• Home
    • Akademik
    • Diurna Rizka
    • Tulisan
    • _Writing Competition
    • _Blog Competition
    • _Writing Project
    • Petualangan
    Memang, berjuang itu bukan seberapa hebat medan juangnya, tapi seberapa kuat melewati cobaannya. Satu diantaranya, datang dari sesuatu yang justru kamu sukai. Iya, keproduktifanmu dalam berkarya itu cobaannya. Iya, itu cobaannya.
    ***
            Well, ini adalah cerita lanjutan dari postingan “Berangkat Aja Dulu (Part 1)”. Kalau di postingan sebelumnya saya buka dengan kata-kata daebak dari Mama saya, di tulisan ini biarkan saya eksis di blog sendiri hahaha (yakali masa eksis di lapak orang, kan ngawur jadinya entar). Nah, sebelumnya kan saya cerita tentang morat-marit mencari pengalaman di Ibukota dan disambut kedatangannya dengan hujan lebat (untung enggak badai), jadi ini saya lanjutin ceritanya. Ehem ehem, mendongeng dimulai hehe.

    [Malam terakhir bareng finalis].
    “Malam ini... malam terakhir bagi kita. Untuk mencurahkan rasa rindu di dada.
    Esok aku akan pergi lama kembali. Kuharapkan agar engkau sabar menanti.
    Aku akan sabar menanti kembali. Selamat jalan dan sampai jumpa lagi”
            Jreng-jreng, tersyairlah lagu karya penyanyi dangdut legendaris Indonesia, Rhoma Irama dan Rita Sugiarto. Ini lagu bisa dibilang manisnya di zaman-zaman Mama dan Bapak saya baru ketemuan kali ya. Ya gak apa deh, kan memang apa yang dituangkan dalam lirik lagu itu kebetulan pas pula dengan perasaan saya. Aiiih aiih, bukan lagi..
            16 Januari 2018 malam, bisa dibilang ini momen yang buat saya dan teman-teman finalis memutuskan untuk tidur telat alias begadang. Terus ngapain saja kami semalaman suntuk ? Ya main. Kalau kids zaman now sih mungkin mainnya sudah yang gaul-gaul ya. Tapi kami justru milih permainan yang anak-anak able. Permainan ABC 5 DASAR, namanya. Entah siapa yang memprotokoli untuk main beginian di antara kami, yang jelas kalau rada unik-unik, absurd, dan beda dari yang lain sih saya mau. Ya kapan lagi kan bisa gila bareng-bareng teman. Beda daerah lagi.
            Permainan ini sebenarnya enggak yang gimana-gimana sekali. Saya suka saja karena selain masuk kategori permainan jadul, pun juga mengasah otak untuk berpikir cepat dan disini bakal ketahuan sejauh mana wawasan yang kita punya tentang topik tertentu. Cara bermainnya tidak sulit. Kurang lebih seperti kita bermain “Buah-Buahan” di zaman SD dulu hehe masih ingat dong ya? 
            Cukup keluarkan jari tangan seberapa yang ingin kita keluarkan. Lalu, salah seorang anggota berperan sebagai joki (istilahnya) untuk menghitung urutan abjad sesuai dengan jumlah jari tangan yang dikeluarkan oleh seluruh pemain. Misalkan, ternyata abjad H. Kemudian, disepakati nih mau topik apa yang diusung. Misalkan lagi, topiknya tentang nama-nama negara di dunia. Kemudian, masing-masing pemain harus menyebutkan nama negara yang dimulai dari huruf H, dengan cepat dan benar. Ya ini tadi yang saya bilang harus tanggap karena kalau keduluan sama pemain yang lain, maka habislah kita. Yang terakhir tidak menyebutkan maka dia yang kalah.
            Nah, kan enggak seru tuh kalau main bareng-bareng tapi enggak ada hukumannya bagi yang kalah. Jadi, kami menyepakati hukumannya adalah mukanya dicemongin alias ditepungi pakai bedak putih. Kebetulan, salah seorang finalis ada yang bedak tepungnya masih lumayan banyak, maka jadilah kita izin untuk dipakai setengah isinya.
            Singkat cerita, momen ini sangat membuat seisi hotel menjadi ramai. Hotel Sofyan Inn Tebet itu bisa dikategorikan seperti apartemen. Jadi khawatirnya saya kalau pengunjung yang lain justru terganggu, meskipun kamar para finalis diatur satu lorong paling ujung. Mungkin panitia juga sudah membayangkan bagaimana kalau kami memang rusuh. Ya contohnya saja seperti ini kan. 
            Momen malam terakhir bareng-bareng ini menghabiskan banyak gela tawa di antara kami semua. Rasanya bisa sampai bertemu dengan mereka semua adalah satu kesyukuran. Bagi saya, ini bukan berangkat untuk ikut lomba melainkan seperti gathering kampus. Statusnya saja masing-masing berasal dari provinsi beda-beda, tapi feel¬-nya itu berasa kita dari daerah yang sama. Ya melebur saja gitu. Apalagi teman-teman finalis pada konyol semua, saya pun jadi ikutan tak mau kalah (padahal memang dasarnya saya konyol juga).
            Kemudian, di tengah permainan ini, Si Komang nyeletuk, “eh siapa ya yang besok jadi pembicara bareng Pak Diaz ? Kan kata Pak Alie habis malam ini bakal dikasih tahu kan. Yoo siapa yang hapenya ada di notif sama Pak Alie ? Sudah pada cek hape belum ?”
            Tersadarkan oleh kata-kata Komang, kami semua pun membuyar sebentar. Saya berlari kecil ke kamar untuk mengecek telepon genggam yang sedang saya isi ulang baterainya. Eh tapi, sebelum hendak beranjak keluar kamar untuk bergabung dengan teman-teman yang lain, saya tertegun dengan isi pesan WA. Pak Alie Humaedi LIPI, begitu yang tertulis di layar WA. Maka, saya memberanikan diri membuka isi pesan itu.
            Rizka dan Vitorio.. mohon mempersiapkan diri untuk ikut mendamping pembicaraan bersama dengan Pak Diaz dan Bu Nuke. Besok pagi pukul 08.45 sampai dengan 11-an. Obrol santai tentang konsep kebangsaan bagi orang muda ya. Ingat yang maju belum tentu menjadi juara ya. Tks. Alie.
            Saya langsung kembali ke kamar tempat dimana teman-teman berkumpul lagi.
    “Eh, aku dapat pesan WA dari Pak Alie. Kata beliau, aku sama Vito besok yang bakal mendampingi Pak Diaz dan Bu Nuke. Vito sudah baca pesannya?,” tanya saya langsung kepada Vito. 
    “Belum, Riz. Hapeku di kamar. Ntaran aja deh aku bukanya. Pesannya paling sama kan ya sama punyamu juga ?,” jawab Vito.

    ***
    [Obrol Orang Muda].
            Obrol orang muda hari ini seperti yang sudah dijelaskan oleh Pak Ali, temanya tentang makna nasionalisme di kalangan generasi millenial. Ini bisa dibilang adalah hari yang cukup membuat saya bolak-balik ke toilet. Grogi bok! Di samping saya juga first time bakal duduk sebelahan sama Staf Khusus Presiden, Pak Diaz, saya pun juga bingung mau ngomong apa hahaha. Tapi balik lagi ke niat di awal, bahwasanya saya yakin semua bakal dimudahkan kalau kita niatnya memang baik. Insya Allah. Dan Alhamdulillah semuanya berjalan lancar selama acara Obrol Orang Muda berlangsung.
     

    [Pengumuman Pemenang]
            Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah. Mungkin ini yang sedari kemarin Ibu saya bilang, “terkadang memang usaha itu sedikit mengorbankan diri kita, ya misalkan kayak Ika sampai jatuh sakitlah, ya disuntiklah, ya kerja dari pagi sampai malam meski dengan kondisi tubuh yang lemah sekalilah, dan yang lain-lainnya. Tapi kalau Allah uda bilang jadi¸ gak bakal ada yang bisa mengganggu keputusan-Nya”.
            Itu yang selalu saya ingat menjelang pengumuman para pemenang Lomba Esai Nasional 2018 ini. Singkat cerita, Pak Diaz memang tidak bisa berlama-lama untuk bergabung bersama kami di ruangan. Maka, pengumuman finalis pun dipercepat sekian menit. Qadarallah, Allah Maha Besar. Melalui seleksi panjang itu, di siang menjelang sore itu... tersebutlah nama saya sebagai pemenang Juara 2 Lomba Esai Nasional kali ini. 
            Saya disitu mau girang, tapi ya kan malu toh hahaha. Tapi saya coba tahan emosi kegembiraan itu dengan terus mengucapkan ‘Alhamdulillah’ berulang-ulang dalam hati. Kalau boleh jujur, jauh dari lubuk hati paling dalam pun saya mengakui seluruh finalis pada kesempatan kali ini adalah para pemenang. Tentunya, para pejuang! Dan satu kesyukuran yang tidak ingin saya lewatkan adalah saya bersyukur bisa mengenal 13 orang finalis dengan keberagaman yang membuat pertemuan ini begitu unik dan mengesankan. Ditambah, kesempatan saya mengenal lebih dekat LIPI seperti apa, lingkungan bekerjanya seperti apa, orang-orang di dalamnya bagaimana, dan bermunajat dalam hati untuk bercita-cita suatu saat nanti, saya ingin mengabdi sebagai peneliti disini, semoga Allah rangkul terus cita-cita ini sampai tiba dimana Ia mampukan aku untuk mengemban amanah itu. Amin Allahumma Amin.
            Qadarallah, rasanya Allah kasih kejutan dengan bonus-bonus yang tak kalah menarik. Tapi justru menurut saya ini adalah ujian. Ada orang yang diuji pada rasa syukurnya. Ada juga yang diuji atas kesabarannya. Maka, mau kaya, miskin, berada, kekurangan, senang, sedih, setiap orang akan diuji dengan cara masing-masing. Apa-apa yang kita hadapi selalu datang secara tidak terduga. Begitu pula dengan datangnya rezeki kita. Dan begitulah cara Allah untuk melihat rasa sabar serta rasa syukur hamba-Nya. Rencana-Nya memang selalu mengejutkan.
            Namun, yang menjadi poin pentingnya dari itu semua adalah kemauan. Ya, kemauan belajar dari segala hal mengejutkan itu. Karena dengan mau belajar, kita memahami diri kita ini rendah dan perlu meningkatkan kualitas diri. Kemudian, yang lebih penting (lagi) dari mau belajar sesuatu adalah mau belajar untuk menjadi lebih baik.
            Seperti mau belajar memberi, mau belajar sabar, mau belajar santun, mau belajar bersyukur, mau belajar menghargai waktu, mau belajar beribadah, serta berbagai kemauan untuk belajar lainnya. Sebab bagaimanapun juga, orang-orang terbaik adalah yang mau belajar untuk menjadi lebih baik.
            Akhir kata, terima kasih kepada rekan-rekan sejawat yang Insya Allah terus menjadi baik dengan versinya masing-masing. Yang tidak pernah melupakan makna dalam berperan menjadi anak bangsa yang produktif berkarya. Mudah-mudahan satu langkah kecil ini bisa bermanfaat meluas untuk siapa saja. Begitupun mampu menjadi virus kebaikan yang dapat merangkul lebih banyak tangan dalam berbuat bagi orang-orang di sekitar. Amiin Allahumma Amiin.
            Atas nama rasa syukur, sampai bertemu di perjalanan berikutnya yang Insya Allah lebih baik pula. Ditunggu kabar-kabar baiknya, rekan-rekan sejawat @pmblipi! Barakallahu.
    ---
    Jakarta, 17 Januari 2018.

    Continue Reading
    Kalau kamu enggak mencoba, kamu enggak akan tahu rasanya gimana. Kalau kamu enggak pergi, kamu enggak akan tahu rasanya berjuang. Yaudah, berangkat aja dulu!

