Jeda : Berhenti Bukan Untuk Pergi
September 03, 2017
“Jeda
bukan berarti tidak ada kata yang terucap,
tapi
ia adalah kesenyapan yang punya arti bagi kata berikutnya”
(Gilang
Pambudhi)
Semester 5 bisa dibilang adalah masa dimana saya membenarkan apa yang selama ini sering saya elakkan dari
kata-kata senior di kampus.
“Entar bakal ada masa kamu jenuh dan
ingin keluar dari semua rutinitas selama ini,” begitu ucap salah seorang senior.
Masa itu saya namai dengan titik jenuh.
Saya enggak semangat untuk ngapa-ngapain, termasuk kuliah. Coba bayangin,
seorang mahasiswa yang memang tugas utamanya adalah kuliah, tapi ini malah males
banget dateng ke kampus. Bukan cuma males kuliah, tapi males juga untuk ketemu
sama teman-teman kampus dan organisasi. Bahkan saya muak dengan semua obrolan
di platform media sosial sampai saya mematikan notifikasi chat. Enggak mau buka
chat Line yang dominasi banyak sekali grup sampai 30 (gak tau ini grup apaan aja). Nolak untuk upload apapun di
Instagram (sekalipun buka Instagram, saya
cuma baca-baca dan untuk sekadar tahu gimana keadaan teman-teman saya).
Hingga saya menyadari bahwa feed
Instagram saya harus benar-benar diberesin, seperti caption yang menurut saya
enggak penting untuk dibaca orang atau foto-foto kegiatan sosial yang
jatuh-jatuhnya kayak pamer kalau pengen nunjukkin diri saya ini sociable banget padahal niat hati enggak
seperti itu (wih sumpah ini useless time).
Titik jenuh membuat saya ingin sendiri,
ingin berhenti sejenak, ingin istirahat, ingin menghabiskan waktu dengan
hal-hal yang menurut saya enggak itu-itu saja. Padahal boleh dibilang, saya
juga bukan mahasiswa yang menuntut diri hanya sekadar kuliah, duduk, pulang. Di
setiap waktu kosong dan akhir pekan, saya sering melakukan kunjungan untuk
melihat perkembangan desa binaan dan main-main ke alam. Di beberapa organisasi
yang ikut didalamnya, saya juga enggak pernah absen untuk andil dalam kepanitiaan.
Lalu, kenapa saya bisa bosan ? Bosan sampai akhirnya membawa saya memilih untuk
benar-benar istirahat dari hiruk pikuk ?
Sebenarnya, awal mula saya memutuskan
untuk rehat adalah dimulai dari keterasingan saya dari teman-teman yang menurut pengakuan mereka sampai untuk menegur saya saja seperti mencuri waktu saya berkilo-kilo.
Bukan cuma itu, ketidaknyamanan Ibu saya dengan kegiatan saya yang super-duper
padat, sampai-sampai hari Minggu pun enggak ada waktu buat sekadar duduk cerita
sama Ibu. Lebih pahitnya lagi, ketika Paman saya ngomong sama Ibu saya begini, “Kakak
punya anak perempuan tapi kayak enggak punya anak perempuan ya. Apa-apa kakak
kerjakan sendiri, dia sibuk sama dunianya sendiri. Emang apa yang mau dicari
dia di dunia ini ? Apa dia gak cukup pintar untuk bantu kakak di rumah ?”.
Malam harinya pas saya lagi
mengerjakan tugas makalah kampus, Ibu saya masuk ke kamar dan menyampaikan
semua perkataan Paman itu ke saya. Asli, perih sekali dengarnya. Coba deh
bayangin, betapa merasa enggak berharganya dirimu ketika di luaran sana kamu
disanjung-sanjung sama orang karena kebaikanmu, tapi nyatanya di lingkungan
terdekatmu (ya, keluarga) bahkan nilai
sepersen pun kamu enggak pernah buat apa-apa padahal kamu sangat dibutuhkan. Enggak
sadar atau enggak mau sadar ? Enggak tahu atau enggak mau tahu ? Enggak peka
atau enggak punya hati ? Saya mengutuk diri saya sendiri waktu itu.
“Sadar kau, Ka! Sadar dong! Kau
kemana aja selama ini ? Sibuk dengan duniamu sendiri sampai Ibumu menahankan
perihnya sakit berjuang sendiri! Hidup mau jadi putri raja?! Sadar!,” kata-kata
itu terus saya ucapin dalam hati sambil berkaca di depan cermin.
Itu berlangsung setiap hari selama kurun
waktu sebulanan lebih, usai Ibu saya menyampaikan kata-kata Paman itu. Mungkin
apa-apa yang saya rasain waktu itu enggak bisa saya deskripsikan di postingan
ini, entar isinya jadi penuh hujatan atas kesalahan diri sendiri. Esensi judul
di atas malah enggak cocok buat dibaca sampai ke bawah.
Hari demi hari saya coba susun ulang
jadwal saya dan butuh waktu hampir tiga bulan untuk akhirnya memutuskan bahwa
saya harus keluar dari semua komunitas yang saya ikuti. Kok semua? Apa gak
lebih baik untuk mengurangi saja daripada harus keluar semua dan enggak ada
pegangan komunitas sama sekali? Keputusan saya waktu itu benar-benar bulat. Mungkin
bagi kalian yang membaca ini bakal bilang kalau saya ini terlalu emosional
karena harus melepas tanggung jawab sosial yang sudah dirajut sejak lama.
Enggak, saya enggak akan memutuskan tali
silaturahmi dengan mereka-mereka yang begitu besar berperan dalam hidup saya.
Siapa banget saya sampai harus jadi ‘kacang lupa kulitnya’? Saya bukan
siapa-siapa. Kita sama-sama saling membutuhkan. Orang-orang membutuhkan saya
dan saya membutuhkan kalian. Tapi, rasanya saya terlalu egois kalau meletakkan ‘rasa’
sekian banyak orang di pundak saya sendiri. Alangkah baiknya kalau saya bagi
rasa itu dengan adil. Saya bagi dengan teman-teman yang belum berkesempatan
jadi ‘pundak’ buat orang lain dan memberikan jeda untuk orang-orang yang hampir
ketergantungan dengan keberadaan saya. Enggak ada salahnya kan ketika harus
berganti posisi dalam menjalani peran?
Saya yakin, ketika peran saya digantikan
oleh orang-orang baru maka akan memberikan dinamika yang menantang. Mereka akan
merasakan hal-hal baru, apalagi seperti kegiatan sosial mengajar. Ya, basic
saya mengajar anak-anak pedalaman. Saya senang melakukan itu dan tidak ada
alasan lain selain rasa senang itu sendiri. Bahkan ketika Ibu saya tahu kalau
itu semua profitnya bukan uang dan menolak habis-habisan apa yang saya lakoni,
saya tetap bersikukuh pergi ke desa pedalaman dan pulang setelah
berminggu-minggu pergi. Rasanya, saya ingin berlari nangis ke makam Bapak saya
dan mengatakan bahwa saya benar-benar ingin berkontribusi lebih banyak. Entah
itu ada uangnya atau enggak, saya tidak peduli. Kepuasan batin itu membawa saya
mencintai pekerjaan saya. Saya cinta mengajar, saya cinta anak-anak, saya cinta
hidup sederhana tanpa harus bermewah-mewahan yang berlebihan.
Namun, akhirnya keputusan saya keluar
dari semua komunitas itu terpaksa diterima lapang dada oleh rekan-rekan sejawat
di komunitas setelah saya hampir merasa dimusuhi karena mereka belum paham
maksud hati saya. Tapi, setelah saya menceritakan semua kondisinya,
Alhamdulillah mereka mengikhlaskan posisi saya digantikan. Saya tahu, bukan
maksud hati mereka awalnya untuk marah-marah atas keputusan saya keluar seenak
jidat tanpa memikirkan bagaimana patahnya hati anak-anak yang sudah gandrung
dengan sistem mengajar saya. Lagi-lagi, saya yakin kalau anak-anak itu akan
paham bahwa rasa cinta saya tidak akan mungkin lepas dari mereka. Mereka selalu
ada di hati saya dan akan tetap saya pantau melalui perkembangan prestasi
mereka dari teman-teman yang masih aktif di komunitas. Anak-anak yang paham
dengan sistem mengajar saya akan tahu bahwa selama ini saya mengajar bukan sebagai
guru, tapi saya adalah sahabat mereka. Kami adalah rumah.
Begitulah karunia terindah dari kejadian
kecil akibat perkataan Paman saya kepada Ibu saya. Semua lantaran ulah saya
yang terlalu kekanak-kanakan. Tidak berpikir bahwa Ibu saya harus
luntang-lantung memikirkan semuanya sendirian dan saya pergi-pulang sesuka
hati. Sampai akhirnya seorang Rizka berani mengambil resiko dianggap egois oleh
teman-teman terdekatnya karena meninggalkan apa yang sudah dirajut
bareng-bareng. Ah, kawan-kawan seperjuangan. Harusnya kalian paham bahwa saya
tidak benar-benar meninggalkan. Saya cuma butuh istirahat, tidak lama-lama.
Sebentar saja. Terlepas dari apapun itu namanya, saya tidak pernah melupakan apa
yang pernah kita buat bareng-bareng, kita pikirkan bareng-bareng, dan semua
yang kita hasilkan bareng-bareng. Mulai dari berlumuran keringat, diterpa
debu-hujan-panas, berkawan dengan duri-lumpur-batu, sampai merasa bahwa adanya darah
bukan lagi karena terluka tapi karena ikhlas tidak bisa dibeli dan semangat tidak
mampu ditimbang.
Semua
perjalanan hidup adalah sinema. Bahkan lebih mengerikan. Darah adalah darah,
dan tangis adalah tangis. Tak ada pemeran pengganti yang akan menanggung
sakitmu.
***
Permulaan semester 6, saya kembali
bangkit. Sudah hampir dua bulan saya perbanyak waktu dengan keluarga, membantu
Ibu mengurus kebutuhan warung kelontong dan menjual sayur masak (walau tidak banyak tenaga yang saya
sumbangkan dan masih sering tersita waktunya karena jam perkuliahan yang enggak
teratur), menjadi guru semua mata pelajaran untuk adik-adik sepupu saya (ya, karena saya tidak punya adik kandung
dan memang anak sematawayang), hingga menjadi teman bermain untuk anak-anak
di sekitar rumah saya.
Kemudian, saya mengolah perpustakaan
pribadi saya menjadi perpustakaan umum. Sebenarnya bukan perpustakaan juga
namanya hehehe soalnya koleksi bukunya masih sedikit dan itupun tidak ada
pamflet terbuka bertuliskan ‘perpustakaan’ atau apapun. Hanya sebuah lemari
buku besar berisikan buku-buku koleksi saya yang bisa dikonsumsi oleh anak-anak
yang main ke rumah saya. Tapi, lambat laun koleksi buku saya banyak dipinjamin
sama teman-teman kampus dan lupa saya tagih hahaha. Ya, akhirnya saya
menerapkan sistem catat-pinjam. Soalnya untuk membeli satu buku saja saya harus
mengumpulkan uang satu sampai dua bulan, dengan pekerjaan saya yang masih ‘mocok-mocok’
kerjain ini itu dan hasilnya belum begitu banyak.
Tapi, Alhamdulillah lagi tawaran
untuk membantu pekerjaan menulis di sana-sini sedikit membantu urusan dompet
saya hehe. Saya memang tidak pernah membebani Ibu saya tentang uang kuliah atau
apapun seputar studi pendidikan saya, hanya saja saya merasa minder memang
kalau terlalu sering minta sama Ibu. Apalagi semenjak Bapak saya meninggal,
saya benar-benar belajar kalau mencari uang itu enggak gampang. Kalau boleh
dibilang, uang seribu pun bagi saya sangatlah berarti. Makanya, ketika
teman-teman saya membelikan saya hadiah ulang tahun, ada rasa di hati yang
enggak bisa diungkapkan karena saya enggak bisa balas dalam waktu dekat. Tapi
akan saya catat dan akan saya lunasi di lain kesempatan. Sabar ya hehehe.
Alhamdulillah lagi, kondisi keuangan
saya semakin membaik kian hari. Sesekali saya bisa membelikan Ibu dan adik-adik
sepupu makanan kesukaan mereka. Tentunya, saya juga bisa mengisi nutrisi kesehatan
saya hahaha, minum jus murah meriah misalnya kan atau kembali terjun ke
lapangan untuk sekadar bermain basket sendirian. Setelah itu, saya juga bisa
lebih enak untuk berdiskusi dan sesekali diajak wisata alam sederhana dengan
teman-teman yang dulunya sempat saya lupakan keberadaannya.
Menjadi
kuat bukan berarti kita tahu segalanya. Bukan berarti kita tidak bisa hancur.
Kekuatan kita ada pada kemampuan kita bangkit lagi ketika berkali-kali jatuh.
Jangan pikirkan kita akan sampai dimana dan kapan. Tidak ada yang tahu.
Our
strength is simply our will to go on.
