatkan turisme daerah.
Di sisi lain, jurnalisme perjalanan dapat menjadi bisnis yang menjanjikan karena sangat berpotensi untuk menarik perhatian pengiklan (Hill-James, 2006: 107). Para jurnalis perjalanan terjebak dilema etis karena masuknya pengaruh komersial, tapi pada saat yang sama liputan perjalanan membutuhkan modal finansial yang umumnya tidak mampu disediakan oleh media di mana mereka bekerja (Hill-James, 2006: 110). Usaha yang dilakukan beberapa media dengan mengungkapkan secara terbuka mengenai penanggung biaya liputan perjalanan dapat menimbulkan dua interpretasi yang berbeda, yaitu bersikap etis karena terbuka terhadap publik atau justru dipandang sebagai cara untuk mempublikasikan kesempatan mensponsori liputan perjalanan (Hill-James, 2006: 163). Problematika ini dapat mencoreng kredibilitas jurnalisme sehingga jurnalisme kehilangan otoritas kulturalnya (cultural authority) untuk menentukan apa yang penting bagi publik (Hill-James, 2006: 113).
Cara terbaik bagi jurnalis perjalanan untuk mengatasi tekanan marketing ini adalah dengan mengubah reputasi mereka dari menitik beratkan liputan pada sisi ‘harmless private fun’ ke ‘pleasurable but serious public issue’ (Hill-James, 2006: 110). Wisata dan jurnalisme perjalanan umumnya dianggap hanya berhubungan dengan ruang dan aktivitas privat sehingga kurang relevan bagi publik dan kehilangan makna sosial dan politiknya (Fürsich dan Kavoori, 2001: 152).
Perlu disadari bahwa turis sebagai bagian dari warga masyarakat memiliki kekuasaan (power) dalam bertindak. Turis melalui aktivitas konsumsi nya saat berwisata dapat mempengaruhi pasar dan jasa pariwisata serta dapat melakukan aksi bersama untuk menjamin kepuasaan berwisata (travel satisfaction) sebagai bagian dari hak demokratis (Hill-James, 2006: 139). Jurnalis perjalanan haruslah menyadari hal ini sehingga melalui produk jurnalismenya dapat menyadarkan turis akan perannya yang lebih besar, sebagai warga masyarakat yang bersama masyarakat lain berbagi ruang dan kepentingan publik.
Selain itu, jurnalisme perjalanan baiknya menyediakan informasi yang membentuk opini publik dan membangun komunitas.
“If travel journalists could produce journalism that tourists considered important destination information and have travel recognised as a public activity, the influence of advertising pressure upon them may also be scrutinised and remedied.”
Di dunia jurnalistik, jurnalisme perjalanan masih kurang dikaji jika dibandingkan dengan jurnalisme lainnya. Padahal perkembangan pariwisata di berbagai belahan dunia relatif terus melaju berdampak pada berkembangya produk-produk jurnalisme perjalanan dalam berbagai medium. Hakikat jurnalisme perjalanan pun lebih dari sekadar menyampaikan informasi mengenai sebuah destinasi wisata dan memberikan rekomendasi kegiatan yang menyenangkan untuk berwisata.
***
[Tulisan di atas diikutsertakan dalam lomba Call for Paper : The 15th Journalist Days di Universitas Indonesia. Alhamdulillah, tim dari Universitas Sumatera Utara lolos menjadi 5 besar terbaik tingkat nasional. Semoga tetap semangat berkarya]
0 komentar