    ***
    Itu yang di atas bukan quotes of the day ya hehe, tapi itu kata-kata Mama saya. Ya, Mama memang selalu jadi orang yang paling paham gimana cara menyemangati anaknya. Bukan tanpa alasan juga Mama ngasih kata-kata itu buat saya. Sejak dulu Mama bukan tipikal orang yang gampang memotivasi dengan kata-kata. Biasanya itu tugas Bapak. Tapi semenjak Bapak pergi lebih dulu, Mama merangkap peran sebagai Ibu sekaligus Ayah buat saya. Dengan bermodal sebagai pedagang warung kelontong di rumah, Mama tidak pernah mengatakan “tidak” untuk hal-hal seputar studi pendidikan saya. Daebak! Bahkan saya kepikiran, kalau suatu saat saya jadi seorang Ibu, mungkinkah saya setangguh Mama ? Semoga saja. Ini juga sedang latihan kok (ceilah hahaha).
    Nah nah.. tapi kali ini saya bukan mau mendeskripsikan sosok Mama di tulisan ini. Melainkan ingin membagi cerita dan pengalaman ketika saya dan Mama saling menguatkan dalam berbagai hal. Salah satunya adalah ketika momen yang belum lama ini Alhamdulillah direzekikan untuk saya, di bulan kelahiran saya pula hehehe. Qadarallah memang kejutan Allah siapa yang tahu coba ya. Sampai sekarang saja saya enggak habis pikir gimana ya Allah membuat settingan waktu ke waktu untuk ngasih surprise kepada setiap hamba-Nya. Tapi ya kalau dipertanyakan terus mah itu namanya kita tidak yakin dengan keajaiban Allah. Jadi, cukupkan dengan senantiasa bersyukur dan meningkatkan kualitas diri dengan ibadah.
    Terus kaaan.. momen belum lama yang saya maksudkan di atas itu adalah ketika Allah mengizinkan saya menjadi satu dari 13 orang keren di ajang yang keren pula. Ya, Alhamdulillah Desember 2017 lalu saya mendapatkan sebuah surel yang tidak asing. Sebab, saya baru seminggu lalunya mengirimkan sebuah tulisan esai ke alamat email tersebut dalam rangka berpartisipasi mengikuti perlombaan esai nasional tingkat mahasiswa. Mbak Anggy Denok Sukmawati, namanya (saya akan posting foto beliau di tulisan berikutnya hehe). Beliau adalah seorang peneliti muda di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat dan salah satu panitia utama dalam perlombaan esai yang saya ikutsertakan itu.
    Emailnya buat saya merinding berkali-kali, bahkan sampai detik ini kalau saya baca ulang lagi. Skenario-Nya keren banget, Masya Allah! Jadi, email itu berisikan sebuah pengumuman dimana saya lolos sebagai finalis yang akan dibiayai berangkat ke Jakarta, tepatnya yang akan bersaing dengan 12 finalis lainnya di gedung LIPI. Para finalis yang lolos tersebut ternyata disaring dari 797 naskah esai yang masuk selama kurun waktu 15 hari sejak awal dibukanya perlombaan itu. Saya mencoba berkali-kali meyakinkan kalau saya tidak salah membaca nama di urutan ke-4 dalam daftar nama-nama lolos seleksi tersebut. Yang kemudian saya lihat adalah perwakilan dari Sumatera. Ya, ada 3 orang diantaranya saya dari Medan, Kiky dari Jambi, dan Roni dari Padang.
    Maka, sejak email itu bertengger di kotak masuk email saya, semangat saya seperti dipompa lagi. Termasuk yang tadinya semangat ingin skripsian dan tamat cepat di semester 7, mendadak harus digeser sedikit dan kemungkinan akan sedikit tertunda dari target waktu yang sudah saya list sejak lama (jangan ditiru ini mah, bukan mahasiswa teladan yang seperti ini hehehe). Selain itu, seminar hasil skripsi saya (meliputi Bab 1 sampai Bab 5) yang rencananya akan dilaksanakan awal Januari 2018, alhasil gagal total. Karena saya harus fokus persiapan lomba dan entah kenapa rasanya momen ini seolah mendorong diri saya untuk mempersiapkan segala sesuatunya dengan semaksimal mungkin. 
    Saya sudah menggeser waktu seminar skripsi, maka tak baik rasanya kalau kesempatan ini saya permainkan pula. Bahkan sebelum keberangkatan menuju Jakarta, saya merasa tidak enakan sama dosen pembimbing (doping) saya yang justru selalu support bahkan sebelum beliau jadi doping saya. Doa saya cuma satu, semoga beliau tidak kecewa dengan saya. Karena saya tahu gimana rasanya dikecewakan (tsaaah.. kok malah curhat maneh, nduk? hahaha abaikan).
    Kira-kira hampir tiga minggu saya mempersiapkan diri. Mulai dari mengulas isi esai, menemukan poin-poin yang akan dipresentasikan, menyiapkan slide presentasi semenarik mungkin, membuat pitch desk, latihan presentasi, sampai mempersiapkan diri dengan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang bakal diajukan oleh dewan juri. Apalagi dengar-dengar dari panitia (setelah beberapa hari pengumuman, seluruh finalis digabung ke dalam satu grup obrolan di Whatsapp), dewan jurinya ada 4 orang  yang basic-nya memang sebagai peneliti dan para akademisi dan kajiannya pun sudah berfokus pada budaya lokal, sesuai dengan tema perlombaan kali ini.
    Dengan tidak memerdulikan diri dari rasa malu, saya pun meminta bantuan ke beberapa teman untuk me-review latihan presentasi saya. Dan yang membuat saya tertohok adalah ketika latihan dengan dua orang teman yang sudah seperti abang saya sendiri. Mereka itu Iqbal dan Abil. Tanpa ragu mereka bilang, “kau kalau mau menarik presentasinya, jangan buat slide macem gini. Ini terlalu kaku dan kau justru terlihat seperti mau ngajar di kelas. Macem slide dosen aku di kampus hahaha. Isinya kebanyakan tulisan”. 
    Memang benar, teman yang baik adalah yang mengingatkan kita dengan kebaikan dan menuntun kita menjadi pribadi lebih baik. Termasuk dari segi persiapan ini, bisa dikatakan mereka berdua sangat berperan menjelang keberangkatan saya. Alhamdulillah, meski kami sudah jarang bersapa akhir-akhir ini, tapi bisa saling hadir di saat yang tepat. Ya, bukan berarti tidak intens bertemu dan bersapa menandakan tidak saling mendoakan. Justru kehadiran di waktu yang tepat punya nilai yang lebih di mata saya. Terima kasih atas keringanan hati kalian, Iqbal dan Abil. Tidak hanya mereka berdua, tapi seorang teman bernama Dita Andriani dan seorang senior kampus bernama Nurrafiqa juga turut memberikan dukungan. Terima kasih banyak, Dita dan Kak Fiqa.
    ***

