Memahami Virtual Diri di Angkasa Bawah Langit

Maret 19, 2017




Kita sepakat untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bukan lantaran habis pahit sepah diperas. Melainkan karena sebuah kecelakaan nurani antara diri sendiri dengan visi misi menjadi manusia. Hingga sampai di tahap aktualisasi diri, tidak sedikit yang harus kita korbankan. Banyak diam, banyak melihat, banyak mendengar, sedikit bicara, sedikit protes, sedikit mengeluh. Tambahkan lagi sering menggunakan kata tanya “bagaimana” untuk sebuah solusi ketimbang “mengapa” untuk menggunduli pikiran dengan sejuta akar-akar yang sebagiannya tidak perlu kita ikut campur tangani. Sungguh, menyelesaikan tulisan ini saja aku harus mengontrol emosi. Tidak bisa aku pungkiri bahwa otakku punya sejuta rasa yang ingin aku sampaikan. Hanya untuk sekadar melunasi tanggung jawab moral sebagai seorang yang berprasangka, berperangai, dan berperasaan. Tak khayal aku juga sering mendengkur dalam diam-diam membaca (saat momen yang kusebut me time menjadi keranjingan untuk stimulasi diri). Ini semakin tercermin dari hari ini, dimana aku dengan dua orang teman melakukan pertemuan bak orang penting, padahal cuma mau menyelesaikan tugas kuliah.

Tidak tahu mengapa pada akhirnya perbincangan yang diawali tentang “mengapa konsumen atau pelanggan didasari oleh anak-anak muda yang girang melihat tempat nongkrong bak surga internet itu?”, hingga menjalar kepada kekurangan-kelebihan atas perangai di perjalanan akademik kami. Cepat aku tertegun.

“Kami dulu benci lihat kau. Karena kau dulu sombong.”

Dadaku panas, mataku perih, batinku teriris, nuraniku kecewa. Sepanjang perjalanan hidup, boleh jadi ini kali pertama pernyataan ini begitu mengenaskan karakterku. Aku merasa bersalah dan gagal telah menjadi pemimpin untuk diri sendiri. Ketika hampir sebagian hal terasa semakin baik dan baik-baik saja, justru ada macam orang-orang yang gigih memperhatikan karakter ini. Allah, aku ingin sekali menangis sore tadi.

“Apa alasan kalian menganggap aku memiliki perangai sombong?”

Pertanyaan itu aku utarakan kali ini. Dengan lugas juga pernyataan kemudiannya membuatku ingin menceletukkan diri. “Hanya karena kau dulu terlihat begitu sibuk. Seolah-olah kesibukanmu itu menandakan bahwa kau orang yang begitu sangat penting atau mungkin sangat pintar”. Aku memutar ingatan sedikit dan baru menyadari bahwa saat masa-masa aku pernah menjadi klien dalam sebuah tugas panjang beberapa mantan senior kampusku. Itu memakan waktu 4 bulanan yang seolah-olah menyulapku bak artis sedang naik daun. Kalaulah boleh pada kesempatan ini aku berkata sejujur-jujurnya, sungguh aku tidak menginginkan hal itu dinikmati orang-orang. Untuk apa ? Supaya aku terlihat lebih eksis ? Bahkan untuk memimpikan namaku disebut-sebut di berbagai media cetak, siar, dan  online, tidak pernah terlintas dalam bunga tidurku. Apalagi harus menjadikan itu sebagai sebuah keharusan yang mengikat nama baik dalam sebuah riwayat hidup atau CV untuk melamar pekerjaan. Menjadi orang tenar ? Jangan salah kaprah, Kawan. Itu tidak pernah terlintas.

Lalu, bulan-bulanan itu aku telan pahit-manis-asam-asin, lantaran sudah mengiyakan kerjasama dengan mantan senior kampusku itu. Niatnya adalah hanya untuk sekadar membantu tugas mata kuliah mereka. Tidak ada yang patut disesalkan. Dengan begitu juga, aku patut mengucapkan terima kasih karena telah menghadirkan pengalaman dan membuatku memperbaiki perangai ini hari demi hari. Tidak ada juga cara yang salah, selagi itu mampu membuat orang lain tidak menjadi “pengulangan”-nya. Hidup ini tidak elegan bila hanya disusun seperti cerita telenovela. Berkesinambungan hingga si pemeran utama mengalami masa-masa kritis. Kemudian di akhir ceritanya ada dua plot. Kalau bukan si pemeran utamanya meninggal akibat kondisi kritisnya, atau malah hidup bahagia sebab penyelamat hidupnya hadir di detik-detik akhir dan merubah segalanya. Seperti Cinderella, happily before after. Itu bacaan zaman kanak-kanakku.

Hingga pada detik ini-menulis tulisan ini,  aku masih terngiang dengan kata-kata teman sore tadi. Itu seperti pahaku yang terkena knalpot panas sepeda motor Ayahku dulu saat kecil. Perih dan mengoyak. Namun, aku tidak menyalahkan pandangan siapapun termasuk seorang teman sore tadi. Dia bahkan siapapun yang pernah menjadi bagian hidupku, pantas memberi komentar apapun. Kita punya 5 panca indera. Utamanya adalah kita diminta untuk menggunakan kepekaan pada setiap indera-indera itu. Peka.

Tidak ingin aku melirihkan diri hanya untuk membuatku tidak “membenarkan” kritik dan sarannya. Boleh jadi, itu memang benar-benar ada pada diriku dan aku tidak menyadarinya. Banyak macam cara Allah menghadirkan tegur-sapa untuk sesama umat. Bilamana kita anggap baik, maka baiklah ia. Jika sebaliknya, maka itulah yang akan terjadi pada kita. Berpikirlah sebaik-baik kita mengharapkan niat baik kita berjalan sesuai skenario yang kita inginkan. Ikhtiar dan kemudian serahkan hasil perjuangan kita hanya pada-Nya. Jika pun di tengah jalan ternyata ada batu dan tak sengaja kau tersandung, lantas perih, maka kusarankan janganlah sampai menggerutu. Pindahkan batu itu ke sisi yang lebih aman agar kemudian jika ternyata ada orang lain yang menggunakan jalan setapakmu itu di hari lainnya, ia tidak akan mengalami hal serupa. Setidaknya, kita berupaya memperbaiki diri dan membantu orang lain untuk menjadi baik bersama kita, tanpa harus membuatnya mengalami “pahit dahulu kemudian berubah”.

Tulisan ini aku hadiahkan sebagai ucapan terima kasih bagi orang-orang yang senantiasa mengingatkan. Tidak ada saudara yang lebih baik daripada kerabat yang tidak lupa menegur untuk menjadikan diri ini tidak “melupa” atau melulu lupa. Tanpa aku sadar atau tidak, mungkin kata-kata dan tulisan-tulisanku seperti menggurui teman-teman atau bahkan senior-senior kampusku. Sematanya, Allah Maha Tahu ketimbang hamba-Nya. Maka, aku lirih menghaturkan permohonan maaf pada kesempatan kali ini. Lillahi Rabbi, semoga niat dan pencapaian kita untuk menjadi “benar-benar” manusia,  semakin dikuatkan. Ini kedepan, jika aku melakukan kesalahan atau apapun yang menyinggung hatimu Kawan, tolong ingatkan dengan versi terbaikmu. Bila pun versi menegurmu sampai menyikut lubuk hatiku, Insya Allah aku akan terus belajar ikhlas dan berpikir terbuka.

Untuk masa-masa awal pengenalan ada yang ragu atau malah sempat berpikir bahwa aku ini sombong atau apalah itu, semoga ada cara lain untuk kita saling duduk dan berbincang bersama. Supaya kita tahu bahwa duduk lebih dari 1 jam dengan orang baru (lawan bicara), akan membantu kita mengurangi persepsi buruk dan menabung persepsi baru (Insya Allah itu baik) terhadapnya. Kita sama-sama memantau satu sama lain. Jangan biarkan persepsi kita mengerubungi corong pikiran untuk terbuka dengan siapapun.

“Boleh jadi apa yang baik selama ini menurut kita, belum tentu baik di mata Allah. Sungguh, Allah memberikan apa yang kita butuhkan, tidak sekadar apa yang kita inginkan. Ada hadiah bagi yang senantiasa bersabar dan ikhtiar dalam hal apapun”

Bantu aku menjadi lebih baik!

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar