• Home
    • Akademik
    • Diurna Rizka
    • Tulisan
    • _Writing Competition
    • _Blog Competition
    • _Writing Project
    • Petualangan

    “Karena membahagiakan semua orang adalah mustahil. Maka logikanya, kita punya hak untuk memilih orang yang akan kita bahagiakan" (Tulus via Tumblr @palawija)

    Kurang lebih seminggu lalu itu tepat 1 tahun aku meninggalkan Instagram. Ternyata, waktu setahun itu enggak lama loh. Nggak berasa malahan. Tau-taunya uda mau akhir tahun 2019 aja. Eh Januari 2020 bakal berusia 23 tahun pula. Semoga umurku sampai ya untuk terus berkontemplasi setiap tahunnya. Aamiin.

    Di tulisan ini, aku pengin kontemplasi sedikit tentang setahun yang kulewati tanpa Instagram. Kenapa cuma Instagram sih? Iya, karena menurutku di sana semua orang bebas membagi apa  pun yang dia inginkan. Tentang hidupnya, kegiatannya, apa saja kepada publik, baik yang dikenal maupun tidak dikenal.

    Alasan kuat mengapa aku hengkang (ceilah bahasanya) dari Instagram sejak setahun lalu karena sedang menghadapi masa-masa berat. Emang seberat apa sih? Ya, definisi berat di tiap orang beda-beda ya. Tapi, ini soal keluarga dan yang terberat adalah jati diri.

    Terus selama setahun ini sudah menemukan jati diri? Hmm, belum dikatakan sudah, tapi seenggaknya mulai terarah mau ke mana. Pun yang terpenting, kali ini lebih realistis dan mendewasa (tjakep!).

    Semula, aku pikir kalau meninggalkan Instagram akan membuatku ketinggalan informasi ini dan itu. Ternyata, memang iya! Eh tapi, informasi yang bagaiman dulu nih? Kalau informasi soal kehidupan orang lain sudah jelas aku tidak tau apa-apa lagi. Kalau pun tau, paling secara kebetulan tau dari teman-teman dekat pas lagi ngumpul.

    "Eh si anu tuh sekarang begini ya, begitu ya, tau nggak Riz?"
    "Enggak", jawabku singkat yang kemudian diikuti dengan menyimak cerita teman-teman sambil ngangguk dan ketawa kalau emang ada yang lucu.

    Saking serunya dengar cerita mereka, aku seringkali kehilangan selera buat cerita. Giliran diminta buat cerita, aku bingung mau mulai dari mana. Soalnya, ceritaku ya begitu-begitu aja, shay. Kurasa, mereka juga tidak begitu tertarik mendengarkan. Tidak ada yang terlalu istimewa untuk dibagikan.

    Oh ya, semenjak tidak main Instagram lagi, beberapa teman kuliah, junior kuliah, sampai senior kuliah menghubungiku lewat Whatsapp. Atau pernah juga ada yang telepon dan SMS. Hampir semuanya menanyakan hal serupa.

    "Riz, ke mana aja selama ini? Kok tulisannya uda nggak pernah lagi muncul di story Instagram?"
    "Riz, apa kabar sih? Kangen loh sama tulisan-tulisanmu dan cerita yang sering kau masukkan di story IG. Nggak bikin Writing Project lagi? Bikin dong, mau berkarya nih"
    "Baik-baik aja kan, Riz? Kalau ada apa-apa itu jangan biasain dipendam dan diselesaikan sendirian dong. Dibagi ke kami, siapa tau kami bisa bantu"

    Kurang lebih intinya begitu. Aku dari lubuk hati paling dalam, mau bilang terima kasih sebesar-besarnya buat teman-teman semua yang sudah baik menawarkan diri beserta bantuannya. 

    Tapi aku bukan tidak mau terima bantuan, apalagi untuk cerita secara detil. Aku cuma pengin ngasih kesempatan ke diri sendiri untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan mengikuti kata hati. Karena, aku percaya betul kalau kata hati itu tidak pernah mengkhianati.

    Setahun terakhir ini banyak betul hal yang mengubah cara pandangku tentang hidup. Terutama, bagaimana bahagia menjalani hidup dengan versi terbaik diri sendiri. Aku tidak lagi harus memulai dan mengakhiri hari berdasarkan penilaian orang lain.

    Semua penilaian orang lain itu nomor kesekian, meskipun beberapa di antaranya pasti berguna untuk bahan evaluasi diri (kalau memang itu positif). Aku punya kadar bahagia sendiri, walau di depan orang mungkin harus 'pandai-pandai' menyesuaikan peran. Kapan harus jadi sekadar teman, kawan mengobrol, rekan bercanda, seorang pekerja, sebagai anak, dan peran lainnya.

    Jadi orang dewasa itu kadang ribet ya, perannya banyak banget. Tapi kalau bisa mengelola peran, sepertinya semua keribetan itu bakal jadi hal seru dan menantang. Percaya nggak? Aku percaya hehe. Cuma, sekarang aku sendiri lagi belajar untuk hal itu. Terus belajar sih lebih tepatnya. Baca situasi. Semoga dimampukan!

    Terus satu lagi, setahun terakhir ini aku belajar untuk sebisa mungkin tidak mengungkit atau mengingat apa pun yang sudah dilakukan ke orang lain. Karena, aku pernah digituin dan rasanya enggak enak cuy! 

    Ketika kita nggak pernah hitung-hitungan ke orang lain, ternyata orang lain hitung-hitungan ke kita. Nah, giliran dia punya masalah, dia mengungkit semua yang selama ini pernah dikasih ke kita. Bahkan, kita sendiri pun tak pernah meminta itu darinya. Ini bikin bingung.

    Yang lebih sakitnya, dia menyesalkan dirinya sendiri karena sudah meluangkan waktu untuk sekadar mendengar cerita kita pada waktu-waktu sebelumnya. Padahal, itu pun kita tidak pernah minta, melainkan dia menawarkan diri. Bodohnya, kenapa ya waktu itu aku mau cerita ke dia? hahaha skip skip skip!

    Pengalaman itulah yang membuatku seringkali enggan buat cerita, sekalipun dalam hati sangat ingin. Sekarang, kalau pun cerita ke orang lain, itu lebih ke nanya pendapat. Karena aku masih fakir ilmu dan pengalaman, jadi pasti perlu insight dari orang-orang yang usianya lebih tua di atasku. 

    Mereka pasti punya jam terbang dan cara pandang lebih kritis dalam hal mengambil keputusan ini itu. Kerennya, aku bisa menemukan pendapat unik nan berbeda dari mereka. Di sini pula, aku belajar bagaimana membuat proporsi atas hidupku sendiri. Toh, pendapat nggak ada yang salah kan. Semuanya oke, tinggal disesuaikan aja sama kebutuhan diri sendiri.

    Terus, aku sekarang belajar perbanyak mengingat kebaikan apa yang sudah diberikan orang lain. Jadi, kalau tiba-tiba agak kesal nih sama orangnya (biasa kan namanya manusia), ya aku coba ingat-ingat lagi kebaikan orang tersebut. Nanti kan kesalnya rada berkurang tuh, yaudah bakal lupa sendiri deh.

    Aku pun belajar bahwa untuk bahagia itu ternyata enggak sesulit yang dibayangkan. Yang utama, aku perlu berlaku adil pada setiap kejadian, barang sekecil apa pun. Sebab, belajar menerima itu sangat penting.

    Saking pentingnya belajar menerima, masih banyak orang yang gagal dalam menerima ketidaksempurnaan diri sendiri. Itu masih diri sendiri loh, belum mikirin ketidaksempurnaan orang lain. Wah, bisa makin kacau.

    Alhasil, kebanyakan orang merasa hidupnya berat banget. Padahal, pikiran manusia aja yang suka bikin semua jadi berat. Mungkin, aku juga termasuk yang demikian. Makanya, jomblo terus sampai sekarang (ini apaan, enggak nyambung dudul).

    Jadi, kata-kata yang kusematkan di awal tulisan ini mungkin bisa menggambarkan sedikit banyaknya pengalamanku setahun tanpa Instagram. Ke depannya, akan tetap tidak main Instagram sih hehe.

    Kamu nggak perlu jadi siapa-siapa. Kamu cukup perlu bahagia. Semoga segala niat baik dan cita-cita kamu segera terwujud satu persatu ya, Rizka. Kamu sudah keren kok. Keren banget! Terima kasih sudah melangkah sejauh ini. Ayo, lebih kuat lagi.

    (Rizka kepada Rizka)
    Continue Reading
    Bicara soal zona nyaman, sekarang ini aku sedang berada di fase itu. Gara-gara terlalu nyaman, alhasil diri pun jadi ikut terlena. Kata beberapa orang sih, kondisi semacam ini kurang baik untuk perkembangan diri. Kita jadi orang yang stagnan dan cenderung malas memulai hal baru.

    Dari sekian banyak hal itu, salah satu yang berpengaruh besar adalah pekerjaan. Saat ini, aku menjalani jam kerja teratur. Masuk jam 9 pagi, pulangnya jam 5 sore. Kerja dari Senin sampai Sabtu, kadang-kadang dapat rotasi masuk di hari Minggu.

    Bukan maksud membandingkan, tapi memang pekerjaan saat ini jauh berbeda dari profesi sebelumnya. Dulu bekerja sebagai reporter tidak ada istilah 'istirahat'. Kalau sudah ada berita, kudu dikejar tuh narasumbernya.

    Bahkan, aku pernah memaksakan diri turun ke lapangan dengan kondisi sakit dan kaki habis jadi korban pukulan massa saat liputan sehari sebelumnya. Waktu itu, aku diberi amanah meliput peresmian MRT Jakarta oleh Presiden Jokowi dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Bayangin, gimana ramenya itu Bundaran HI dengan lautan manusia ibu kota.

    Ketika itu, aku tenggelam di antara manusia-manusia yang sibuk ingin swafoto dengan Presiden dan beberapa  artis yang turut hadir memeriahkan. Mereka berdesakan tak kenal kiri-kanan. Semua diterobos. Nahasnya, kakiku jadi korban. Alat perekam suara yang kupegang terlepas dari tangan, terinjak-injak, rusak.

    Yang terpikirku saat itu adalah menyelamatkan teman-teman wartawan TV yang punya alat lebih besar di bagian belakang. Jangan sampai kena korban juga. Posisiku paling depan, tepatnya setengah berlutut di depan Presiden yang terhalang garis pembatas bertuliskan 'PERS'.

    Akibat kejadian itu, aku tak kuat berjalan karena kaki luka. Aku pun harus digotong wartawan lain. Aku hubungi redaktur dan dia minta agar aku rotasi dengan reporter lain. Tapi ya namanya otak bebal, aku tetap meyakini diriku masih mampu. Sampai akhirnya, malam hari tiba di kamar kos dan aku meringis kesakitan.

    Begitulah sedikit cerita kilas balik dari pekerjaanku dulu. Hingga karena kondisi ibu menurun, aku pun pulang ke Medan. Niatnya, untuk sementara waktu sampai ibu pulih. 

    Dan kini, aku menggeluti pekerjaan baru, masih di bidang tulis-menulis juga. Bedanya, ini tidak turun ke lapangan. Hampir tidak ada interaksi dengan orang-orang di luar selama jam kerja, melainkan mentok di kantor saja.

    Bisa bayangkan, bagaimana kakiku gatal sekali ingin keluar setiap kali otak merasa butuh udara segar. Tapi, itu semua ku urungkan dan ku tahan. Ya selain pinggang sakit juga, pikiran pun tak karuan. Kata orang, capek pikiran itu justru lebih melelahkan ketimbang capek fisik. Benarkah?

    Kembali lagi bicara soal zona nyaman. Kalau boleh jujur, aku belum menemukan apa yang sering orang bilang 'bekerja untuk kepuasan batin'. Lingkungan kerja boleh saja baik, pekerjaan boleh saja nyaman, tapi bagaimana kalau ternyata hati tidak merasa 'penuh'?

    Intinya, aku bekerja mengejar waktu, bukan menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Dengan waktu kerja 8 jam sehari, aku dituntut untuk bekerja secepat dan sebanyak mungkin. Soal kualitas, itu menyusul dengan banyaknya jumlah. Bisakah kau bayangkan itu, Kawan?

    Ini masih ceritaku dan kau belum dengar saja cerita dari teman-teman yang lain. Mereka punya 'kepelikan' sendiri juga. Bahkan, mereka yang lebih dulu menggeluti pekerjaan itu pun menyimpan suka-duka di dalam hati. Sebagian sudah aku dengar secara langsung, tapi pasti ada banyak lagi yang aku tak tau. Toh, tidak semua harus diumbar, kan?