    [Menuju 3 hari keberangkatan].
    Tiga hari menjelang hari keberangkatan, Alhamdulillah saya diuji dengan diberikan nikmat sakit. Kondisi tubuh benar-benar melemah dan suhu badan yang tidak karuan tingginya. Mungkin efek karena seminggu terakhirnya saya porsir tidur enggak tidur dan kurangnya nafsu makan meski saya tetap makan 3x sehari. Mau tidak mau, saya dianjurkan untuk suntik neurobion. Saya ingat itu hari Jum’at dan keberangkatan saya di hari Senin pagi pukul 07.40 WIB. Mama saya langsung khawatir. Apalagi ia tahu kalau keberangkatan saya ke Jakarta bukan cuma untuk lomba, melainkan akan melakukan perjalanan lagi ke beberapa kota. Kebiasaan ngebolang sendirian, kalau Ibu saya bilang.
    “Yah dek, masa sakit pas mau berangkat gini. Besok Sabtu kan Ika bilang ada kerja di kampus dari pagi sampai malam. Tambah lagi nanti mau lanjut ngebolang sendirian. Gimana tuh?,” tanya Ibu saya khawatir sambil mencoba mengompres demam saya dengan kain basah.
    “Bisa. Ika bisa, Ma,” jawab saya singkat. Rasanya ingin jawab lebih panjang lagi untuk meyakinkan Mama, tapi saking menggigilnya tak karuan, saya cuma bisa melontarkan kalimat itu ke Mama. Lalu, saya tidur (yelah kalau urusan tidur, enggak dalam kondisi apapun saya nomor satu memang hahaha).
    Esoknya di Sabtu pagi (13 Januari 2018), saya ditugaskan menjadi notulen dalam kegiatan Musyawarah Nasional Ikatan Alumni USU (MUNAS IKA USU) yang pertama di Gedung Biro Rektor USU. Kerjanya dari pagi sampai malam. Dengan kondisi masih demam tinggi, saya pun berangkat ke kampus.
    Alhamdulillah, di tengah kondisi seperti itu Allah masih mampukan saya untuk bekerja dengan semaksimal mungkin. Memang benar, ketika jatuh sakit itu harusnya dilawan bukan malah melemahkan diri. Yang penting, semangatnya itu loh! (eaak sok kuat saya mah, padahal uda terseok-seok aja di rumah hahaha).

    [Hari pertama di Jakarta. 15 Januari 2018]
    Selepas Subuh saya menuju Bandara Kualanamu yang membutuhkan waktu tempuh 1,5 jam dari rumah saya. Boarding time paling lama pukul 7 pagi dan saya langsung menuju Gate 6 untuk menunggu panggilan penumpang memasuki pesawat. Ada rasa campur aduk ketika saya duduk di antara para penumpang yang pagi itu menunggu di ruang gate. Matahari pagi juga pelan-pelan seolah memberi cahaya ke dalam ruangan yang kemudian saya tangkap melalui kamera telepon genggam. Sebelum berangkat, seperti biasa saya mengirimkan pesan singkat ke teman-teman yang menurut saya perlu untuk diberi kabar. Tidak banyak, hanya beberapa saja. 
    Sesampainya saya di Jakarta, kurang lebih pukul 10.15 WIB, sebuah pesan masuk ke WA saya. Salah satu finalis lomba dari Jambi, Kiky namanya, mengabarkan bahwa dirinya sudah menunggu tepat di depan kursi dekat bagian pengambilan bagasi. Ya, Kiky memang sejak awal dibuat grup WA finalis, ia menanyakan siapa yang kira-kira punya jadwal keberangkatan sama dan saya menawarkan diri untuk itu (berhubung memang biar sekalian punya teman juga ke penginapan hehehe).
    Alhamdulillah, kita tiba di Hotel Sofyan Inn Tebet, Jakarta Selatan dengan selamat meski ketika kami datang, Jakarta diguyur hujan deras. Sesampainya di lobi hotel, kami bertemu dengan Pak Ali (nama lengkapnya Alie Humaedi, seorang peneliti utama di LIPI sekaligus Ketua Panitia dalam perlombaan ini). Dugaan saya (mungkin juga sama dengan yang dirasakan oleh para finalis lainnya), Pak Alie adalah orang yang kaku dan formal sekali. Mengingat beliau adalah peneliti utama bidang kemasyarakatan dan kebudayaan di LIPI, saya rasa ekspetasi seperti itu sudah biasa hehe (maafkan kami ya, Pak Alie). Ternyata, Pak Alie orangnya humble sekali, sangat friendly, pola pemikirannya fleksibel dan tajam. 
    Ini nih namanya Pak Alie Humaedi. Beliau banyak mengajarkan pelajaran baru buat saya dan teman-teman finalis. Terima kasih, Pak. Sudah mau kami repotin. Sukses terus buat, Pak Alie.
    Tadinya menurut susunan pembagian kamar peserta, saya akan berbagi kamar dengan finalis asal Jember, Kak Desi namanya. Namun, dikarenakan Pak Alie melihat kedatangan saya dan Kiky yang barengan dan mungkin saja kami terlihat sudah kompak di mata Pak Alie hahaha, akhirnya kami pun diberi keluwesan apakah mau mengganti teman sekamarnya atau tidak. Saya sempat pandang-pandangan sama Kiky karena sebelum tiba di hotel, kami sudah sempat berkomunikasi dengan teman sekamar kami masing-masing. Saya harusnya sekamar dengan Kak Desi (Jember) dan Kiky harusnya sekamar dengan Tina (Bandung). 
    Alhasil, pilihan kami adalah mengganti teman sekamar dengan alasan awalnya menghargai tawaran dari Pak Ali. Selain itu, Tina juga masih dalam perjalanan menuju Jakarta yang kemungkinan besarnya akan tiba sore hari. Sedangkan Kak Desi sesampainya di hotel (sebelum saya dan Kiky), langsung izin keluar lagi dengan temannya untuk memperbaiki telepon genggamnya yang katanya sedikit bermasalah. Kami kemudian saling menghubungi teman sekamar kami sebelumnya dan menyampaikan pergantian kamar tersebut. Jadilah, saya dan Kiky menjadi penghuni kamar 242 selama dua hari ke depan (saya lupa fotoin nomor kamarnya hehe, maapkeun).
    Sesampainya di kamar, saya dan Kiky kelaparan hahaha. Lalu, seorang teman di kamar sebelah yang sudah mengetahui kedatangan kami, I Komang Sukarma namanya (dari Bali), kemudian chat ke saya. “Rizka, kalian sudah makan siang ? Mau makan siang bareng gak ? Aku kelaperan,” begitulah kira-kira isi chat-nya. Saya pikir, Komang ini anaknya agak sedikit elegan (tapi memang iya sih hahaha), ternyata orangnya kocak dan absurd. Komang satu kamar dengan Ricky (dari Universitas Indonesia, Jakarta) dan menjadi penghuni kamar 244 (tepat di samping kamar saya dan Kiky).
    Keakraban kami berempat (saya, Kiky, Komang, dan Ricky) berlanjut ketika kami memutuskan untuk memesan makan siang pakai aplikasi go-food dari hape saya. Kenapa pakai aplikasi itu ? Karena siang itu hujan sedang lebat-lebatnya dan tidak memungkinkan kami untuk mencari makan siang di daerah yang kami berempat sama-sama tidak paham. Sementara para finalis lain belum sampai, kami berempat yang menjadi penghuni awal di hotel pun mulai menampakkan tabiat-tabiat yang bisa dikategorikan aib (aib kok diceritain disini sih? eh ya gapapa lah, kita kan memang gitu orangnya).
    Aibnya sebenarnya enggak aib-aib sekali, ya tepatnya sih rada absurd-lah ya. Kayak misalnya aja, siang itu setelah pesanan makan siang kami datang, kami langsung duduk lesehan di lantai kamar karena tidak boleh makan di lobi hotel berhubung makanannya dari luar. Lalu, dikarenakan tidak ada piring apalagi mangkok yang bisa menampung makanan kami (kebetulan kami pesannya Nasi Sop Ayam), maka kami memutar otak. Pertama kali, Komang langsung mengambil gelas minum di kamar dan lancangnya bilang, "udah kita makan sopnya pakai ini aja".
    "Lah, kan kita enggak ada sendok juga," kata Kiky.
    "Yaudah, makan sopnya begini. Kan nasinya di kertas nasi tuh. Ambil nasinya, baru sopnya diminum kayak air putih," jawab Komang tanpa dosa.
    "Hahaha makan sop udah kayak makan mie gelas kita nih," kataku menyambar sambil tertawa renyah.
    Kami pun tanpa ragu melakukan hal tidak biasa itu. Makan sop dengan gelas dan tanpa menggunakan sendok. Sejujurnya, saya justru senang sama yang beginian. Istilahnya, enggak ada malu-malu atau malah mikir ribet. Ya wong buat makan saja kenapa harus diribetin. Memang sih makan mestilah punya adab dan keteraturan, tapi rasanya di kondisi seperti itu tak ada salahnya. Malah seru kan ? Momen susah senangnya bareng-bareng, ceilaah hahaha. Tapi yang buat lucunya lagi, ya Komang. Kami bertiga (kecuali Komang), baru tahu kalau Komang tidak tahan pedas. Sedangkan cabe merah untuk dicampurkan di dalam kuah sop, menurut Komang sangat sangat pedas. Kalau saya-Kiky-Ricky mah biasa saja, mungkin karena lidah kami terbiasa dengan makanan pedas.
    Si Komang sampai nangis saking kepedasannya dan lompat ke kamar mandi untuk kumur-kumur, sampai gosok gigi loh dia hahaha. Eventually, Komang is my best friend since the day has came around us. Sejak pertama kali kenal dan berbicara dengan Komang, saya tahu Komang adalah orang baik dan ramah. Dia sangat peduli dengan kawan, pengertian, lembut, kocak, asik, tidak segan-segan, tidak pilih-pilih teman dan itu terbukti selama kegiatan berlangsung, meskipun dia memang rada malu-maluin. Sama kayak saya hahaha. But, really nice to have you as my friend, Komang (saya bakal buat tulisan khusus kok tentang Komang dan semua teman-teman LIPI di postingan berikutnya, tungguin ya!).
    Yang bertanya-tanya si Komang yang mana. Nah, itu tuh yang ngambil foto wefie kami, paling depan dia mah hahaha. FYI, untuk foto doang si Komang bisa ngatur wajah dan senyumnya supaya sinkron gitu loh. Daebak! wkwk
    Nah, malam harinya selepas Isya, para finalis dikumpulkan di ruang lobi dan melakukan briefing untuk presentasi esok harinya. Tentunya, briefing malam itu bersama Pak Alie. Poin pentingnya berbicara tentang teknis penilaian meliputi siapa-siapa saja dewan juri, alokasi waktu setiap sesi peserta maksimal 30 menit terdiri dari 14 menit presentasi dan 16 menit tanya jawab. Lalu, Pak Alie juga menjelaskan bahwa di hari dimana penganugerahan hadiah yaitu tanggal 17 Januari 2018, akan dilakukan setelah kegiatan “Dialog Orang Muda”. 
    Dalam kegiatan itu akan dipilih dua orang finalis yang dianggap vokal (belum tentu nominasi juara) dan akan dihadirkan bersama untuk menjadi pembicara dengan Bapak Diaz Hendropriyono, Ph.D (anggota Dewan Pertimbangan Presiden atau Staf Khusus Presiden) dan Ibu Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA (Deputi IPSK LIPI). Keputusan 2 orang finalis yang akan menjadi pembicara akan dilakukan pada tanggal 16 Januari 2018, pukul 18.30 WIB.
    Sebelum ditutupnya malam hari pertama di Jakarta, seluruh finalis melakukan undian untuk menentukan urutan penampilan presentasi esok harinya. Daaaan.. saya kedapatan nomor urut 11. Ya Allah, lamanya (dalam hati saya). Kemudian yang menjadi unik karena saya dan Komang di urutan yang sebelahan. Saya nomor 11, Komang nomor 12. Sedangkan Ricky nomor 8 dan Kiky nomor 9. Dekat-dekatan nomor urut dengan 3 orang teman yang sama-sama absurd selama kegiatan itu, membuat degdegan saya makin degdegan hahaha. Yailah, gimana gak degdegan.. wong saya sangat yakin kalau semua finalis yang akan tampil besok sudah mempersiapkan amunisi dan senjata dengan level yang saya sendiri masih mempertanyakan diri saya, “amunisi saya sudah seberapa kuat toh ?”. 
    Tapi saya kembali lagi ke tujuan ikut lomba ini, semata-mata bukan karena untuk pencapaian semata. Tentu, untuk merajut kekeluargaan dalam keberagaman. Ini yang selalu saya tunggu-tunggu di setiap kegiatan apapun itu dan menjadi poin pentingnya. Ketika bertemu dengan wajah baru, orang baru, karakter baru, dan pengalaman baru akan menjadi catatan perjalanan saya hari ke hari. Perjalanan tentang memaknai hari menjadi sebaik-baiknya manusia. Insya Allah, semoga Allah izinkan selalu.

