Menulis, Suatu Cara Untuk Bicara

Januari 24, 2016

Menulis adalah suatu cara untuk bicara, suatu cara untuk berkata, suatu cara untuk menyapa—suatu cara untuk menyentuh seseorang yang lain entah di mana. Cara itulah yang bermacam-macam dan di sanalah harga kreativitas ditimbang-timbang. Sebenarnya menulis itu sama dengan berbicara, hanya saja itu kamu catat. Dengan satu kata 'menulis', akan kamu temukan titik peduli dan kadar mencinta seperti apa layaknya manusia normal. Itu terekam semua di dalamnya. Two in one, kunamai. Komposisi jelas dan tidak berasa berkurang karena saling melengkapi antara dua itu. Sama seperti minum kopi, temukan letak pahitnya maka songsong pikiranmu mulai berkutat memahat kata-kata bagus untuk para peminum berikutnya. Dan komposisi itu akan menemukan titik sempurna jika kamu ada di dalamnya. Testimoni pun dirangkap.

Menulis itu mudah. Tapi bagaimana agar tiap huruf berarti dan bisa membuat pembacamu bergerak ke arah yang lebih baik, tanpa kau gurui. Sama seperti ketika kamu melakukan hal yang disukai, meski itu berat tapi tetap saja ada nelangsa ikhlas sehabisnya. Menurutku, saat itu wawasan dan hatimu sedang bergejolak bersamaan. Segala sesuatu yang dilakukan dengan kombinasi wawasan dan hati, setidaknya itu langkah awal untuk mencerdaskan dan terpahat sampai ke hati-hati lainnya. Kalau pun hati saat itu sedang terluka, ia bisa menjadi penyembuh lukam. Karena ada kesakitan yang sembuh ketika menulis.

Bila kau bertanya mengapa aku sanggup berkata demikian, sebab itulah nyatanya. Kubaca beberapa referensi dari novelis-novelis ternama hingga sastrawan yang membosankan kata-katanya bagiku. Cuma diawal, ke belakang justru semakin cinta. Seperti kisahnya salah satu novelis Indonesia yaitu Ibu Helvy Tiana Rosa (saudara dari novelis Asma Nadia). Ibu Helvy pernah ditanya tentang alasannya mengapa ingin menulis. Habis kubaca kisahnya, nyata alasannya pun sama denganku. Ingin selalu mendekap yang dicinta dengan erat lewat kata-kata.

Menulis adalah sebuah keberanian. Berani untuk menuntut diri supaya enggan bungkam. Ketika hati harus terbungkam, maka sastra dituntut untuk berbicara. Hal sederhana dalam hidup manusia adalah membaca, menulis dan berdoa. Bagiku, itu ketiga hal yang menjawab. Jawaban untuk sebuah pengakuan, bahwa yang sederhana itu tidaklah murahan.

Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini, suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhanan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan. 

Bicara tentang sebuah keberanian, kalap tak lepas dari sebuah kekuatan. Belajar tentang keberanian dan kekuatan. Karena ada begitu banyak nikmat yang akan Allah berikan, jika kita berjuang untuk bangkit dan melawan ketakutan diri sendiri. Kembali tentang sebuah ketulusan sering diartikan dari pemahaman lima indera. Yang paling dominan adalah mata. "Andai matamu melihat aku, terungkap semua isi hatiku", seperti tertulis dalam salah satu lirik lagu dari band asli Indonesia. Jauh ketika melalui pengamatan, akan terungkap sebuah fakta bahwa apa yang tertulis adalah apa yang dirasakan. Lebih bermakna dari hanya sebuah tatapan. Saat mata bisa berbohong, maka tulisan tidak.

Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.

Ambil saja dari bagianku. Awal karir menulis itu karena sejatinya ada luka. Sejak menulis, aku merasakan itu terkikis sedikit demi sedikit. Aku tak butuh menghabiskan banyak uang di tempat mewah lalu bermain dan tertawa, habis itu lupa. Cukup bagiku, menulis. Suatu cara untukku berbicara. Pada masa lalu, masa sedang berlangsung dan masa depan. Padamu yang pernah kucinta, yang sedang kucinta dan yang akan kucinta hingga akhir.

Setiap kali menulis, semua peristiwa terasa dekat kembali, seolah aku mengalaminya lagi. Sungguh sangat nikmat. Untuk pertama kalinya aku mengikhlaskan apa yang aku alami. Untuk pertama kali aku memahami dan menerima dengan hati bahwa apa yang aku inginkan tak selalu menjadi kenyataan. Ada kekuatan yang Maha, yang menentukan ujung semua jalan. Ada pelajaran-pelajaran yang ingin Ia sampaikan dengan cara-Nya sendiri. 

Lepaskanlah, maka semoga yang lebih baik akan datang. Lepaskanlah, maka semoga suasana hati akan menjadi lebih ringan. Sosok laki-laki di masa silam itu, ingin kuajak bicara melalui tulisan ini. Aku takkan menyamaratakan, sebab lelaki yang baik akan selalu ada. Dunia tidak akan kehabisan orang-orang baik.
Semoga dia mengetahui, bahwa aku pun mendoakan bahagianya. Kenangan adalah bukti terbaik untuk mengatakan tidak ada yang utuh di bumi ini, bahkan kehilangan. Cukuplah doaku yang tahu betapa aku telah mengikhlaskan. 

Jadi, tulislah sesuatu yang mudah, yang dikuasai, dan yang sederhana. 
Karena menulis, suatu cara untuk bicara.


"Kau menulis. Maka suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari."
(Pramoedya Ananta Toer)

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar