Bicara Soal Peringatan dan Perayaan

Desember 22, 2020

Bicara soal peringatan dan perayaan, saya sebetulnya tidak begitu tertarik. Memang, selama ini bahkan sejauh ini, di depan teman-teman, saya kerap berlagak happy ketika ada satu hal yang perlu dirayakan, misalnya saja "Perayaan Ulang Tahun". Tapi, andai mereka tahu, nyatanya di dalam hati saya tidak sesenang itu hehe.

Artinya, saya pura-pura? Hmm, mungkin sedikit saya benarkan. Berhubung, lingkungan orang-orang terdekat saya begitu gegap gempita menyambut momen seperti itu. Meski bagi beberapa orang, perayaan tidak melulu soal happy-happy, ya. Karena mungkin sebagian orang menganggap itu momen kumpul bersama. Ya tidak masalah, kok.

Begitu pula saya. Kepura-puraan saya selama ini di depan para teman ketika ada yang berulang tahun, sejatinya bukan untuk hal senang-senang. Tapi, karena saya menghargai betul momen baik itu. Momen saat saya bersama teman-teman sefrekuensi.

Bagi saya, kebersamaan seperti itu yang perlu dimaknai, bukan perayaannya. Karena, tidak ada yang pernah tahu kebersamaan bisa dilalui sampai kapan dan seberapa sering. Ujungnya, perpisahan juga yang menjadi 'batas'.

Ya biarlah, kepura-puraan itu menjadi urusan saya pribadi. Selama orang-orang di sekitar saya merasa baik, saya ingin mereka juga merasa nyaman dengan keberadaan saya. Bila 'perbedaan' cara pandang saya dalam memaknai hari lahir itu terlampau jauh berbeda, saya khawatir hanya menjadi alien di lautan manusia. Dan saya tidak ingin seperti itu.

Mengapa demikian? Sikap saya ini sebenarnya berangkat dari nasihat seorang mentor saya. Kebetulan, beliau adalah seorang peneliti dan psikolog. Suatu hari, beliau sempatkan menemui saya di salah satu sudut meja makan ketika satu kegiatan mempertemukan kami bersama.

Waktu itu, lama kami saling bertukar cerita lantaran lama tidak bersua. Sambil menunjukkan respon ekspresif sebagaimana yang kalian tahu tentang saya, beliau tiba-tiba tersenyum simpul pada satu pernyataan tentang keheranan saya melihat orang-orang yang saya temui sampai detik itu.

Dengan nada suara rendah, beliau bilang, "Rizka, saya senang sekali dengan perubahan sikap, pola pikir, cara pandang, sampai ilmu-ilmu baru yang berhasil kamu serap dari pengalamanmu. Kamu lebih dewasa dari usiamu seharusnya. Wajar, itu semua karena latar belakang keluarga dan perjalananmu yang tidak mudah."

"Tapi Rizka, apa-apa yang kamu pikirkan tentang perbedaan setiap orang, itu bukanlah kapasitasmu. Tentang orang-orang yang menurut kamu masih senang merayakan ini-itu di usia mereka yang seharusnya tak lagi begitu. Semua itu bukan kapasitas kamu."

"Terlampau diikuti, hanya akan membuat kamu menjadi alien. Dampaknya, kamu nanti jadi tidak punya teman. Jadi, kontrol egomu, lihat kondisi di sekitar. Bila masih bisa dimaklumi, maklumilah. Jangan ambil pusing, ya."

Kurang lebih intinya demikian yang beliau sampaikan. Saya pribadi tertegun. Bukan tidak terima, bahkan sangat legowo mendengar nasihat beliau. Saya diajak berpikir berkali-kali, tentang bagaimana pula saya di hadapan banyak orang.

Ah, pastinya banyak keanehan dalam diri saya yang mungkin orang tidak mau repot mengurusinya, alhasil mereka diam saja. Lantas, mengapa saya berani ikut campur tentang cara mereka menjalani hidup? Saya tidak punya hak sama sekali untuk itu.

Saya, manusia biasa. Bukan orang yang berhak menempatkan standar penilaian saya untuk orang lain. Begitu pula orang lain, tidak berhak menempatkan standar penilaian mereka pada saya.

Setiap orang selalu punya standar penilaian sendiri dan tidak seorang pun dari kita -yang mengaku manusia- bebas sesukanya mengubah poin dari standar tersebut. Dan standar itu sifatnya relatif, seperti halnya cantik-jelek, baik-buruk, mahal-murah, dan lain-lain.

Perihal perayaan dan peringatan, saya tak hanya punya standar, tapi juga prinsip. Bagi saya, perayaan dan peringatan bukan cuma soal waktu, tapi juga keberlanjutan.

Ya memang, saya begitu senang dengan hal-hal jangka panjang. Karena itu, saya memilih prinsip untuk memaknai perayaan dan peringatan lewat kesederhanaan cara berpikir saya.

Lebih tepatnya, menyederhanakan pikiran supaya saya tidak menyulitkan diri sendiri dan orang-orang di lingkungan sekitar saya. Jadi, bantu saya memahamimu, ya. Siapa pun kamu.

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar