#PKLSeries ANTARA Sumut : Day 1 – Day 5
Juli 22, 2017
Bagaimana
bisa kita dengan jelas melihat seseorang kalau ia tak ada bedanya dengan orang
yang lalu lalang ?
“Bukankah
melelahkan jika selalu ikut tren, apalagi hanya agar dianggap keren”
(Najwa
Shihab)
Tulisan
ini saya buka dengan kalimat penguat dari seorang jurnalis perempuan Indonesia
yang tidak diragukan lagi kiprahnya di dunia jurnalis. Mengingat
kata-katanya itu, saya pun merasakan sedikit demi sedikit. Benar juga ya, pekik saya dalam hati.
Terjun
benar-benar dalam kehidupan seorang pewarta berita bukanlah main-main. Ini
bukan soal keren-kerenan. Ya, ini yang akan saya ceritakan sedikit dalam
tulisan ini. Pengalaman menjadi seorang jurnalis profesional sesuai kode etik
jurnalistik dan bekerja atas dasar hati nurani, tentunya. Meski ini bukan hal baru, akan berbeda rasanya. Sebelumnya, saya sudah berkecimpung di bidang jurnalistik sejak SMA. Saat ini, selain bergabung di dua organisasi kampus yang sama-sama mendorong saya untuk produktif menulis dan liputan lapangan, saya juga mengisi waktu usai kuliah dengan menjadi kontributor di beberapa media cetak dan online. Buat nambah uang kuliah, tak apa ye hehe.
Saat ini saya memasuki masa Praktik Kerja Lapangan (PKL) atau bisa disebut
magang. Untuk disiplin ilmu lain ada yang menamakannya dengan sebutan Program
Pengalaman Lapangan (PPL) dan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Itu semua berbeda
tergantung program studi yang ditekuni.
Memilih
tempat PKL
Saya dan dua orang teman sudah membicarakan soal
bakal dimana kami akan menghabiskan 1-3 bulan menyelesaikan 3 SKS untuk mata
kuliah PKL, sejak Maret 2017. Kami mulai dari tanya-tanya dengan senior.
“Kak / bang, PKL dimana?”
“Kemaren kakak/abang PKL disitu
gimana pengalamannya?”
“Rekomen nggak kira-kira kalau kami PKL
di tempat kakak/abang waktu itu?”
Hingga dari beberapa senior yang
kami tanyai, keinginan kami pun mulai berlabuh pada sebuah surat kabar di
Ibukota Jakarta. Dari tiga orang dalam satu tim ini, saya ditugaskan untuk
mengumpulkan berkas-berkas semua anggota tim. Mulai dari Curriculum Vitae (CV),
Surat Lamaran PKL, dan Surat Rekomendasi dari kampus. Kemudian, saya diarahkan
oleh seorang senior untuk menghubungi bagian HRD dari media tujuan kami. Saya
pun mengirimkan keseluruhan berkas ke email HRD.
Selama hampir 3 bulan, kami tidak
mendapatkan kepastian akan diterima di media tersebut, meskipun email pertama
saya dibalas.
Akan
saya kabari lagi setelah bagian redaksi mengkonfirmasi.
Begitulah balasan email dari HRD.
***
Pikir pikir lagi, bukan saya tidak
sabar menunggu, hanya saja persiapan untuk segala keperluan PKL harus saya
pikirkan. Tapi dari semua itu, kondisi kesehatan Ibu saya yang sering naik turun jadi alasan paling penting. Berat hati untuk meninggalkan beliau dalam jangka waktu 1-3 bulan.
Kalau
saya PKL di Medan, saya masih bisa bantu Mamak walau gak banyak. Tak apalah PKL
disini, nanti Insya Allah selesai PKL dan kondisi Mamak membaik, saya bisa izin
merantau jauh, pikir saya dalam hati.
Alhasil, dengan ikhlas saya
mengundurkan diri dari media tersebut dan mencari alternatif secepat mungkin.
Sedangkan, dua teman saya tetap menunggu panggilan.
Tabarakallah, ternyata Allah menjawab
doa saya. Di tengah penantian itu, seorang tetangga saya menawarkan posisi
magang bagian redaksi di media tempat ia bekerja. Ya, media tersebut bernama Perum
Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA.
Takjub saya ketika mendengar kata “ANTARA”.
Jika kita telusuri sejarah perkembangan media dan informasi di negeri ini, maka
akan kita temukan ANTARA sebagai lembaga berita terbesar di Indonesia dan
usianya lebih tua daripada Kemerdekaan Republik Indonesia. Didirikan pada 13
Desember 1937 oleh A.M Sipahoetar, Mr. Soemanang, Adam Malik, dan Pandoe
Kartawigoena.
Setelah saya pertimbangkan kembali,
maka bulatlah tekad saya mendaratkan surat lamaran PKL untuk menimba ilmu
selama 1 bulan lebih di Kantor Berita ANTARA Provinsi Sumatera Utara. Meski bukan di
ANTARA Pusat, tentu binaan yang ditempah akan tetap sama. Intinya, jurnalis itu
harus punya idealis yang tinggi sesuai dengan kode etik jurnalistik. Sebab,
tugasnya bukan semata untuk perut sendiri, melainkan untuk masyarakat dan negara.
Day 1 (Hari Pertama)
Tanggal 17 Juli 2017, saya dan dua
orang teman (Muna Fadhiah dan Novita Arum) memulai hari pertama masa PKL di
LKBN ANTARA Sumut. Mereka berdua saya ajak untuk bergabung.
Hari pertama berjalan lancar. Kami
datang pukul 09.30 WIB sesuai dengan aturan
jam masuk kantor dan mengenakan pakaian bebas rapi (kelebihan disini anak
magangnya tidak mesti pakai putih hitam dan almamater).
Sekitar 30 menit menunggu, datanglah
seorang wartawan ANTARA bernama Munawar. Ya, Pak Munawar kemudian bercerita
panjang lebar tentang pengalamannya menjadi seorang wartawan. Pahit getir asam
manis pedas, semua rasa telah ia guyur. Beliau ditugaskan khusus meliput
terkait peristiwa-peristiwa kriminal dan kasus-kasus yang diungkap oleh POLDA
dan Pengadilan. Luar biasa, dalam
hati saya.
Tak lama lagi, kami berkenalan dengan
seorang wartawan foto bernama Septianda. Beliau ini sudah melalang buana dengan
hobi fotonya.
Dan kemudian kami juga berkenalan dengan
Pak Akung (pemimpin redaksi), Pak Juraidi (redaktur), Pak Irwan Arfa
(wartawan), Eva Siregar (wartawan), Bu Endang (administrasi), dan Pak Tengku
Amri (administrasi).
Hal pertama yang saya temukan disini
adalah ramah tamah dan kekeluargaan.
Semua saling tegur sapa, lempar senyum
dan tawa, serta menasihati layaknya orang tua kami. Saya berdoa semoga tempat
ini akan menjadi rumah tempat saya pulang sejauh dan sekeras apapun saya
bertempur di lapangan.
Hari pertama belum ada tugas dikarenakan
kami harus menunggu Bapak Suparmono (Kepala Biro ANTARA Sumut) untuk
mendapatkan amanah tugas selama berstatus magang. Namun, kami tidak bertemu
karena beliau sedang ada acara di Kabupaten Langkat dan akan pulang malam hari.
Karena itu, Pak Amri meminta kami untuk kembali lagi esok hari.
Day 2 (Hari Kedua)
Selasa, 18 Juli 2017, pukul 10.00
WIB.
Akhirnya, kami bertemu dengan
Kabiro. Boleh dikatakan, usia beliau sudah seperti kakek saya. Tapi tidak
menutupi tangguhnya beliau terlihat dari caranya berbicara.
“Selamat datang di ANTARA,
adik-adik. Seharusnya kalian ini anak-anak saya karena anak kandung saya pun
seusia kalian”, kata beliau.
Hari ini masih berisi wejangan dan
berbagi pengalaman. Jadi, selama sebulan ke depan kami akan ditugaskan untuk
meliput Program Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dibawah binaan Dinas Koperasi
dan UMKM Kota Medan.
Siap
tempur apapun kondisinya dan dilempar kemana saja, pesan yang saya ambil
dari perkataan Pak Suparmono.
Day 3 (Hari Ketiga)
Hari pertama liputan ini sebenarnya
masih meraba bagaimana alur bekerja di media ini. Alhasil, kami yang datang
memang lebih pagi daripada wartawan dan pegawai kantor lainnya, memilih untuk
membaca koran pagi. Surat kabar yang bertumpuk di meja rapat utama berasal dari
media-media yang berlangganan berita dengan ANTARA. Hampir semua media di Sumut
menjadi pelanggan berita disini.
Tak lama kami menunggu di ruang
tamu, Pak Suparmono datang dan berekspresi kaget melihat kami.
“Loh apalagi ? Kenapa tidak turun ke
lapangan ?”, tanya beliau.
“Kami menunggu arahan, Pak. Meliput
UMKM yang bekerjasama dengan Diskop ada datanya sama Bu Endang”, jawab saya
memberanikan diri.
“Yah, cemananya kalian ini? Kalau
masih Kabiro juga yang mengarahkan kalian, kecil sekali lah. Inisiatif. Kan
kemaren kata Kak Eva ada Pameran UMKM di PRSU. Apalagi yang kalian bilang tidak
tahu mau meliput apa?”, kata beliau lagi.
Wah, sungguh itu kata-kata ringan
yang menusuk bagi saya. Tanpa berpikir panjang, apalagi memikirkan Surat Tugas
Liputan, saya akhirnya berdiri.
“Pak, saya gerak ke lapangan dulu”,
kata saya yang selepas kemudian meninggalkan dua teman saya di belakang.
Mereka mengikuti langkah saya ke
luar kantor dan kami berunding beberapa menit.
“Ka, aku enggak bawa motor hari ini.
Arum juga enggak ada motor”, kata Dea.
“Naik grabcar aja kita yok. Liputan
ke PRSU kan kita?”, tambah Dea.
*(PRSU = Pekan Raya Sumatera Utara)
Saya mengangguk cepat dan Dea
bertugas memesan GoCar.
Yang
penting liputan tentang UMKM. Udah titik, gak usah banyak tingkah,
pekik saya dalam hati dengan emosi tak karuan. Saya hanya tidak ingin dinilai ‘malas’
dan kurang tanggap dalam bertugas. Tapi, ini pelajaran buat saya. Besok harus
bisa cepat pelajari situasi kondisi dan alur bekerja disini.
Setibanya di PRSU, ternyata bukan
pameran seperti yang digambarkan oleh Kabiro di kantor tadi. Melainkan memang
sudah ada gedung Pusat Promosi dan UMKM yang baru didirikan Pemprovsu untuk
para pelaku UMKM.
Pukul 11.00 WIB kami mulai menunggu keramaian
di gedung tersebut. Namun, tidak berhasil banyak karena memang sepi sekali.
Bahkan, pelaku UMKM yang menjaga stan produk disitu pun hanya satu orang.
Terlihat juga masih banyak bagian-bagian gedung yang sedang direnovasi.
“Udalah, daripada tidak ada berita
sama sekali. Mending kita liput aja ini”, kata saya sambil menunjuk sebuah
stan produk lokal dari Batok Kelapa.
Ada seorang Ibu, Suami, dan anaknya
yang menggantungkan beberapa pajangan produk.
“Permisi, Bu. Perkenalkan, nama saya
Rizka, ini Dea dan Arum. Kami anak magang dari Kantor Berita ANTARA Sumut.
Ingin meliput produk Ibu. Boleh kami ganggu waktunya sebentar, Bu?”, tanya saya
dengan hati-hati.
Respon baik oleh si Ibu bernama Erlinda
tersebut. Kami pun mulai wawancara.
Habislah sekitar 1 jam bercengkrama
ramah dan ditutup dengan dokumentasi.
Saat Dea mewawancarai Ibu Erlinda (40), pengusaha UMKM Coco n' Art |
Saya pun membeli sebuah celengan dari
batok dan serat kelapa produk Ibu Erlinda sebagai bentuk apresiasi waktu yang
telah diberikan.
Kami pulang ke kantor menggunakan
fasilitas transportasi umum, Bus Damri.
Sangking kesenangannya, saya pun sibuk mengabadikan momen ketika naik bus. Maklum, keseharian saya naik motor kemana-mana. Terakhir naik angkutan umum pun waktu masih sekolah hehehe. Efek mungkin rumah jauh dari kota dan sulit mendapatkan angkutan umum dari rumah, maka alternatif cepatnya adalah dengan sepeda motor. Hemat uang bensin juga.
Sekitar pukul 3 sore, kami tiba di
kantor.
Setibanya, kami melihat Kabiro duduk di
ruang rapat utama dan kami memutuskan segera naik ke ruang redaksi di lantai 2.
Pak Munawar pun tiba di kantor tidak
lama setelah kami mengetik beberapa kalimat berita. “Yak, apa berita kalian
hari ini?”, tanya beliau dengan nada besar.
Singkatnya, Pak Munawar membantu
kami dan menjelaskan beberapa SOP disini.
“Jangan karena suara saya keras jadi
kalian tersinggung dan takut. Enggak, saya enggak marah. Ini memang suara saya
begini. Buat kalian juganya ini, bukan buat saya. Makanya, kerjalah dengan ikhlas. Karena jurnalis ini kan uangnya tak banyak.
Tapi memang kepuasan batinnya dapat,
jika kalian lakukan dengan hati”, jelas Pak Munawar.
Setelah ditatar habis-habisan dengan
beliau, kami pun mengerti ternyata pekerjaan ini tidak sembarangan. Kebenaran
harus tetap dikuak dan diluar sana kebenaran tengah dinanti untuk terus
diinformasikan.
Hari ini, saya mendapatkan pelajaran
:
1. Berani,
tanggap, dan inisiatif di lapangan.
2. Siap
mental kalau wartawan senior ngomong pakai nada tinggi. Itu tandanya mereka
sedang membagikan ilmunya. Telan sampai kenyang!
3. Tetap
gembira dilempar kemana saja dan apapun kondisinya. Dilarang keras mengeluh!
4. Tak
ada yang langsung hebat, semuanya dari bawah dulu. Belajar hidup susah, karena
belajar senang itu gampang.
5. Tetaplah
rendah hati. Kita gini mau sombong, memang kita ini siapa? Bukan siapa-siapa!
6. Kalau
ada yang memilih terjun di dunia ini agar terlihat keren, sungguh saya tidak
membenarkan hal demikian. Sebab, pekerjaan ini tidak main-main dan bukan semata
keren-kerenan.
Selain itu, hari ini kami pun resmi mendapatkan
Surat Tugas dan pembagian katalog produk UMKM yang akan kami liput beberapa
hari kedepan.
Day 4 (Hari Keempat)
Datang pukul 09.30 WIB. Buka kantor
dan baca koran. Laporan ke Kabiro, turun ke lapangan, balik ke kantor, menulis
berita, kirim ke redaktur, dan pulang ke rumah.
Hari keempat saya sudah menemukan
alur bekerja disini. Kurang lebih seperti yang saya jelaskan di atas. Ya, meski
masih baru, tapi disini dibina untuk berpikir cepat dan mengolah pikiran sebaik
mungkin. Karena kalau lambat sedikit saja, kita bisa ketinggalan.
“Pak, berita kami sudah naik
semalam, Pak”, lapor saya kepada Kabiro.
“Ohiya? Bagus itu. Mantap kan sudah
naik ke portal. Bisa jadi kalau berita kalian bagus, bisa naik ke nasional.
Lumayan kan nilai tambah. Nanti akan saya baca beritanya”, jawab Pak Suparmono.
“Apa berita kalian hari ini?”, tanya
Pak Suparmono.
“Saya akan meliput Rehani Collection
di Jalan Tuasan Krakatau, Pak”, jawab saya.
“Saya dengan Arum belum dapat, Pak.
Karena narasumber yang mau kami wawancarai sedang tidak bisa”, jawab Dea.
Tanpa menunggu lama, pukul 10.30 WIB
saya pun bergerak menuju lokasi dikarenakan sudah melakukan janji dengan
narasumber, Bu Rehani. Saya pun pamit
dengan Kabiro dan dua teman saya.
Ternyata sepulang saya liputan, dua
teman saya bercerita bahwa mereka mendapatkan tugas liputan ke Pasar Sambu.
Liputan tentang ‘monza’ (pakaian bekas dari luar negeri). Wah, keren sekali.
Cukup menantang.
Di hari keempat ini, berita kami
tidak lagi diperbaiki banyak oleh Pak Munawar. Paling masih dibantu untuk membuat
judul berita yang menarik. Ya, Pak Munawar tetap seperti biasanya memberikan
wejangan di sela-sela waktu sore itu.
Pelajaran yang saya dapat memang
sederhana. Hanya nasihat, tapi itu sangat berarti.
“Simpan
beritamu itu bukan di hape canggihmu, tapi di bukumu. Catat di buku kecil dan
rekam situasinya di kepalamu. Kalau mengandalkan hape canggihmu, apa bedanya
kau sama yang lain itu? Jadi, nanti biar kau yang pintar, bukan hapemu. Lima
tahun lagi pasti kau rasakan manfaat dari yang kubilang ini”
“Kalau
pun mau kau todong narasumber itu, etikamu tunjukkan yang manusiawi. Jangan
pula kau berkacak pinggang. Bukan hebat kau macem gitu. Gak dihargai orang kau
nanti. Kita harus tetap jaga sopan santun”
Day 5 (Hari Kelima)
Hari kelima tetap hadir ke kantor, baca koran, dan
laporan ke Kabiro tentang hasil berita kemarin. Alhamdulillah, berita saya
sudah naik 3. Meski masih sangatlah
sedikit, tapi itu memompa semangat saya untuk terus produktif. Silahkan dibaca hehehe.
Namun, kami yang masih canggung dan segan untuk memulai pembicaraan karena takut
terkesan mengganggu, alhasil kami bungkam pagi itu. Tenggelam dalam berita surat kabar yang
kami baca
Tiba-tiba,
Pak Munawar membuka dengan sentakan sapaan yang cukup kuat.
“Yah!
Kok diam-diaman kalian ini? Sudah laporan ke Kabiro tentang berita kalian
kemarin? Waaah, kalau saya-saya juga nanti yang ngomong duluan tentang kalian,
kapan kalian beraninya. Ngomonglah, bilang sama Kabiro”, kata Pak Munawar di
depan Kabiro.
Saya,
Dea, dan Arum mulai pandang-pandangan. Siapa
duluan yang ngomong?, begitulah arti dari isyarat mata kami.
Akhirnya,
Dea mulai bicara.
“Hari
ini saya mau meliput di sekitaran Lapangan Merdeka Medan, Pak”, kata Dea.
“Kalau
saya hari ini ke Ringroad, Pak”, tambah saya.
“Saya
hari ini ke daerah Danau Siombak, Pak”, tambah Arum lagi.
Tepat
pukul 11.00 WIB, saya pun izin duluan karena sudah janji dengan narasumber, Bu
Lidya Panggabean seorang pengusaha muda.
Cobaan di hari kelima ini adalah
ketika tiba di Ringroad dan ternyata narasumber saya sudah pindah rumah sejak
bulan 4 lalu ke daerah Jalan Bilal Ujung No.169, Brayan.
Usai membaca pesan dari narasumber,
saya langsung menelan ludah. Siang itu pukul setengah 12 siang. Sebentar lagi
terik matahari akan bergerak tepat di atas kepala saya.
Luar
biasa. Dari ringroad ke brayan bisa makan waktu hampir 1 jam. Belum lagi saya
harus cari rumahnya”, kata saya dalam hati.
Baju saya mulai basah, keringat saya
bergumul di dalam jilbab yang ketutup dengan helm, dan kulit tangan saya terasa
terbakar karena saya lupa pakai sarung tangan. Tak apa, semua pasti terlewati.
Dan saya menggunakan bantuan peta elektronik (Google Map) untuk menuju lokasi. Pukul 12.30 WIB saya tiba di
rumah Bu Lidya dengan kondisi kehausan hehehe. Untunglah saya bawa minum dari
rumah. Sembari menunggu Bu Lidya di ruang tamunya, saya meneguk setengah botol
air minum.
***
Hari ini, saya kembali ke kantor
agak lama. Karena saya harus ke kampus siang itu setelah saya mendapatkan pesan
dari Kak Maya (administrator jurusan) via Whatsapp.
Dek
Rizka, ada undangan dari DAAI TV untuk Rizka, begitu isi
pesannya.
Ya, saya ke kampus untuk mengambil
undangan dari sebuah stasiun televisi swasta lokal di Medan. Dalam rangka ulang
tahun media tersebut, Alhamdulillah saya diundang hadir. Jadi, undangannya langsung
diantar ke jurusan.
Rasa rindu saya dengan kampus pun
mendorong kuat keinginan saya mampir sebentar kesana. Tak terasa, sudah 3 tahun
saya menimba ilmu di kampus tercinta. Biasanya setiap ke kampus, wajah
teman-teman selalu menyapa mulai dari di parkiran sepeda motor sampai menuju
kelas. Tapi siang itu tidak seperti biasanya. Teman-teman juga sedang berjuang
di tempat PKL masing-masing. Alhasil, saya langsung ke Departemen Komunikasi
dan bertemu dengan Kak Emilia, dosen sekaligus Sekretaris Departemen terpilih baru-baru ini.
Tanpa segan, saya pun minta izin untuk
makan siang di ruangan Departemen. Sudah seperti rumah bagi saya. Sambil
menikmati nasi bungkus dengan lauk ayam semur sebagai menu makan siang,
saya pun berbincang dengan Kak Emil. Ya, suatu nikmat yang tak pernah membuat saya
menyesal ada disini adalah kekeluargaan. Beda sekali cara mereka mendidik kami. Layaknya kakak dan adik, bukan seperti guru dan murid. Asal tetap sopan dan tahu batasan.
Usai sholat Dzuhur di mushollah kampus,
saya pun membantu pengumpulan jurnal senior karena kebetulan saya diamanahkan
menjadi Pengurus Jurnal Flow Komunikasi. Jadi, mahasiswa yang sudah wisuda dan
ingin mengambil ijazah harus mengumpulkan jurnal terlebih dahulu sebagai
syaratnya.
Jam setengah 4 sore, saya kembali ke
kantor. Dea, Arum, Pak Munawar, dan Pak Juraidi, sudah di ruang redaksi dengan
raut wajah serius menulis berita. Saya memelankan langkah kaki agar tak
mengganggu konsentrasi mereka dan langsung mengeluarkan laptop.
Tak lama kemudian, Pak Irwan datang
dan duduk selisih satu meja dari depan saya.
“Apa berita kalian hari ini?”, tanya
beliau.
Kami bergantian menjawab.
“Sudah selesai beritanya? Kalau
sudah, kirimkan ke email saya. Saya mau periksa berita kalian”, tambahnya.
Debar jantung saya ketika mengklik ‘Send’ pada kotak pesan baru di email.
Alhamdulillah, respon Pak Irwan
sangat baik. Beliau pun mulai memperbaiki bagian-bagian yang kurang pas.
“Tulisan kalian ini sudah bagus
sekali untuk taraf pemula. Pastikan di alinea 1,2, dan 3 sudah menjawab
pertanyaan 5W dalam ketentuan menulis berita. Sudah,
sudah mantap ini. Teruskan ya. Belajar terus untuk menambah kosakata agar
tulisanmu lebih luwes”, kata Pak Irwan.
