• Home
    • Akademik
    • Diurna Rizka
    • Tulisan
    • _Writing Competition
    • _Blog Competition
    • _Writing Project
    • Petualangan

    Bicara soal peringatan dan perayaan, saya sebetulnya tidak begitu tertarik. Memang, selama ini bahkan sejauh ini, di depan teman-teman, saya kerap berlagak happy ketika ada satu hal yang perlu dirayakan, misalnya saja "Perayaan Ulang Tahun". Tapi, andai mereka tahu, nyatanya di dalam hati saya tidak sesenang itu hehe.

    Artinya, saya pura-pura? Hmm, mungkin sedikit saya benarkan. Berhubung, lingkungan orang-orang terdekat saya begitu gegap gempita menyambut momen seperti itu. Meski bagi beberapa orang, perayaan tidak melulu soal happy-happy, ya. Karena mungkin sebagian orang menganggap itu momen kumpul bersama. Ya tidak masalah, kok.

    Begitu pula saya. Kepura-puraan saya selama ini di depan para teman ketika ada yang berulang tahun, sejatinya bukan untuk hal senang-senang. Tapi, karena saya menghargai betul momen baik itu. Momen saat saya bersama teman-teman sefrekuensi.

    Bagi saya, kebersamaan seperti itu yang perlu dimaknai, bukan perayaannya. Karena, tidak ada yang pernah tahu kebersamaan bisa dilalui sampai kapan dan seberapa sering. Ujungnya, perpisahan juga yang menjadi 'batas'.

    Ya biarlah, kepura-puraan itu menjadi urusan saya pribadi. Selama orang-orang di sekitar saya merasa baik, saya ingin mereka juga merasa nyaman dengan keberadaan saya. Bila 'perbedaan' cara pandang saya dalam memaknai hari lahir itu terlampau jauh berbeda, saya khawatir hanya menjadi alien di lautan manusia. Dan saya tidak ingin seperti itu.

    Mengapa demikian? Sikap saya ini sebenarnya berangkat dari nasihat seorang mentor saya. Kebetulan, beliau adalah seorang peneliti dan psikolog. Suatu hari, beliau sempatkan menemui saya di salah satu sudut meja makan ketika satu kegiatan mempertemukan kami bersama.

    Waktu itu, lama kami saling bertukar cerita lantaran lama tidak bersua. Sambil menunjukkan respon ekspresif sebagaimana yang kalian tahu tentang saya, beliau tiba-tiba tersenyum simpul pada satu pernyataan tentang keheranan saya melihat orang-orang yang saya temui sampai detik itu.

    Dengan nada suara rendah, beliau bilang, "Rizka, saya senang sekali dengan perubahan sikap, pola pikir, cara pandang, sampai ilmu-ilmu baru yang berhasil kamu serap dari pengalamanmu. Kamu lebih dewasa dari usiamu seharusnya. Wajar, itu semua karena latar belakang keluarga dan perjalananmu yang tidak mudah."

    "Tapi Rizka, apa-apa yang kamu pikirkan tentang perbedaan setiap orang, itu bukanlah kapasitasmu. Tentang orang-orang yang menurut kamu masih senang merayakan ini-itu di usia mereka yang seharusnya tak lagi begitu. Semua itu bukan kapasitas kamu."

    "Terlampau diikuti, hanya akan membuat kamu menjadi alien. Dampaknya, kamu nanti jadi tidak punya teman. Jadi, kontrol egomu, lihat kondisi di sekitar. Bila masih bisa dimaklumi, maklumilah. Jangan ambil pusing, ya."

    Kurang lebih intinya demikian yang beliau sampaikan. Saya pribadi tertegun. Bukan tidak terima, bahkan sangat legowo mendengar nasihat beliau. Saya diajak berpikir berkali-kali, tentang bagaimana pula saya di hadapan banyak orang.

    Ah, pastinya banyak keanehan dalam diri saya yang mungkin orang tidak mau repot mengurusinya, alhasil mereka diam saja. Lantas, mengapa saya berani ikut campur tentang cara mereka menjalani hidup? Saya tidak punya hak sama sekali untuk itu.

    Saya, manusia biasa. Bukan orang yang berhak menempatkan standar penilaian saya untuk orang lain. Begitu pula orang lain, tidak berhak menempatkan standar penilaian mereka pada saya.

    Setiap orang selalu punya standar penilaian sendiri dan tidak seorang pun dari kita -yang mengaku manusia- bebas sesukanya mengubah poin dari standar tersebut. Dan standar itu sifatnya relatif, seperti halnya cantik-jelek, baik-buruk, mahal-murah, dan lain-lain.

    Perihal perayaan dan peringatan, saya tak hanya punya standar, tapi juga prinsip. Bagi saya, perayaan dan peringatan bukan cuma soal waktu, tapi juga keberlanjutan.

    Ya memang, saya begitu senang dengan hal-hal jangka panjang. Karena itu, saya memilih prinsip untuk memaknai perayaan dan peringatan lewat kesederhanaan cara berpikir saya.

    Lebih tepatnya, menyederhanakan pikiran supaya saya tidak menyulitkan diri sendiri dan orang-orang di lingkungan sekitar saya. Jadi, bantu saya memahamimu, ya. Siapa pun kamu.

    Continue Reading


    Tidak apa-apa. Jika sekarang kau rasa rezekimu masih terasa kurang, susah dapat uang, atau mungkin usahamu sedang sepi, mungkin Dia sedang melunakkan hatimu. Ya, agar nanti ketika sudah berlebih rezekimu, hatimu tidak keras untuk mau membagi rezekimu ke siapa saja yang membutuhkan. Tentu, oleh karena kau pernah berada di posisi mereka dulu.

    Tidak apa-apa. Jika Dia mengizinkan, sabarmu ini akan membukakan pintu-pintu rezekimu di lain hari nanti. Mungkin memang bukan rezeki yang banyak, tapi yang pasti itu adalah rezeki-rezeki yang baik.

    Tidak apa-apa. Apapun pekerjaan yang kau miliki, sadar tidak sadar, pekerjaanmu itu adalah jawaban dari doa dirimu sendiri, diri sebelumnya. Pun, pekerjaanmu sekarang adalah buah dari upaya-upayamu sebelumnya.

    Tidak apa-apa. Toh, di luar sana ada banyak sekali manusia yang menginginkan, berusaha dan berdoa, untuk bisa memiliki pekerjaan yang kau miliki. Percayalah.

    Tidak apa-apa. Daya juang bekerja dalam hidup itu pentingnya luar biasa. Tiap kali kau menelan ketidaknyamanan, kau sedang menjadikan dirimu lebih kuat, lebih hebat, lebih bijak, dan dewasa.

    Tidak apa-apa. Segala sesuatu yang dikerjakan sungguh-sungguh selalu akan bermakna besar dan sungguh-sungguh dapat membuat seseorang menjadi besar. Itu benar.

    Tidak apa-apa. Sesekali kau ingin tertawakan semuanya juga boleh, asal bukan hidup yang menertawakanmu lalu bilang, "kau payah!".

    Jangan.

    Continue Reading

    Setiap hari kudengar orang-orang bercerita, tentang ini dan itu. Seru sekali rasanya, sesekali ada rasa ingin punya cerita yang sama. Tapi, mana mungkin. Toh, jalan hidup setiap orang tentu berbeda pula.

    Setiap hari kulihat orang-orang bertemu, berjabat tangan, berangkulan, bergandengan. Tampaknya, seru sekali punya seseorang yang bisa menjadi tempat pulang. Tapi, hanyalah naif bagi mereka yang bahkan sebagian besar waktunya bertalang pada monitor.

    Hari-hariku tidak ada yang begitu istimewa. Semua berjalan biasa saja, sangat biasa. Sampai aku sendiri merasa seperti kejar-kejaran dengan waktu, lalu ditutup dengan malam dan disambut pagi. 

    Siang hingga sore tidak ada yang istimewa. Sama sekali tidak ada. Yang ada hanya lelah dan keinginan untuk tidur. Begitulah dunia, tepatnya duniaku. Dunia di mana seorang anak mengaku sibuk, padahal itu hanya caranya mengelak pada kenyataan.

    Kenyataan besok, lusa, seminggu ke depan, sebulan lagi, hingga bulan berikutnya, yang dijalani dengan biasa saja. Begitu terus sampai nanti bertemu usia baru. Itu pun kalau dimampukan, mudah-mudahan.

    Hanya, aku tak pernah benar-benar menyerah. Atau mungkin itu hanya perasaan sendiri, entahlah. Cita-citaku membumbung tinggi seolah seisi dunia aku yang punya. Pola pikir bertahan pada idealis, tapi tubuh seringkali meronta. Itu pun seringkali diabaikan.

    Jika orang-orang punya cara menghamba pada hidupnya, maka aku hampir seperti mereka sekarang ini. Padahal, dulu najis bukan kepalang. Berkali-kali mencoba ikhtiar, tapi yang ada cuma berantakan. Apa iya setiap orang yang mengaku telah dewasa harus sekali melewati masa-masa begini?
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Searching

    • ABOUT ME

    Media Sosial

    • Tumblr
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram

    HUBUNGI SAYA DENGAN EMAIL

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengunjung

    Pict of Me

    Pict of Me

    Catatan Berkarya



    Recent Post

    • Esai Seleksi Beasiswa Karya Salemba Empat
    • Esai Diri (Program Friendship From Indonesia 2017, China - Malaysia)

    Arsip Blog

    • ►  2022 (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2021 (1)
      • ►  November (1)
    • ▼  2020 (3)
      • ▼  Desember (1)
        • Bicara Soal Peringatan dan Perayaan
      • ►  Agustus (1)
        • Tidak Apa-apa
      • ►  Juni (1)
        • Kisah Tanpa Cerita
    • ►  2019 (8)
      • ►  Desember (2)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (2)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2017 (21)
      • ►  Desember (5)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (2)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juli (3)
      • ►  Juni (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (3)
      • ►  Maret (1)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2015 (3)
      • ►  Agustus (3)

    Label

    • Blog Competition
    • Cerita Rizka
    • Diurna Rizka
    • Esai
    • Pendidikan
    • Petualangan
    • Rizka Gusti Anggraini Sitanggang
    • Tulisan
    • Writing Competition
    Instagram LinkedIn

    Created with MRIL BeautyTemplatesDistributed By Rizka Sitanggang

    Back to top