Usia 25 tahun. Jika biasanya aku membuat deretan resolusi setiap memulai tahun yang baru, nampaknya kali ini aku tidak seambisi tahun-tahun sebelumnya. Tidak seperti orang-orang (mungkin) yang ketika usia bertambah, resolusi hidupnya pun lebih banyak. Resolusi hidupku justru makin sedikit. Paling banyak hanya 5 saja untuk tahun ini.
Pertama, menyelesaikan studi magister tepat waktu. Kedua, fokus menekuni passion sebagai pendidik. Ketiga, menabung lebih konsisten. Keempat, membuat blok terpisah antara pekerjaan dan keluarga. Kelima, menikah (?). Untuk resolusi nomor 5 sifatnya kondisional. Jika sudah bertemu orang yang tepat, yang sevisi misi serta saling mendukung untuk terus berkarya dan bermanfaat dalam aktualisasi diri.
Walaupun sebenarnya nggak ada tuntutan juga dari keluarga untuk harus menikah di usia 25 tahun kalau memang belum menemukan orang yang tepat. Yang tepat ya, bukan yang sempurna karena pastinya nggak ada manusia sempurna.
Keluarga selalu berpesan, jangan gara-gara umur, lalu buru-buru. Setiap orang fasenya nggak sama, kesiapan kita di mata Allah pun beda-beda. Dan sejatinya nggak ada tuh istilah 'nikah muda' atau 'nikah tua'. Lakukan apa yang sebaiknya dilakukan, beresin apa yang perlu diberesin biar nggak jadi penyesalan atau ungkitan buruk di kemudian hari. Toh, hidup nggak cuma soal mikirin nikah doang, tapi nikah juga perlu dipikirkan. Intinya, jangan gegabah dan libatkan Allah dalam setiap pilihan yang hadir sekali pun jika pilihan yang datang hanya satu.
Aku ingat, seorang murobbi zaman liqo di kuliah S1 dulu pernah menyampaikan 5 poin penting tentang jodoh menurut Al-Qur'an:
1. Memiliki sifat yang mirip (An-Nur: 26)
2. Diterima oleh keluarga (Asy-Syura: 11)
3. Memberi ketenangan (Ar-Rum: 21)
4. Mampu memahami (Al-Furqan: 74)
5. Memberikan rezeki yang baik (An-Nahl: 72)
Hehe, oke itu intermezzo tipis-tipis saja seputar resolusi kelima. Memang bahas soal jodoh itu nggak ada habisnya dan bukan kapasitasku juga membahasnya terlalu dalam. Biarlah itu menjadi rahasia yang akan terjawab di waktu yang tepat. Tapi lihat, tidak ada yang begitu membuncah dari kelima resolusi di atas, kan?
Pada dasarnya, aku sangat antusias menyambut usia 25 tahun yang menurut pendapat sebagian orang ialah usia seperempat abad yang penuh tantangan. Terjal, berbatu tajam, penuh luka, namun jika mampu melewatinya akan meningkatkan kedewasaan diri. Aku sendiri pun tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, ya setidaknya satu tahun ke depan.
Banyak orang memberi saran, "Rizka, bisakah kamu membuat planning atau resolusi lagi seperti dulu?". Aku tersenyum lalu berkata, "Ya bisa, tetapi hanya untuk pekerjaan atau hal yang sifatnya profesional". Sementara buat kehidupan sehari-hari, aku memilih untuk menjalaninya saja sesuai rencana Allah, akan lebih indah dan berwarna.
Bagiku, kehidupan akan lebih bermakna saat aku tidak mempunyai ekspektasi apa-apa. Kalau rezeki tentu saja Alhamdulillah, kalau enggak pun ya sudah tidak apa-apa. Itu dijadikan pengalaman berharga. Kuncinya bersyukur dan menaruh harapan hanya pada Allah. Aku nggak muluk.
Well, banyak yang mau disampaikan di tulisan kali ini. Tapi kayaknya dicukupkan sampai sini dulu ya. Mungkin kalau ada waktu, ceritanya bisa disambung Part 2. Semoga aku mampu ya melewati 25 tahun dengan baik, walaupun namanya hidup tetap saja ada yang 'asdfghjkl' hahaha. Sampai ketemu di cerita-cerita kontemplasi berikutnya.
Salam dariku,
Si Rizka yang memasuki usia 25 tahun (cieee met yaw).
Sama halnya dengan perpisahan dan kepergian orang terkasih. Banyak angan-angan yang ingin dilukis bersama mereka. Dan siapa sangka, semua ambruk begitu saja saat Allah meminta ia kembali ke pangkuan-Nya. Nyata memang kuasa-Nya. Tak seorang pun yang tahu kapan dan apa yang terjadi pada hidupnya sendiri.
Bicara soal mengikhlaskan, ini nampaknya agak rumit. Aku sendiri yang mengaku diri telah dewasa, belum sepenuhnya paham tentang mengikhlaskan. Entah karena masih terlalu duniawi, aku terkadang merasa ada hal-hal tidak adil pada serangkaian niat baik. Namun setelah dijalani, barulah mengerti, "oh ternyata ini maksudnya". Dan seringkali menyelamatkanku dari hal-hal buruk yang tak terpikir sebelumnya. Bersyukur? Tentu saja sangat bersyukur.
Begitu memang cara Allah menyadarkan hamba-Nya. Bukan hanya dari yang tak disukai, bahkan lewat sesuatu yang amat diinginkan. Manusia menyebutnya "Allah telah merampas keinginanku", padahal sebenarnya "Allah telah mengganti keinginanmu, sungguh semata agar kau selamat".
Sampai detik ini, aku terus belajar mengikhlaskan dan ini pelajaran yang tak pernah selesai. Seperti halnya soal ujian, tingkat kesulitannya selalu berbeda. Kadang kala, saat semua terasa seperti tak ada yang bisa diperbuat lagi, aku cuma bisa meratapi diri sendiri. Bukan merasa buruk, tapi bertanya, "kamu kenapa, Riz? kok susah sekali buat ikhlas?"
Kalau orang-orang bilang, "kamu kan udah gede, masa buat ikhlas aja susah? itu artinya ego kamu masih besar, itu tanda kamu belum dewasa". Maaf sungguh aku minta maaf, kadar dewasa seseorang bukan dilihat dari satu-dua hal yang ia hadapi dalam kesehariannya. Kedewasaan seseorang itu dilihat dari cara dia menempatkan diri di setiap situasi.
Jika kamu mengatakan seseorang belum dewasa hanya karena dia belum ikhlas, menurutku kamu belum mengenalnya lebih dekat. Sedewasa apa pun seseorang, pasti selalu ada titik di mana ia butuh waktu untuk merelakan sesuatu yang ia pikir miliknya tapi ternyata bukan.
Saat dia bicara pada dirinya sendiri, sejatinya itu salah satu bentuk kedewasaan. Hanya, dia berusaha mencari cara untuk bangkit dan terlihat baik kembali. Bukankah pulih itu butuh waktu?
Di usia 24 tahun -ketika menulis ini-, aku sadar betul ada begitu banyak keinginan lama yang pada akhirnya diikhlaskan. Namun entah bagaimana, semakin ke sini, karena 'terbiasa' mengikhlaskan itu membuat diri sendiri enggan terlalu berharap. Pada apa dan siapa pun.
Ya, apalagi berharap pada manusia. Karena tahu betul hati sendiri sangat rapuh, maka kuputuskan untuk tidak berharap pada manusia untuk urusan apa pun. Sekiranya sesuatu bisa kukerjakan sendiri, itulah yang diupayakan. Kalau memang sangat butuh bantuan, aku menjadi orang pemilih.
Bukan hanya memilih yang sepemahaman, tapi juga yang tulus. Dan itu rasanya semakin sulit karena seiring bertambah usia, circle pertemanan semakin sempit. Sekarang, kuantitas tak menjamin kualitas. Memang lebih menyenangkan punya teman banyak, tapi bukankah lebih nyaman berada di sekitar orang yang memang mengerti kita? Bahkan, saat kita hanya bisa bercerita lewat diam.
Semoga aku dan kamu -siapa pun yang membaca ini- termasuk orang yang selalu belajar mengikhlaskan dari hal kecil. Lalu ketika sesuatu terjadi tidak sesuai harapan, jangan salahkan diri. Justru berterimakasih karena sudah berjalan sejauh ini.
Bicara soal peringatan dan perayaan, saya sebetulnya tidak begitu tertarik. Memang, selama ini bahkan sejauh ini, di depan teman-teman, saya kerap berlagak happy ketika ada satu hal yang perlu dirayakan, misalnya saja "Perayaan Ulang Tahun". Tapi, andai mereka tahu, nyatanya di dalam hati saya tidak sesenang itu hehe.
Artinya, saya pura-pura? Hmm, mungkin sedikit saya benarkan. Berhubung, lingkungan orang-orang terdekat saya begitu gegap gempita menyambut momen seperti itu. Meski bagi beberapa orang, perayaan tidak melulu soal happy-happy, ya. Karena mungkin sebagian orang menganggap itu momen kumpul bersama. Ya tidak masalah, kok.
Begitu pula saya. Kepura-puraan saya selama ini di depan para teman ketika ada yang berulang tahun, sejatinya bukan untuk hal senang-senang. Tapi, karena saya menghargai betul momen baik itu. Momen saat saya bersama teman-teman sefrekuensi.
Bagi saya, kebersamaan seperti itu yang perlu dimaknai, bukan perayaannya. Karena, tidak ada yang pernah tahu kebersamaan bisa dilalui sampai kapan dan seberapa sering. Ujungnya, perpisahan juga yang menjadi 'batas'.
Ya biarlah, kepura-puraan itu menjadi urusan saya pribadi. Selama orang-orang di sekitar saya merasa baik, saya ingin mereka juga merasa nyaman dengan keberadaan saya. Bila 'perbedaan' cara pandang saya dalam memaknai hari lahir itu terlampau jauh berbeda, saya khawatir hanya menjadi alien di lautan manusia. Dan saya tidak ingin seperti itu.
Mengapa demikian? Sikap saya ini sebenarnya berangkat dari nasihat seorang mentor saya. Kebetulan, beliau adalah seorang peneliti dan psikolog. Suatu hari, beliau sempatkan menemui saya di salah satu sudut meja makan ketika satu kegiatan mempertemukan kami bersama.
Waktu itu, lama kami saling bertukar cerita lantaran lama tidak bersua. Sambil menunjukkan respon ekspresif sebagaimana yang kalian tahu tentang saya, beliau tiba-tiba tersenyum simpul pada satu pernyataan tentang keheranan saya melihat orang-orang yang saya temui sampai detik itu.
Dengan nada suara rendah, beliau bilang, "Rizka, saya senang sekali dengan perubahan sikap, pola pikir, cara pandang, sampai ilmu-ilmu baru yang berhasil kamu serap dari pengalamanmu. Kamu lebih dewasa dari usiamu seharusnya. Wajar, itu semua karena latar belakang keluarga dan perjalananmu yang tidak mudah."
"Tapi Rizka, apa-apa yang kamu pikirkan tentang perbedaan setiap orang, itu bukanlah kapasitasmu. Tentang orang-orang yang menurut kamu masih senang merayakan ini-itu di usia mereka yang seharusnya tak lagi begitu. Semua itu bukan kapasitas kamu."
"Terlampau diikuti, hanya akan membuat kamu menjadi alien. Dampaknya, kamu nanti jadi tidak punya teman. Jadi, kontrol egomu, lihat kondisi di sekitar. Bila masih bisa dimaklumi, maklumilah. Jangan ambil pusing, ya."
Kurang lebih intinya demikian yang beliau sampaikan. Saya pribadi tertegun. Bukan tidak terima, bahkan sangat legowo mendengar nasihat beliau. Saya diajak berpikir berkali-kali, tentang bagaimana pula saya di hadapan banyak orang.
Ah, pastinya banyak keanehan dalam diri saya yang mungkin orang tidak mau repot mengurusinya, alhasil mereka diam saja. Lantas, mengapa saya berani ikut campur tentang cara mereka menjalani hidup? Saya tidak punya hak sama sekali untuk itu.
Saya, manusia biasa. Bukan orang yang berhak menempatkan standar penilaian saya untuk orang lain. Begitu pula orang lain, tidak berhak menempatkan standar penilaian mereka pada saya.
Setiap orang selalu punya standar penilaian sendiri dan tidak seorang pun dari kita -yang mengaku manusia- bebas sesukanya mengubah poin dari standar tersebut. Dan standar itu sifatnya relatif, seperti halnya cantik-jelek, baik-buruk, mahal-murah, dan lain-lain.
Perihal perayaan dan peringatan, saya tak hanya punya standar, tapi juga prinsip. Bagi saya, perayaan dan peringatan bukan cuma soal waktu, tapi juga keberlanjutan.
Ya memang, saya begitu senang dengan hal-hal jangka panjang. Karena itu, saya memilih prinsip untuk memaknai perayaan dan peringatan lewat kesederhanaan cara berpikir saya.
Lebih tepatnya, menyederhanakan pikiran supaya saya tidak menyulitkan diri sendiri dan orang-orang di lingkungan sekitar saya. Jadi, bantu saya memahamimu, ya. Siapa pun kamu.
Tidak apa-apa. Jika sekarang kau
rasa rezekimu masih terasa kurang, susah dapat uang, atau mungkin usahamu
sedang sepi, mungkin Dia sedang melunakkan hatimu. Ya, agar nanti ketika sudah
berlebih rezekimu, hatimu tidak keras untuk mau membagi rezekimu ke siapa saja
yang membutuhkan. Tentu, oleh karena kau pernah berada di posisi mereka dulu.
Tidak apa-apa. Jika Dia
mengizinkan, sabarmu ini akan membukakan pintu-pintu rezekimu di lain hari
nanti. Mungkin memang bukan rezeki yang banyak, tapi yang pasti itu adalah
rezeki-rezeki yang baik.
Tidak apa-apa. Apapun pekerjaan
yang kau miliki, sadar tidak sadar, pekerjaanmu itu adalah jawaban dari doa
dirimu sendiri, diri sebelumnya. Pun, pekerjaanmu sekarang adalah buah dari
upaya-upayamu sebelumnya.
Tidak apa-apa. Toh, di luar sana
ada banyak sekali manusia yang menginginkan, berusaha dan berdoa, untuk bisa
memiliki pekerjaan yang kau miliki. Percayalah.
Tidak apa-apa. Daya juang bekerja
dalam hidup itu pentingnya luar biasa. Tiap kali kau menelan ketidaknyamanan, kau
sedang menjadikan dirimu lebih kuat, lebih hebat, lebih bijak, dan dewasa.
Tidak apa-apa. Segala sesuatu
yang dikerjakan sungguh-sungguh selalu akan bermakna besar dan sungguh-sungguh
dapat membuat seseorang menjadi besar. Itu benar.
Tidak apa-apa. Sesekali kau ingin
tertawakan semuanya juga boleh, asal bukan hidup yang menertawakanmu lalu
bilang, "kau payah!".
Jangan.