Kalau
katanya pujian bisa membuat seseorang melambung dan berbunga-bunga, tapi tidak
dengan pujian ini. Saya tidak merasa ingin terbang usai mendengar kata-kata Pak
Irwan. Justru, saya semakin terpompa lebih semangat. Pujian justru membuat saya
harus lebih bertanggungjawab pada apa yang saya liput dan tulis. Ah, semoga
semangat ini tidak luntur bahkan terus meningkat sampai seterusnya.
Terima kasih, Pak Irwan. Saya sangat
mengapresiasi cara Bapak mendidik kami.
Berikut di bawah ini adalah hasil liputan hari
kelima. Di berita kali ini, saya tandem dengan Pak Irwan. “Saya
ambil beritamu ya”, katanya.
Sebenarnya
saya tak paham maksudnya apa hahaha. Selama itu baik, tak masalah menurut saya.
Tapi melihat ekspresi wajah saya bingung setelah mendengar kata Pak Irwan,
langsung Kak Eva angkat suara.
“Kalau tulisanmu
bagus dan nilai beritanya luas, bisa naik jadi berita nasional di
antaranews.com”, katanya.
Oooh
begitu toh, jawab saya
dalam hati yang kemudian hanya bisa terealisasi dengan anggukan kepala. Belum
cukup berani saya bersuara banyak.
Ya, sebelum saya tutup cerita #PKLSeries Day 1-Day 5
berhubung Sabtu tidak masuk kantor (hasek, gaya bangetlah cara ngomong Rizka
ini. Sok berasa uda jadi wartawan ANTARA aja yaelah Amin-kan ajayaaa hehehe),
saya akan kasih poin pentingnya.
“Baca
koran setiap pagi sebelum berangkat ke lapangan. Jadi tahu situasi terkini”,
kata Pak Munawar yang menjadi wartawan pertama yang datang setiap pagi.
“Wartawan
itu harus kritis, teliti, dan detail. Harus berprinsip dan berpegang teguh pada
kode etik jurnalistik supaya tidak gampang diadu domba saat di lapangan.
Belajar ilmu lapangan itu tidak gampang. Perlu kebiasaan dan keikhlasan”, kata
Kabiro ANTARA Sumut, Pak Suparmono.
“Yang bisa membuatmu cepat berkembang adalah pengalaman
dan relasi. Pengalaman, mengajarkanmu banyak hal tentang kehidupan dan beragam
watak orang sebenarnya. Relasi, mendorongmu semakin dekat dengan kesuksesan dan
profesionalisme. Yang penting diingat, berteman dengan siapa saja boleh, tapi
tetap berhati-hatilah”, kata Bu Lidya Panggabean,
narasumber saya di liputan hari kelima.
***
Terima kasih untuk seminggu ini.
Semoga minggu kedua, ketiga, dan keempat, berjalan lebih baik. Tetap semangat
dan sampai jumpa di #PKLSeries berikutnya.
Setiap
pekerjaan punya resiko. Sekalipun itu pekerjaan yang membuat badanmu bau
matahari, tak jarang menemukan kecaman, dan tidak membuatmu kaya secara
finansial, tetap kerjakan dengan hati tulus dan ikhlas. Jadilah manusiawi.
-Rizka Sitanggang-
4 komentar
Bacan tulisan ika berasa lagi nebeng magang di Antara tapi pake mode invicible ���� insyaallah berkah sampe hari terakhir, ditunggu cerita selanjutnyaaa ❤
BalasHapusWaah, makasih banyak Ditaak. Semoga bermanfaat ya dan dimudahkan urusan PKL-nya juga segera. Jazakumullah ^^
HapusKak Rizka, semoga lancar sampai hari terakhir ditugaskan PKL ya. Selalu suka dengan tulisan kakak, dan insyaaAllah jadi pembaca setia. ❤
BalasHapusAmiiin ya Rabbal A'lamiin. Makasih banyak Mbak Dev. Semoga bermanfaat ya. Jazakumullah ^^
Hapus