Almarhum Bapak : Tak Perlu Mengusik - Jadilah Pemimpin Cerdas dari Diri Sendiri

Oktober 29, 2017

Bapak saya, Agusman R. Sitanggang (kanan)

“Bapak, kenapa Bapak selalu berprinsip untuk jadi orang sederhana?,” tanya saya pada Bapak lepas Isya di lantai teras rumah.
“Karena bagi Bapak sederhana itu tidak pernah menyulitkan. Alhamdulillah pilihan Bapak masuk Islam pun sederhana, Dek. Karena Bapak yakin janji Allah itu tidak pernah ingkar. Bahkan sebelum Bapak kenal Mamak pun, keinginan untuk mendalami Islam sudah ada,” jawab Bapak.

[Mengenang Bapak]
Sudah lima tahun Bapak kembali ke Sang Khalik, selama itu juga saya tidak pernah tidak merindukan Bapak. Hari-hari ingat Bapak, saya seringkali jadi anak ‘cengeng’ hehe. Saya tidak cukup berani untuk menampilkan hal-hal yang tak mesti orang lain tahu. Kendatipun orang lain tahu, pun tak ada yang benar-benar paham bagaimana saya begitu mencintai Bapak. Bapak, saya rindu. Rindu sekali.

Hari ini saya kembali menulis tentang Bapak. Tidak ada hari yang begitu baik selain hari-hari saya diantar dan dijemput sekolah sama Bapak, tertawa di atas motor sederhana Bapak, sholat Maghrib berjamaah bareng Bapak dan Mamak, ditemani belajar sampai Bapak tertidur sendiri di samping meja belajar saya karena tugas saya tidak kelar-kelar sampai tengah malam hahaha. Ketika Bapak diam-diam masuk ke kamar saya hanya untuk mengecek saya tidurnya nyaman atau tidak dan kemudian Bapak cium kening saya. Sebenarnya saya tahu dan sadar setiap kali Bapak masuk ke kamar saya, tapi saya tidak mau merubah suasana. Saya ingin Bapak melakukan itu setiap hari bahkan sampai saya besar dan ketika anak-anak seusia saya mulai malu kalau Bapaknya memperlakukan anak perempuannya semanja itu di depan teman-teman atau bahkan calon pendamping hidup si anak. Hahaha momen yang selalu saya bayangkan begitu lucu dan unik, sekaligus absurd.

Bapak, saya begitu mengagumimu. Kan sudah saya bilang, bahkan kagum saja pun tidak cukup. Sejak dulu, sudah saya pastikan bahwa saya tidak akan pernah malu kalau Bapak peluk-peluk saya di depan teman-teman saya. Bapak itu kebanggaan saya. Tapi dulu saya masih malu bilang itu semua dan hanya berani mendaratkan kata-kata ejekan ke Bapak.

“Bapak jelek! Bapak gendut! Bapak hitam!,” ledek saya setiap kali Bapak memeragakan gaya sok tampan di depan saya.
“Ih Bapak ganteng gini dibilang jelek, gendut, hitam. Bapak paling gantenglah, Dek. Buktinya Mamak sampai cinta mati sama Bapak hahaha,” tawa Bapak sambil memainkan mata ke arahku dan Mamak.

***
[Malam itu, Bapak saya roboh. Malam itu, terakhir kali kami makan malam bersama]
Saya masih ingat di malam terakhir kita bertiga makan malam selepas Maghrib. Menu makanannya pecel lele, kesukaan saya dan Bapak. Waktu itu Bapak makan lahap sekali sampai tidak ingat kalau Bapak baru-baru saja sembuh dari sakit. Kata Bapak, pecel lele itu nikmat sekali. Enggak seperti biasa-biasanya sampai Bapak harus mengambil nasi tambah ke piring makannya. Lalu saking terburu dan semangatnya mencocol kuah pecel lele ke piring nasi, kuahnya malah menciprat mengenai mata Bapak.