    [Hari Kedua, Presentasi. 16 Januari 2018]
    Di hari kedua ini, sejujurnya saya sangat-sangat degdegan. Makin degdegan malah dari hari pertama. Ditambah lagi ketika dewan juri sudah duduk di kursi masing-masing. Melihat penampilan teman-teman yang lain Masya Allah keren sekali. Ada yang membuka presentasinya dengan tarian Jawa, lantunan lagu Sunda, bermain Wayang Timplong, menyiarkan Seloko Jambi, dan sebagainya. Slide presentasinya juga tak kalah menarik. Saya semakin memantik diri dengan terus menjaga semangat. Disamping itu, saya melihat kondisi hari makin siang dan presentasi saya akan dilakukan setelah sholat Dzuhur dan makan siang. Saya berdoa, semoga saya tidak ngantuk setelah melahap makan siang. Ya biasalah kan, kalau habis makan siang itu penyakitnya suka nguap-nguap hahaha.
    Giliran saya pun tiba. Sebelum memasuki area presentasi, saya menyempatkan memakai tali Gorga khas Sumatera Utara bertuliskan “HORAS’ dan mengikatkannya di kepala. Mudah-mudahan ini bisa menularkan semangat ke saya dan mengurangi degdegan seharian ini seperti semangat yang terkandung dalam makna kata “HORAS” itu. Melihat kondisi peserta dan dewan juri yang (mulai) kurang semangat, saya memutuskan merubah konsep presentasi. Tidak seperti pada saat latihan di Medan. Saya pure menggunakan dialek (logat bahasa) Medan. Selepas saya mengucapkan 3 salam wajib khas Sumut, “Ahoi, Horas, Mejuah-Juah”, para penonton dan dewan juri seketika tertawa lepas. Alhamdulillah, pembuka yang baik (kata saya dalam hati).
    Presentasi saya Alhamdulillah berjalan lancar. Entah saking semangatnya atau memang suasana di ruangan sangat nyaman, bersyukurnya saya pun mampu menjawab semua pertanyaan dari para dewan juri. Kebetulan memang yang saya presentasikan sangat melekat dengan diri saya sebagai anak Medan. Saya jadi ingat lagu “Anak Medan” yang di salah satu liriknya berkata, “biar kambing di kampung sendiri, tapi banteng di perantauan”. Ya, itu menjadi gambaran perjuangan orang-orang Medan yang terkenal dengan orang-orangnya keras tapi hatinya lembut dan setia kawan. Hehehe, ini bukan rasis loh ya. Based on true story.
    Setelah seluruh finalis menampilan presentasi terbaiknya, kami pun kembali ke penginapan dengan memesan 2 mobil gocar. Lagi dan lagi, Jakarta macet rek hahaha. Jadilah kami terjebak kemacetan cukup lama sehingga tiba di hotel pun sekitar 10 menit setelah adzan Maghrib di Jakarta. Cerita punya cerita, ternyata ada yang ketiduran waktu di gocar. Yelaaah, kelelahan seharian kan. Berpikir keras pula gimana caranya menaklukkan pertanyaan dewan juri. Qadarallah, semuanya begitu mengesankan dan menyenangkan. Semangatnya teman-teman itu loh, aiih aiih salut saya!
    ***
    Nah, itu cerita selama dua hari di Jakarta dalam rangka Lomba Esai Nasional LIPI. Seru gak ? Kurang ya ? hehehe maapkeun kalau kurang seru ya. Eitss.. tapi ini belum selesai ceritanya. Ada satu hari lagi yang sangat mengesankan untuk kami semua. Mau tahu ? Nantikan postingan berikutnya!
    Terima kasih sudah baca. Mampir lagi ya nanti.
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Searching

    • ABOUT ME

    Media Sosial

    • Tumblr
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram

    HUBUNGI SAYA DENGAN EMAIL

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengunjung

    Pict of Me

    Pict of Me

    Catatan Berkarya



    Recent Post

    • Esai Seleksi Beasiswa Karya Salemba Empat
    • Esai Diri (Program Friendship From Indonesia 2017, China - Malaysia)

    Arsip Blog

    • ►  2022 (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2021 (1)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  Juni (1)
    • ►  2019 (8)
      • ►  Desember (2)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (2)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (1)
    • ▼  2018 (6)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  April (2)
      • ▼  Januari (2)
        • Berangkat Aja Dulu (Part 2)
        • Berangkat Aja Dulu! (Part 1)
    • ►  2017 (21)
      • ►  Desember (5)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (2)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juli (3)
      • ►  Juni (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (3)
      • ►  Maret (1)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2015 (3)
      • ►  Agustus (3)

    Label

    • Blog Competition
    • Cerita Rizka
    • Diurna Rizka
    • Esai
    • Pendidikan
    • Petualangan
    • Rizka Gusti Anggraini Sitanggang
    • Tulisan
    • Writing Competition
    Instagram LinkedIn

    Created with MRIL BeautyTemplatesDistributed By Rizka Sitanggang

    Back to top