Kemudian, ide-ide saya tidak putus
ditengah jalan seperti produktivitas menulis masih terus dipupuk dan saya bisa
bercerita hal-hal bermanfaat apa yang saya dapat selama berada titik jenuh
kemarin. Tidak hanya itu, saya bisa mengunjungi sanak saudara saya di pesta
pernikahan atau kegiatan-kegiatan adat keluarga dan bercengkrama lebih lama
dengan mereka (sungguh, di titik ini saya
rindu dengan sosok Bapak dan saya tengah melakoni diri menjadi si Bapak yang
berjuang menjadi seorang muslim karena di keluarga Bapak, kami adalah kalangan
minoritas agama. Ya, Bapak saya mualaf)
Tambah bersyukurnya lagi, saya tetap
bisa menjalani profesi mengajar saya dengan anak-anak pedalaman. Saya masih
bisa mengunjungi desa binaan setiap akhir pekan atau waktu lenggang tertentu,
menanyakan kabar mereka dan menemui anak-anak yang tawanya tidak luntur karena
saya tinggalkan. Mereka tetap bermain, belajar, dan bersemangat mengejar ‘matahari’
yang di mata mereka tidak pernah luput sinarnya meski harus membuat badan
mereka diguyur keringat karena berlarian kesana-kemari. Selain itu, saya juga
masih bisa menemui teman-teman komunitas meski saya bukan lagi bagian dari
mereka. Bahkan beberapa kali saya diajak bergabung dalam kegiatan mereka dan
hal itu sangat saya syukuri karena mereka tidak pernah melupakan saya. Terima
kasih, sungguh terima kasih.
Di organisasi kampus, saya kembali
aktif menjalani tugas-tugas yang diamanahkan. Alhamdulillah, saya benar-benar
menjadikan organisasi bukan lagi tempat saya belajar ilmu pasang-surut
bermusyawarah mufakat, melainkan sebagai rumah kalau saya tersesat. Teman-teman
organisasi menjadi rekan-rekan yang selalu mengingatkan saya bahwa tidak ada di
dunia ini yang semua orang bisa lakukan dalam waktu bersamaan. Harus ada prioritas,
harus ada yang dikorbankan dan pengorbanan memang sakit karena ada yang
ditinggalkan. Sesuatu yang hilang akan digantikan dengan sesuatu yang lebih
baik. Itu murni kuasa-Nya.
Kemudian, saya juga dulu bisa
dibilang orang yang gampang banget baperan. Sedikit-sedikit bawa perasaan,
sedikit-sedikit galau, sedikit-sedikit apalah namanya. Nah, setelah melewati
masa-masa itu, saya belajar bahwa itu semua dongeng yang memang ada di dunia
nyata hehe (artikan sajalah maksud saya
sendiri ya). Soal apapun yang terjadi di masa lalu, tanpa itu semua apalah
saya ini hahaha. Tentu saja kalau bukan karena jatuh, saya juga tidak akan bisa
bergerak melesat sebegini jauh. Perihal rasa ikhlas, Alhamdulillah semuanya
pasti menemukan jalan pulang dan saya sudah menutup buku masa lalu. Saya simpan
di tempat yang paling aman karena memang kenangan harus diabadikan bukan
dilupakan. Mereka akan jadi sejarah untuk hal-hal mengejutkan di depan sana.
“Kenangan
itu hanya hantu di sudut pikir, selama kita diam selamanya dia tetap jadi
hantu, enggak akan pernah jadi kenyataan” (Dee Lestari)
Dengan begitu, saya pun siap mengisi
lembar per lembar dari buku baru saya bersama orang-orang yang berhasil
mengulurkan tali dan menyelamatkan saya hingga detik ini, untuk kemudian berjalan
beriringan-berdampingan. Ibu saya, saudara saya, adik-adik sepupu saya,
rekan-rekan komunitas dan organisasi saya, anak-anak yang bermimpi besar, teman-teman
yang merangkul saya dalam dekapan kalian, dan orang-orang baru yang akan hadir
di hari-hari esok.
***
“Seindah
apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkan ia
dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak?
Dan saling menyayang bila ada ruang? Bukankah tidak apa jika harus berputar
menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi?
Keheningan seakan memiliki jantung.
Denyutnya terasa satu-satu, membawa apa yang tak terucap. Sejenak berayun di
udara, lalu bagaikan gelombang air bisikan itu mengalir, sampai akhirnya
berlabuh di hati. Sangat menarik, tentang jeda. Umumnya, kita menghubungkan
jeda dengan sebuah ruang kosong, berjarak, dan mungkin tak berarti. Kita
mungkin benci, dan tak sekalipun mengharapkan kehadirannya. Namun, jika kita
coba mengamati lebih dekat, dan merenungkannya, jeda ini ternyata sangat
berarti.
Coba perhatikan, apapun yang ada di
dunia ini pasti memiliki jeda, ada ruang, ada jarak kosong antara satu dan
lainnya. Bukankah jeda itu penting bagi seseorang ketika membaca? Bukankah jeda
itu penting ketika kita ingin mengartikan suatu frasa? Apa jadinya bila di
setiap kalimat yang kita tuliskan tak ditemukan jeda, kita akan bingung
membacanya.
Jeda juga membuat sesuatu di sampingnya
menjadi berarti. Suara yang sunyi akan membuat sekecil apapun suara yang
terdengar kemudian, jadi amat nyaring. Kata-kata yang keluar setelah orang
terdiam, akan sangat kita perhatikan. Jika saja tak ada jeda, mungkin kita akan
bosan mendengarnya, karena biasa saja. Jeda bukan berarti kita berhenti
melangkah, ia hanyalah langkah semu yang memberi kita waktu untuk melanjutkan
perjalanan dengan langkah yang lebih berarti.
Begitu pula dengan rindu, ia bukanlah
sebuah bisu yang tak peduli padamu, ia adalah waktu yang diam-diam memberi arti
bagi momen perjumpaanmu nanti. Ya, itulah kenapa perlu adanya jeda dalam
kehidupan.
***
Jika
dulu saya pergi berminggu-minggu meninggalkan Ibu dengan penuh sesak, saya pastikan
kali ini tidak. Saya pastikan kali ini Ibu tidak terengah-engah mengontrol anak
perempuan sematawayangnya untuk berkelana, berpetualang, berpendar dari satu
bintang ke bintang yang lain, bercengkrama dari satu becak ke becak yang lain,
beralaskan lelah dari satu rumah ke rumah yang lain. Petualangan saya nanti
akan lebih membuat diri saya paham dan membuat saya berlari ke makam Bapak
bukan lagi untuk menangis, melainkan untuk bercerita panjang lebar tentang perjalanan
yang menyenangkan. Bapak mesti tahu, saya tidak pernah barang sedetikpun
melupakan momen percakapan ba’da Isya setiap malam bersamanya. Itu menjadi
modal mengesankan bagi saya untuk hidup bersama Ibu dan menjadi dua wanita
hebat yang tumbuh menguatkan bersama, menguatkan yang lainnya.
Jika dulu saya pergi sebentar dari keramaian, saya pastikan kali ini saya tetap ikut di tengah keramaian dan menjalankan peran sebagaimana mestinya. Namun, tujuan saya tidak lain adalah untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Saya tidak ingin orang-orang ketergantungan akan kehadiran saya seperti dulu. Saya tidak ingin membuat ketergantungan dari segi apapun, cukuplah kita bergantung pada Dia yang punya segalanya. Keinginan untuk benar-benar 'ada' menjadikan saya untuk tidak sekadar menjalankan hidup. Pilihan saya bergerak sendiri bukan berarti tidak membutuhkan siapa-siapa. Sejak awal, saya bukan organ tunggal dan terbiasa sama-sama bekerja. Tapi, ada masanya saya memang harus bergerak sendiri, jatuh dan bangkit sendiri, mengobati luka sendiri, memapah dan menopang kaki sendiri, serta berikhtiar dalam doa tanpa perlu orang mendengar apa-apa saja isi doa saya. Yang jelas, tidak ada 'kita' yang ingin hidupnya kandas sia-sia dibalik nisan tanpa ada sejarah yang ditorehkan.
Mohon doanya ya semoga buku ini segera terisi penuh. |
Saya
memutuskan untuk mengambil jeda pada beberapa kegiatan dan kumpulan guyub yang
begitu menyenangkan. Saya memutuskan menemukan makna tentang diri sendiri dalam
keterasingan. Saya memutuskan akan melakukan perjalanan lebih jauh lagi.
Saya berhenti,
sejatinya bukan untuk pergi.
2 komentar
Merinding" awak bacanya kak :')
BalasHapusSemoga bermanfaat ya, dek. Sering-sering mampir kesini ya hehehe. Makasiiiih ^^
Hapus