“Aduh, kuahnya ciprat! Perih!,” rintih Bapak saat itu.
“Alah, Pak. Makannya pelan-pelan ajalah. Masih banyaknya lagi pecel lelenya, Bapak habiskan semua nanti ya,” kata Mamak menyahuti.

Bapak ‘ngucek-ngucek’ mata dan karena tidak ada hasilnya, Bapak pun melangkah ke kamar mandi. Selang beberapa menit Bapak ke kamar mandi (sedangkan saya dan Mamak masih lanjut menghabiskan makanan di piring kami), terdengar jeritan Bapak dari belakang.

“IKA!!! MAMAK!! Perih kali mata Bapak!!,” teriaknya tak karuan. Tidak seperti biasanya.

Saya dan Mamak langsung bergegas menuju kamar mandi. Kami lihat posisi Bapak sudah terjongkok di dapur. Melihat kondisi itu, Mamak langsung mendekat dan saya terdiam. Kalau boleh jujur, waktu itu saya cuma bisa merasakan kalau Bapak memang tidak seperti biasanya. Perasaan saya tidak enak.

Tak lama Mamak mendekati Bapak, langsung tubuh Bapak roboh dan Bapak terkulai. Mamak yang posisi tubuhnya dekat dengan punggung Bapak, seketika rubuh karena tertimpa badan Bapak yang memang paling besar di rumah. Selang badan Bapak roboh, Bapak langsung ‘mengorok’. Seperti ada yang menyangkut di tenggorokan Bapak dan saat itu juga Bapak benar-benar tidak sadarkan diri.

“Ika panggilkan tetangga! Sekarang! Cepat!,” pinta Mamak saat itu juga dengan mata yang terlihat mulai tergenang air mata dan tak bisa dibohongi kalau wajah Mamak pucat pasi. Mamak panik dan tidak pernah sepanik itu.

Saya bergegas membuka pintu dan berlari ke pintu tetangga.
“Ibuu.. Om... Assalamualaikuuum Bu.. Om....,” teriak saya menggedor pintu dan tidak lagi berpikir apakah tetangga saya itu terganggu atau tidak.
Tanpa menunggu lama, pintu terbuka. “Ya Ika? Ada apa?,” tanya tetangga saya.
“Bapak, Om. Bapak jatuh! Tolong Om!,” teriak saya yang saat itu tidak bisa membendung tangis saya lagi.

Seberes kemudian, rumah saya sudah ramai dengan orang-orang termasuk didalamnya ada Nenek saya yang dihubungi Mamak. Kebetulan rumah Nenek tidak begitu jauh dari rumah kami, sekitar 10 menitan. Kondisi Bapak masih mengorok dan tidak sadarkan diri. Bapak sudah digotong oleh para tetangga ke ruang tamu kami.

“Iya Gus, iyaaa.. kujaga anakmu. Kujaga anakmu,” kata Nenek yang mengucapkan kata-kata itu seolah Bapak bisa mendengar. Entah apa maksud Nenek bilang begitu sambil terisak.

Saat itu, saya hanya termangu melihat kondisi Bapak sedangkan yang lain terus membaca ayat-ayat Qur’an untuk menenangkan suasana. Ibu saya tidak berhenti menangis sambil ikut membacakan ayat-ayat berharap kemudian kepada siapapun yang sekiranya bisa membangunkan dan memulihkan kondisi suami tercintanya.

Pikiran saya kosong. Belum bisa mengerti kenapa bisa tiba-tiba seperti itu. Saya terduduk dan termangu dengan bolak-balik memerhatikan Bapak dan orang-orang yang ramai sekali di rumah waktu itu. Saya bingung dan satu hal pertama yang saya sadari malam itu adalah dari ujung mata Bapak saya temui bulir air keluar dan mengalir mengenai kerah bajunya. Bapak menangis tapi Bapak masih tetap mengorok dan tidak mengatakan apapun. Kulihat juga lidah Bapak sudah menggulung ke dalam. Saat itu, saya ingat kata guru agama waktu SD. Katanya, itu termasuk tanda-tanda seseorang hendak dijemput oleh-Nya.

