Kontemplasi : Catatan Harian Mahasiswa Biasa
Agustus 20, 2017
I
kinda understand now, what growing up gives me.
Perspective
and understanding.
-Anonymous-
Beberapa minggu ini bahkan
sebenarnya sudah hitungan bulan, pikiran saya mulai sedikit terarahkan (jadi selama ini kemana aja, Neng? Hahaha ngabur
duluuu). Entah karena efek terlalu banyak baca buku dan kembali
menggalakkan kegiatan wajib membaca buku sebelum tidur malam (meski tetap begadang sampai pagi),
atau karena efek usia, atau lebih khawatirnya lagi karena semakin banyak
orang-orang yang mulai menggali luka tentang kehidupan saya.
Lantaran itu juga saya suka
tiba-tiba pergi kemana, mungkin ke tempat yang menurut saya bisa menenangkan
diri dan berbicara pada diri sendiri. Seperti beberapa hari lalu, saya sempat
melakukan kemah sendirian dan kemarin baru saja pergi-pulang naik kereta api
sendirian. Hahaha jadi sekarang saya selalu nyaman sendiri begitu? Tidak juga,
akan lebih seru kalau dilakukan bersama-sama, dengan Ibu saya dan teman-teman.
Tapi, kali ini saya enggak ingin
cerita tentang kesendirian. Postingan ini real
sebagai refleksi dari tulisan-tulisan saya yang secumit-cumit kemudian saya
kumpulkan jadi satu disini. Sulit rasanya untuk tidak mengapresiasi pemahaman
positif dari setiap perjalanan yang saya lakoni. Saya mengerti bahwa sebenarnya
tidak ada yang begitu ingin dirinya berakhir sia-sia. Begitupun saya yang kerap
diam-diam memahami bagaimana sebuah proses bekerja.
Terhitung sejak saya kuliah,
omongan-omongan kiri dan kanan membuat saya belajar bahwa orang-orang bukan
membutuhkan siapa yang bisa melihat mereka, melainkan siapa yang mampu menjadi
pendengar baik. Maka, saya lebih banyak belajar untuk mendengar dengan rasa dan
logika. Meski pada poin kesekian, saya bisa saja kalah oleh kenyataan. Tak apa,
selama saya masih bisa hidup sebagai manusia yang tidak lupa mengucapkan ‘terima
kasih’, ‘maaf’, dan ‘tolong’, tentu menyertakan Allah dalam setiap pilihan
adalah yang utama.
Teman-teman, terima kasih sudah
membantu saya dalam banyak hal terutama dalam pembentukan karakter saya sampai
sejauh ini. Saya tidak pernah ingin terlalu mengagumi bahkan sampai dikagumi,
tapi sedikit memberikan rasa bahagia pada kalian tidak ada salahnya. Oleh
karenanya, postingan ini bukan berisi cerita panjang. Layaknya sebuah catatan
harian, saya menempatkan kalian sebagai pena dan tintanya. Tanpa pena dan tinta,
kertas tidaklah berisi kata-kata.
Dalam kontemplasi ini, saya turut
serius menghaturkan maaf pada diri sendiri karena tidak jarang (mungkin) saya
pernah mengecewakan. Tidak memberikan asupan kesehatan yang baik, lupa
berkreasi pada hati, dan pernah memaksakan untuk melakukan banyak hal yang
sebenarnya diri saya pun ujug-ujugnya sudah minta istirahat.
***
I.
Saya pernah mengalami masa ketika sempat
membenci diri sendiri, dengan kebiasaan-kebiasaan yang saya kira tak akan
membuat saya maju dan berkembang, terkekang oleh segala aturan dan rutinitas.
Ketika zona nyaman menjadi jebakan mematikan, dan saya terjebak disitu. Menikmati
apa yang saya dapatkan dan memilih aman. Tapi saya belajar untuk keluar dari
zona itu, melawan ego diri. Ternyata, di depan sana begitu banyak jalan dan
perjuangan yang bisa saya petik.
Ketika saya mencoba beberapa kali
melepaskan sebuah beban dengan pelarian bersama diri sendiri, saya mengerti
bahwa saya sebenarnya rindu. Rindu masa dimana orang-orang merdeka. Bebas
melakukan apapun, menjadi diri mereka sendiri tanpa mengikuti arus. Bukankah
menjadi jujur kepada diri sendiri lebih baik ? Diri kita langka dan hanya ada
satu di muka bumi ini, jadi kenapa kita harus menutupi diri dengan sifat yang lain?
II.
Bicara soal sesuatu yang dipilah-pilah
mana baik dan buruk, jelas itu sesuai kebutuhan masing-masing individu. Begitu
berat prosesnya, sampai bisa kehilangan orang-orang terbaik di sekitar.
Disinilah sebenarnya kita ditempah sebagai 'pabrik' untuk diri sendiri. Memang
benar, ketika kaki sudah berjalan lebih jauh dari biasanya, akan ada sesuatu
yang berbeda dari sebelumnya. Merantau dalam waktu sebentar atau lama dan
sendirian, bukan suatu hal yang gampang. Sewaktu-waktu bisa bertengkar dengan
diri sendiri. Tidak ada yang melerai.
Melepaskan ego dan mematahkan nafsu,
merupakan 2 bagian yang sangat lama mengasahnya. Tapi, saya ingat kata Almarhum
Bapak dulu, kalau sesuatu dikerjakan secara berkala dan ikhlas selama 3 bulan
berturut-turut, Insya Allah itu jadi sebuah kebiasaan. Sama seperti kita
terbiasa meletakkan sepatu di rak sepatu selepas kita pakai. Kalau bukan kita
biasakan, sulit logika menerima tentang makna menyusun sepatu yang rapi.
III.
Kebanyakan kita seringkali menjadi
korban emosional diri sendiri. Menganggap bahwa apa yang kita putuskan adalah
yang terbaik, atau bahkan mengira usaha kita sudah diambang batas sehingga
hasilnya haruslah sesuai ekspektasi. Padahal untuk menuju hasil baik, kita
seringkali melupakan proses menuju kesananya. Maka tak heran, ada banyak orang
yang berhasil tapi lupa dengan orang-orang yang membimbingnya saat terpuruk
dulu.
Dari hal-hal kecil itulah yang membuat
saya pribadi sangat senang melakukan apresiasi, minimal dengan ucapan terima
kasih. Walau sekesal apapun dengan seseorang, usahakan jangan pernah membenci
apalagi mendendam. Suatu waktu, kita tak pernah tahu kapan bakal butuh bantuan
beliau. Boleh jadi, saat detik-detik susahnya kita, dia malah menjadi
penyelamat.
Seorang kakak angkatan pernah mengatakan
bahwa banyak orang yang senang memberi tetapi masih sedikit orang yang senang
menerima. Kita mikir kalau menerima itu adalah hal yang gengsi. Padahal,
menerima itu membantu orang untuk menuntaskan niat baiknya. Jadi, mulailah
terbiasa untuk menerima (satu dari sekian banyak hal yang kita lupakan
maknanya). Termasuk juga menerima segala perlakuan orang-orang kepada kita.
Bukan bagian kita untuk membalas perbuatan.
“Tetapi orang yang bersabar dan
memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”
(Asy-Syuuraa:43)
IV.
Sejak masuk usia kepala dua, tidak
sedikit hal-hal di sekitar jadi bekal untuk pemantapan diri. Getir rasanya
mengingat diri bukanlah lagi anak "ingusan"
belasan tahun. Keluar masuk juga orang-orang, entah itu hanya sekadar
kenal-singgah hingga nyaman dan menjadi pengingat. Jujur saja, lucu rasanya
kalau ingat dulu aneh-aneh bertingkah di media sosial. "Kemarok" kalau kata orang. Sedikit-sedikit upload,
sedikit-sedikit komen, sedikit-sedikit like, padahal belum tentu juga orang
suka. Mikir juga sekarang, kira-kira apa yang lagi diketik sekarang ini bermanfaat
atau enggak ya? Terkadang ya begitu. Niat kita ingin mengingatkan, nyatanya
tidak sedikit orang yang berpikiran malah sebaliknya. Allahualam. Semoga kita
senantiasa diberikan cara berpikir yang positif.
Tak khayal, semangat belajar juga
naik-turun seperti air laut. Ini yang sering menjadi catatan. Apalagi kalau
semangat belajarnya karena ada motif lain. Katakanlah, sedang jatuh hati atau
malah patah hati. Bohong rasanya kalau di kondisi itu bilang, "enggak apa-apa". Meskipun itu
manusiawi, tentu punya efek samping. Segala sesuatu yang belum waktunya, akan
berdampak tidak baik. Itulah kita selalu butuh orang-orang sebagai pengingat.
V.
Tentu pernah dari mulut kita keluar
kata-kata yang merendahkan orang lain. Kata-kata yang sepertinya berniat baik,
padahal tidak. Kata-kata yang sepertinya ingin mengingatkan orang lain, justru
terlihat ingin mengangkat diri sendiri dengan menjatuhkan orang lain. Kalau
tidak bisa membantu kehidupan orang menjadi lebih mudah, paling tidak kita
jangan menjadikannya lebih sulit dengan kata-kata kita.
Satu diantara sekian banyak pilihan,
saya memilih menjadi bagian belakang layar. Begitu banyak orang-orang hebat
lahir dan berdiri kokoh karena orang-orang yang berada di belakangnya. Belakang
layar bukan berarti orang terbelakang atau terpuruk. Aktualisasi menjadi
manusia benar-benar terasa disitu. Melihat orang lain berhasil itu jauh lebih
menyenangkan. Meskipun menjadi seperti itu, ya harus melewatkan begitu banyak
momentum perubahan teman-teman sebaya-seperjuangan. Itu sebuah bentuk pengorbanan
yang cukup menarik.
Kadang kebahagiaan itu begitu terusik
dengan mendengar kabar bahagia orang lain. Mulai membandingkan dengan proses
hidup yang sedang dijalani sendiri. Setiap orang tengah berjuang, untuk
membangun masa depan lantas kita perlu mengorbankan begitu banyak kesenangan
hari ini. Tidak ada kemudahan yang melahirkan orang yang kuat. Begitu hukumnya,
kan?
VI.
Bagi saya, gagal adalah sebuah hasil
usaha, sedangkan kecewa adalah sebuah rasa. Dari segi akademik, mulai dari
karya tulis tidak menjadi juara, mendapat pengumuman tidak lolos application, paper gagal siap, beberapa kali gagal berangkat karena kondisi
orang tua, dan sederet hasil ikhtiar yang tidak berbuah manis di penghujung
akhirnya. Kecewa? Tentu kecewa sekali.
Ya, sejalan seringnya gagal ternyata
pelajaran terselip tentang keyakinan bahwa kita selalu punya cara sendiri untuk
menata hati. Yakin, apa yang sudah Allah beri adalah yang terbaik dibandingkan
skenario diri. Hakikatnya Allah itu selalu mengabulkan doa, dengan 3 bentuk
jawabannya. Entah diberikan segera, Ia tunda, atau Ia gantikan yang jauh lebih
baik menurut-Nya.
Kecewa itu wajar, sangat manusiawi
kehadirannya. Namanya juga perihal hati, enggak bisa dibohongi. Sikap kita
menghadapi kecewa yang menjadi poin utamanya disini. Memilih menggerutu
sepanjang hari, menyesali ketetapan yang sudah dituliskan-Nya, marah dengan apa
yang terjadi, atau terus mencoba menata hati. Bukankah luas nikmat-Nya jauh
lebih banyak dari apa yang kita minta?
Just
because you don’t see the good in something doesn’t mean it’s not there. Allah
has plan for everything. Something that seems bad at the moment can be the best
thing that’s going to happen later on.
VII.
Kita tidak perlu menjelaskan tentang
siapa kita dan bagaimana kita. Tentang kita yang (mungkin) baik, bekerja keras,
penuh toleransi, bertanggungjawab, dan segala hal yang menurut kita adalah yang
terbaik dari diri kita sendiri. Orang lain akan mengenal kita bukan dari
penjelasan tersebut, tapi dari apa yang kita lakukan.
Dan seperti itulah sebenarnya diri kita.
Saya mengenal beberapa orang yang cukup “keren”
di negeri ini. Bagaimana saya mengenal mereka mungkin berbeda dengan
orang-orang yang kenal hanya dari apa yang mereka tampilkan di media sosial.
Mengenal mereka dengan lebih detail dan menyeluruh, bukan hanya satu arah
seperti kita membaca mereka di media sosialnya.
Dan bukankah memang seperti itu diri
kita? Orang yang “mengenal” kita bisa
dihitung jari. Dari segala hal pencapaian kita selama ini, dan mungkin orang
lain menganggap kita luar biasa dengan pencapaian organisasi, prestasi, dan
segudang hal lainnya. Yang benar-benar mengenal kita hanya sedikit. Dan kita
tidak pernah menjelaskan tentang diri kita kepada mereka yang sedikit itu.
Sebab mereka tidak memerlukan penjelasan
apapun, sebab mereka mengenal siapa diri kita dan siapa sebenarnya. Barangkali
orang lain diluar sana terkagum-kagum dengan kita, sedangkan mereka tidak. Tak
semua orang ingin tahu tentang apa yang kita usahakan, sekeras apa perjuangan
kita, dan sepanjang apa doa-doa kita. Sekalinya pun ingin tahu, tidak ada yang
benar-benar merasa "ada" pada cerita kita. Maka, diam dan
bersabarlah.
Kita tidak perlu menjelaskan, cukup
lakukanlah.
***
Cara kita merendahkan hati menentukan setinggi apa kita menapakkan kaki. Saat kita melangkahkan kaki keluar rumah
dengan niatan yang baik untuk sesama, saya yakin semesta akan memberi balasan
yang terbaik untuk kita.
Medan,
20 Agustus 2017.
0 komentar