    Sementara sisi lainnya, aku menemukan keluarga baru di sini. Mereka sangat baik. Aku merasa punya abang dan kakak, karena aku sendiri anak tunggal. Tapi aku tau, mereka memiliki beban hidup masing-masing. Jadi, tak etis rasanya kalau aku ingin banyak curhat ini dan itu, seperti halnya orang lain bisa curhat ke kakak atau abangnya.

    Maklum, sedari kecil aku tak pernah merasakan punya saudara kandung. Tempat curhat terpercayaku adalah Bapak. Itu pun Bapak 'berpulang' duluan saat usiaku 15 tahun. Sejak itu, aku berupaya menjadi wadah bercerita untuk ibu dan keluarga lain. 

    Ceritaku sendiri sering kutuangkan di buku harian atau membiarkannya hilang begitu saja. Karena lama-lama kupikir, ceritaku ternyata tidak sepenting itu juga untuk diketahui banyak orang. Orang tak pernah benar-benar tahu tentang proses yang dijalani. Kau harus sadari itu juga ya :)

    Implementasi 'berdikari' itu pun ternyata tak semudah slogan yang bergaung di mana-mana. Egomu harus berani kau gantungkan. Kalau tidak, kau tenggelam dengan perasaan dan pikiran 'susah'-mu sendiri. Sementara, orang lain di luar sana sudah bergerak sekian langkah. Kita tertinggal.

    Balik lagi ke topik. Sepanjang pernah bekerja sejak duduk di bangku sekolah, ini adalah zona nyamanku. Bila dibiarkan lama, ini tak baik untuk diriku sendiri. Seberapa lama aku bisa bertahan di sini pun tidak ada yang tahu.

    Hikmahnya, kalau tidak begini, aku pasti akan menganggap segala sesuatu bisa berjalan seperti inginku saja. Padahal, hidup ini kan ada timbal-balik. Salah satunya, kita tak bisa memprediksi apapun takdir Tuhan. Semua sudah digariskan sedemikian rupa.

    Pun kalau tak merasakan pengalaman begini, mana mungkin aku bisa menyelesaikan tulisan ini. Seandainya pun bisa, pasti kebanyakan isinya adalah hoax atau khayalan kan haha. Tak apalah, ini artinya aku diminta belajar 'membaca situasi'. Mungkin, ini juga langkah supaya aku semakin dewasa dalam berpikir dan bertindak.

    Zona nyaman memang tak benar-benar menyenangkan. Hidup seolah berjalan biasa saja. Hampir tidak ada tantangan yang membuat kualitas diri meningkat. Hanya kupikir, zona ini perlu dirasakan setiap orang agar lebih banyak menghargai serta bersyukur.

    Yang mungkin terlalu banyak bicara, bisa mengurangi kadarnya. Yang mungkin terlalu sering bercanda, ada baiknya diseimbangkan dengan hal bermanfaat lain.

    Hidup ini memang pilihan, tapi tidak selamanya hanya baik dan buruk.
    Ada pula yang tidak pernah absen hadir dalam mimpi.
    Adalah niat, kemauan, dan usaha sungguh-sungguh.

    You know, I'm not everything I want to be.
    But I'm more than I was, and I'm still learning. 
    I have used to be real :)

    Medan, 4 Desember 2019.
    Meja belajar Rizka.
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Searching

    • ABOUT ME

    Media Sosial

    • Tumblr
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram

    HUBUNGI SAYA DENGAN EMAIL

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengunjung

    Pict of Me

    Pict of Me

    Catatan Berkarya



    Recent Post

    • Esai Seleksi Beasiswa Karya Salemba Empat
    • Esai Diri (Program Friendship From Indonesia 2017, China - Malaysia)

    Arsip Blog

    • ►  2022 (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2021 (1)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  Juni (1)
    • ▼  2019 (8)
      • ▼  Desember (2)
        • Nggak Terasa, Sudah Setahun
        • Zona Nyaman
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (2)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (2)
    • ►  2017 (21)
      • ►  Desember (5)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (2)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juli (3)
      • ►  Juni (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (3)
      • ►  Maret (1)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2015 (3)
      • ►  Agustus (3)

    Label

    • Blog Competition
    • Cerita Rizka
    • Diurna Rizka
    • Esai
    • Pendidikan
    • Petualangan
    • Rizka Gusti Anggraini Sitanggang
    • Tulisan
    • Writing Competition
    Instagram LinkedIn

    Created with MRIL BeautyTemplatesDistributed By Rizka Sitanggang

    Back to top