Tak berapa lama dari kondisi kebingungan itu, seorang tetangga yang kami mintai tolong untuk dipinjam mobilnya, langsung memecahkan hiruk pikuk.
“Cepat bawa Bapak Ika ke rumah sakit sekarang. Naik mobil saya. Ayo Ika, kita bawa Bapak ke rumah sakit ya, Nak,” kata tetangga itu yang biasa kupanggil ‘Wak’.

Semua tetangga mengangkat tubuh Bapak. Kulihat Mamak tidak lepas dari samping Bapak. Mamak memangku tubuh Bapak di urutan kedua bangku mobil. Sedangkan saya duduk di samping Wak. Sebelum mobil menderu maju, saya memalingkan tubuh melihat Mamak yang kini matanya sudah banjir air mata dan kali ini jauh lebih terisak dari sebelumnya. Bapak saya masih mengorok, tidak tahu kapan berhenti dan kemudian membuka matanya seperti biasa. Tangan kanannya terkulai dan saya meraih tangan itu. Saya genggam tangan beliau, begitu kuat. Dan detik itu juga saya rasakan kalau Bapak merespon dengan mengeratkan genggaman saya. Eh? Bapak masih sadar, detak saya dalam hati.

“Bapak, saya genggam tangannya ya. Kita sekarang ke rumah sakit. Disana ada dokter yang bakal nangani dan Bapak pasti sembuh. Sabar ya, Pak,” gumam saya dalam hati, berusaha menyampaikan itu ke Bapak yang saya tahu tidaklah bisa mendengar apa yang saya katakan.

Mobil menderu dengan cepat menuju rumah sakit. Klakson mobil berulang kali dibunyikan menandakan bahwa kami butuh jalan selebar mungkin dan tidak ingin terhalang oleh apapun. Kami harus segera sampai di rumah sakit. Minggir!!, begitu kira-kira maksud mobil.

***
[Saya pegang baju Bapak yang dikoyak dokter]
Mobil langsung berhenti di depan pintu IGD RS. Sembiring Deli Tua. Dekat dari rumah kami, sekitar 10 menitan. Tanpa pikir panjang, Bapak pun langsung dinaikkan ke tanduh dorong rumah sakit dan masuk ke dalam ruangan IGD. Mamak berjalan di depan. Saya ikut dari belakang setelah mengucapkan terima kasih kepada Wak yang sudah berbaik hati tidak dibayar untuk menolong Bapak saya. Oh tidak, menolong saya dan Mamak juga. Menolong banyak orang malam itu.

Kulihat Mamak hendak keluar dari ruangan IGD.
“Ika lihat Bapak. Mamak bentar ngurus administrasi rumah sakit,” kata Mamak yang tanpa saya tanya langsung mengerti pertanyaan dari mata saya. Saya cuma mengangguk dan menuju tirai dimana Bapak saya dikoyak bajunya oleh dokter.

Saya tak mungkin marah melihat baju Bapak dikoyak karena memang hanya itu satu-satunya cara. Sedangkan Bapak tidak sadarkan diri dan masih terus mengorok. Tak berselang lama, sebuah alat lebih tepatnya mirip ‘gosokan baju’ mendarat ke bagian dada Bapak. Tubuh Bapak tergoncang-goncang naik turun. Serasa ada magnet di bagian bawah alat itu yang membuat tubuh Bapak seperti disetrum, naik-turun. Saya berusaha tidak menangis melihat kondisi Bapak saya seperti itu. Yang saya harapkan adalah Bapak bisa sadar kembali, apapun caranya.

Menunggu Mamak kembali dari ruangan administrasi, saya memutuskan duduk di bangku sambil memegangi baju Bapak yang dikoyak dokter. Bajunya basah karena keringat Bapak dan saya masih bisa mencium aroma parfum Bapak. Kenso Daun, itu nama wangi parfum Bapak. Itu kongsian dengan saya karena kami selalu punya rasa, warna, dan hal-hal lainnya yang sama. Jadi beli satu bisa kongsi berdua.

***
[Pembuluh darah otak besar Bapak pecah]
Sekembalinya Mamak ke ruang IGD, membuat hati saya makin debar karena disitu juga kami langsung dihadapkan dengan hasil ronsen bagian kepala Bapak. Tepatnya, dihadapkan pada satu kenyataan bahwa ada pendarahan di bagian dalam otak Bapak. Ya, pembuluh darah otak besarnya telah mengalami pendarahan. Itu sebabnya Bapak mengorok dan tidak sadarkan diri. Tensinya mencapai 270 per 140. Tinggi sekali. Memang, Bapak sejak dulu punya riwayat hipertensi (tensi tinggi) turunan.

Melihat keadaan Bapak itu, dokter langsung menyarankan untuk dilakukan scanning lanjutan. Saya lupa nama jenis scanning itu apa karena namanya benar-benar biologis sekali. Langsung Mamak mengiyakan itu tanpa memikirkan biaya yang harus kami bayar untuk memproses itu.

“Upayakan yang terbaik untuk suami saya, Dok. Berapapun akan saya bayar,” kata Mamak.

Ternyata, Allah punya rencana lain malam itu. Seorang sahabat lama Bapak yang mengetahui kejadian itu dari telepon Mamak saat mengurus administrasi tadi, langsung menyambangi rumah sakit. Namanya Azwar Rismawardi, biasanya saya panggil ‘Om Azwar’. Sejak saya kecil pun, Om itu selalu jadi sahabat setia Bapak. Bahkan di tengah-tengah kondisi Bapak pernah diberikan ujian berat sama Allah, Om Azwar-lah yang menjadi orang pertama mengunjungi Bapak. Masya Allah.

“Lakukan upaya yang terbaik. Soal biaya, biar saya yang urus. Yang penting si Agus (nama Bapak saya) bisa sembuh. Berapapun akan dibayar,” kata Om Azwar malam itu. Saya akan selalu ingat itu dan suatu saat Insya Allah akan saya balas dengan kabar-kabar baik dari saya dan Mamak. Amin ya Allahu Yusahhil.

Hampir dua jam lebih kami semua menunggu di luar ruangan scanning. Mamak masih terlihat belum bisa tenang sebelum kabar baik diterima dari dalam ruangan dimana suaminya sedang diselamatkan nyawanya. Melihat jam sudah masuk pukul 10 malam, Mamak langsung mendekati saya.

“Nak, pulang sama Nenek ya. Ini kunci rumah, pulang ke rumah dan ambil pakaian seperlunya untuk sekolah dan ganti baju besok. Tidur di rumah Nenek ya. Besok sekolahnya diantar sama Om Anto. Mamak biar jaga disini sampai kondisi Bapak aman. Tetap sekolah ya, Nak,” kata Mamak sambil memberikan kunci rumah kepada saya.

Saya tak banyak bicara dan hanya bisa mengangguk. Kemudian saya berpamitan pada Mak, pada Om Azwar, dan semua orang yang menunggu hasil scanning Bapak.

Malam itu, saya tidur di rumah Nenek. Malam itu, tugas sekolah saya belum kelar dan saya tidak ingin melanjutkannya. Malam itu, saya memutuskan untuk langsung tidur sesampai di rumah Nenek. Malam itu, saya terakhir tahu kalau Bapak masih belum sadarkan diri. Malam itu, saya terlalu banyak diam.
Bapak koma.

***
[Bukan jemputan sekolah seperti biasa]
Pagi itu saya tidak begitu semangat. Mungkin efek tadi malam. Tapi saya tetap berusaha tidak menunjukkan apa yang tak mesti orang lain tahu. Bapak saya cuma sakit, pasti sembuh dan segera sadarkan diri, gumam saya dalam hati saat masuk ke dalam kelas.

Teman-teman saya sibuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) yang seharusnya dikerjakan malam sebelumnya. Memang kebiasaan. Meski saya juga belum menyelesaikan PR, tapi saya tak hiraukan itu. Biar saja kali ini dihukum guru, pasrah saya.

Kegiatan belajar mengajar berjalan seperti biasa. Namun, entah nasib baik atau bukan, hari itu dimana saya belum selesaikan tugas sekolah, justru sekolah dikabarkan untuk segera membawa para siswa menuju Lapangan Lanud Soewondo untuk menyaksikan sejumlah acara berhubungan dengan Angkatan Udara. Kebetulan memang sekolah saya ini milik Angkatan Udara tapi bukan juga sekolah berbasis angkatan.

Maka, kami pun dibariskan di lapangan sekolah dan menunggu giliran bus angkatan untuk menjemput kami. Saya dapat giliran di bus ketiga dan jujur saja saya tidak sesemangat teman-teman lainnya yang gembira karena ditiadakannya kegiatan belajar mengajar. Saya merasa biasa saja.

Setelah menyaksikan beberapa kegiatan di lapangan tempur angkatan udara itu, kami pun diantarkan kembali menuju sekolah dengan bus yang sama. Ada yang tidak enak di hati saya. Menjanggal tapi berusaha saya kaburkan.

Tiba di sekolah dan dari balik kaca jendela bus, saya langsung melihat wajah Om Anto (adik laki-laki dari Mamak) sudah duduk di kantin sekolah. Ada apa Om Anto datang ke sekolah, tanya saya dalam hati. Saya cepat-cepat turun dari bus dan menemui Om Anto. Saya bisa lihat mata Om Anto sembab dan merah seperti habis menangis. Tidak biasanya dia pakai peci hitam dan baju koko. Oh mungkin habis dari kantornya ada kegiatan kali, pekik saya lagi.

“Ika, kita pulang sekarang ya. Lihat Bapak di rumah sakit. Om uda permisikan Ika sama guru piket,” kata Om pada saya.
Mendengar kata ‘Bapak’, saya langsung semangat karena bisa jadi saya dijemput cepat karena Bapak saya sudah sadarkan diri dan pengen ketemu saya. Giranglah saya saat itu, “Ohiya Om, bentar ya bentar Ika ambil tas di kelas dulu,” kata saya kemudian.

Sebelum pulang, saya pamit dengan guru piket dan saya ingat waktu itu seorang guru bernama Pak Irwan yang memang dekat dengan saya, tiba-tiba mendatangi saya.
“Yang sabar ya, Nak. Yang kuat ya,” kata Pak Irwan sambil tersenyum dan menepuk pundak saya.
“Terima kasih, Pak. Saya pamit pulang duluan ya, Pak. Assalamualaikum,” jawab saya.
“Wa’alaikumsalam,” balas beliau.

***
[Yang meninggal itu adalah Bapak saya]
Sepanjang perjalanan dari sekolah menuju rumah, Om Anto berlaku tidak seperti biasanya. Ia menanyakan seputar bagaimana sekolah saya, aman atau tidak, seru atau tidak, nilainya bagus atau tidak. Biasanya, Om Anto orang yang hanya mau bertanya hal demikian pada Mamak saja. Meski sejak saya kecil, Om Anto sudah seperti Bapak kedua saya, tapi tetap saja hari itu tidak seperti biasanya. Dari balik punggung Om di atas motor, sesekali saya bisa lihat Om Anto menyingkapkan lengan baju kokonya ke sudut matanya. Kupikir juga ada debu karena memang tidak terlihat dari balik kaca spion. Alias kaca spionnya entah kenapa sengaja dibalikkan Om. Tapi saya tak mau terlalu banyak bertanya. Yang ada di benak saya sekarang adalah saya hanya ingin lihat Bapak.

Mendekati arah menuju rumah, saya mulai melihat ada bendera merah tergantung di pinggir gang samping rumah Nenek. Loh kok ke rumah Nenek sih, tanya saya dalam hati. Lalu, saya menyimpulkan cepat bahwa mungkin saya harus ganti baju dulu. Iya juga sih, masa mau ke rumah sakit jenguk Bapak harus pakai seragam sekolah.

Namun semakin mendekati rumah, saya mulai tak yakin dengan kemungkinan itu semua. Pikiran saya mulai ngawur.
“Siapa yang meninggal Om ?,” tanya saya spontan pada Om.
“Om siapa yang meninggal ?,” tanya saya kedua kalinya.

Om Anto tidak menjawab, malah langsung minggir dan meminta saya segera turun.
“Udah Ika turun aja sekarang. Jalan dari sini,” katanya dengan suara bergetar seperti berusaha menahan tangis.

Tidak melihat wajah Om lagi, saya langsung lari menuju rumah Nenek. Kursi-kursi plastik tengah disusun oleh beberapa warga dan saya lihat teman-teman Bapak duduk di antara kursi-kursi itu. Mata saya langsung mengarah ke pintu rumah. Disana, Mamak dengan kerudung hitam menutupi kepala, tengah tenggelam dalam tangisan sambil memeluk seorang sahabat lamanya yang juga saya kenal.

Tak jauh dari tempat Mamak menangis, mata saya harus benar-benar kuat melihat apa yang saya lihat di sejurusan tempat saya berdiri. Dari depan pintu rumah, ada kain putih terbujur kaku diletakkan di atas matras berbalut kain panjang bermotif batik Jawa.

Bapak. Itu Bapak saya.
Saya cuma bisa ucapkan dua kalimat itu dan segera mencampakkan sepatu sekolah saya. Tanpa memikirkan siapa yang berjaga di dekat pintu, saya langsung berhambur mendekati kain putih itu. Ada yang harus saya temui disana. Saya jerit kuat sekali sampai mungkin kalau bisa mencapai bagian suara terakhir, pun akan saya kandaskan habis. Rasanya pecah. Tidak tahu saya harus bilang apa. Semua kemungkinan yang saya pertanyakan di sekolah dengan Pak Irwan, di bus angkatan udara yang saya naiki, di lapangan tempur, di atas sepeda motor Om Anto, di jalan dan semua terjawab di rumah.

Kalau harus menyumpah serapah apa yang ada di otak saya atas kemungkinan itu, saya mau melakukannya. Sayangnya saya tidak cukup kuat untuk memarahi diri sendiri. Bukan salah siapa-siapa, bukan salah Mak, bukan salah saya, dan bukan salah Om Anto yang tidak beritahu sejak awal jemputan yang tidak biasa itu. Ini cuma saya yang belum bisa menerima kalau benar besok-besok saya tidak akan punya teman curhat terbaik lagi. Kalau besok-besok saya tidak akan tahu lagi bagaimana caranya tertawa dari hasil mengejeki orang-orang di jalanan. Dan besok-besok saya akan belajar sendirian bahkan tidur pulas sampai pagi tanpa harus pura-pura tidur menunggu siapa yang akan membukakan pintu kamar saya dan mencium kening saya. Saya akan berbagi kisah pada diri sendiri atau jika memungkinkan bertanya pendapat pada Mak.

Mak, akan menjadi sangat sepi hatinya. Maka saya tidak akan pernah memperbolehkan hati saya sepi karena saya harus meramaikan hati Mak kapanpun selama itu mungkin. Saya dan Mak akan bergandengan berdua, saya genggam tangan Mak kemana ia ingin dan Mak akan jadi satu-satunya perwakilan diri saya untuk naik ke atas podium kalau suatu ketika kenakalan saya berubah menjadi wujud karya yang diapresiasi.

***
[Saya janji tidak nangis sembarangan]
Sejak itu, saya berjanji pada diri bahwa tidak akan menangis untuk hal-hal biasa kecuali berkaitan dengan Mak, saya, dan keluarga. Saya tidak akan lupa mengapresiasi apapun dan siapapun di sekeliling saya. Sederhana akan jadi prinsip hidup saya dan berbagi seperti Bapak dulu akan terus saya ikat. Mak dan saya akan jadi dua perempuan yang saling menguatkan. Yang terakhir, Bapak pun sudah tahu kalau kepergiannya tidak menyulitkan siapa-siapa dan kehilangan sosok Bapak akan terus dikenang baik oleh semua orang. Terbukti, hingga detik saya menuliskan tulisan ini, Allah selalu menghadirkan kenyataan bahwa setiap orang yang saya temui sepanjang kaki ini melangkah, mereka tidak kabur mengingat tentang Bapak. Meski sampai saat ini pun saya tidak pernah benar-benar tahu bagaimana Bapak mengabdikan dirinya kepada orang-orang sampai mereka selalu terisak ketika mendengar berita duka itu.

“Pak Agus benaran sudah meninggal ? Masya Allah, dia pernah bantu saya”.
“Ah seriuslah, Dek. Bang Agus meninggal kapan ?”.
“Innalillahi.. Bapakmu meninggal muda. Bapakmu itu orang baik. Kalau bukan karena beliau, saya ini entah gimana, Dek”

Atau bahkan ada orang yang menyangkal fakta itu dengan penyesalan karena terlambat mengetahui kabar itu. Tapi tak apa, karena di hidup saya Bapak memanglah orang baik. Bapak tetap jadi kebanggaan saya dan nasihat-nasihat Bapak terus saya tularkan kepada orang-orang jika suatu hari ada yang menanyakan mengapa saya menaruh kecintaan pada ilmu pengetahuan dan agama. Semoga apa-apa yang Bapak tuai selalu menjadi tabungan kebaikan untuk saya, Mak, dan Bapak sendiri di surga Allah. Doakan saya menjadi anak sholeha dan bermanfaat, Pak. Jangan biarkan saya tenggelam dari kesedihan duniawi karena pun di hari yang tepat, Bapak-Saya-Mak akan berkumpul bersama lagi.

Seperti judul di tulisan ini, sedari dulu Bapak bukan tipe orang yang mengusik kehidupan orang lain. Baginya, masih ada begitu banyak PR bagi setiap insan untuk memahami diri sendiri ketimbang mengurusi orang lain. Bukan, bukan Bapak namanya kalau ia bertalang hidup pada hal-hal yang bukan bagian dari dirinya dan pada kata-kata ‘kasihan’ dari orang lain. Kerjakan apa yang jadi tanggung jawab, kerjakan apa yang bisa jadi manfaat, kerjakan apa yang memang baik.

“Hidup sederhana terkadang perih dan menjadikan kita berbeda. Tapi Allah tidak berhenti pada orang-orang sederhana dan tidak menyia-nyiakan mereka. Maka, Nak.. jadilah sederhana dan pemimpin yang cerdas dimulai dari diri sendiri. Niscaya itu akan tarik-menarik pada kebermanfaatan dan kebaikan yang lainnya,” nasihat Bapak.

***

[Tulisan ini saya dedikasikan untuk Mak dan Almarhum Bapak saya. Berkat beliau berdua, saya terus semangat bersekolah hingga hari ini. Dalam rangka Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2017, semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi dan semangat bagi para pemuda yang kelak akan menjadi pemimpin amanah di negeri ini]

Mak dan Almarhum Bapak saya.

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar