PERSATUAN UMAT ISLAM : MENGGENGGAM UKHUWAH, MEMBERSAMAI DAKWAH

November 26, 2017

 

“Sesungguhnya kebenaran dapat menjadi lemah karena perselisihan dan perpecahan. Kebathilan sebaliknya dapat menjadi kuat dengan persatuan dan kekompakan” (Islamquotes)

    Perbincangan mengenai persatuan umat Islam sejak dahulu sudah mendunia baik secara spiritual maupun politik. Itulah sebuah keniscayaan yang tidak bisa terbantahkan. Landasan persatuan Islam pun tidaklah sembarangan. Ada aspek normatif berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai kewajiban umat untuk bersatu dan aspek historis yang menegaskan bahwa selama berabad-abad lamanya Islam telah mencetak sejarah emas dalam kekhilafahan. Hal ini telah menjadi kunci bahwa persatuan bukan sekadar telah dibangun, melainkan tugas semua umat untuk menjaga kokohnya pondasi keimanan di tengah beragamnya tantangan global di depan mata.
    Secara normatif, umat Islam bukan semata hanya diperintahkan melaksanakan apa-apa yang utama seperti menjalankan ibadah sholat lima waktu, membaca Al-Qur’an, dan meneladani sifat-sifat Rasulullah SAW. Lain daripada itu dan menjadi suatu kewajiban bagi setiap umat Islam adalah bersosialisasi dan hidup bermasyarakat.
    Tidak salah jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif. Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya. Melalui kitab suci Al-Qur’an, Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.
    Secara garis besar, ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu hablumminallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak ditekankan. Namun, itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan. Hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih kompleks dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.
Seperti yang tertuang dalam Surah Al-Ra’du Ayat 11, “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dimuka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah, sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Allah”.
    Ayat di atas juga menerangkan tentang kedhaliman manusia. Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa kebangkitan dan keruntuhan suatu bangsa tergantung pada sikap dan tingkah laku mereka sendiri.

[Ilmu dan Agama]
    Perubahan sosial bisa terjadi jika masyarakat itu terdidik. Melalui pendidikan, manusia dapat belajar menjalani kehidupan dengan benar dan baik. Melalui pendidikan manusia dapat membentuk kepribadiannya. Islam menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan umat manusia. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengharuskan umat Islam untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Secara teoritis pun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia tidak mungkin dimilikinya tanpa melalui proses pendidikan.
     Menuntut ilmu dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.S Al-Mujadalah Ayat 11). Dalam hadist pun diterangkan,”barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula”. (HR. Bukhari dan Muslim)
      Imam Syafi’i pun turut berpendapat tentang pentingnya menuntut ilmu :
1. Barangsiapa yang tak pernah merasakan lelahnya mencari ilmu walau hanya sebentar, akan meminum kehinaan kebodohan pada sisa hidupnya. Kebodohan adalah pangkal kerusakan umat. Karenanya, ketika pertama kali Al-Qur’an diturunkan, Allah memulainya dengan Iqra’  yang artinya ‘bacalah!’ untuk mengikis kebodohan manusia. Pangkal dari perpecahan adalah kebodohan. Dan yang membuat Islam seakan menjadi momok yang menakutkan adalah karena kebodohan umat akan agamanya. Imam Ali bin Abi tholib pernah berpesan,“Andai orang bodoh itu diam, maka tidak akan ada lagi perselisihan.”
2. Baginya yang melewatkan mencari ilmu pada saat muda, maka bertakbirlah untuknya 4x karena kematiannya sudah terjadi.
Salah satu nikmat terbesar yang Allah berikan kepada kita, sebuah karunia dari Allah untuk kita yang tak ternilai harganya bahkan ini yang membedakan antara diri kita sebagai manusia dengan binatang adalah akal dan makanan akal ini adalah ilmu.
3. Kehidupan pemuda –demi Allah– adalah dengan mencari ilmu dan bertaqwa, bila keduanya tak mewujud, maka tak ada yg menandai keberadaannya. Salah satu yang menjadikan dirinya mulia dibanding yang lain adalah keilmuan yang dimiliki. Orang yang berilmu akan diakui keberadaannya, bahkan dia hidup lebih lama dari usianya didunia. Walaupun ia telah tiada, namun keberadaannya tetap ada melalui washilah ilmu yang dimilikinya. Pun dengan pendidikan, manusia dapat menata kehidupan secara pribadi maupun sosialnya. Seperti yang digambarkan Allah dalam Surah Muhammad Ayat 38, menerangkan bahwa kita disuruh untuk menafkahkan hartanya di jalan Allah. Bagi orang yang awam dan tak berpendidikan agama, maka akan berpendapat bahwa untuk apa kita harus memberikan sebagian harta kita untuk orang lain, yang harta tersebut adalah hasil dari usaha kita sendiri.
      Namun, ini sangat berbeda ketika orang tersebut berpendidikan, pasti ada sisi sifat afektif terhadap sesama yang muncul pada dirinya, yaitu sifat kasih sayang dan mau berbagi sesama. Dan ketika itu terjadi dalam masyarakat, dapat kita bayangkan bagaimana kehidupan di masyarakat itu, apakah masyarakat itu tidak akan berubah baik secara budaya (culture) maupun secara kebiasaan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Maka, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam Al-Qur’an sudah sangat jelas memberikan gambaran kepada umat Islam bahwa pendidikan dapat merubah kehidupan sosial masyarakat. Kemudian, pendidikan pun harus berawal dari diri manusia itu sendiri (Surah Al-Anfaal Ayat 53).

[Ukhuwah Islamiyah]
    Di zaman yang penuh fitnah dan perpecahan seperti saat ini rasa persaudaraan (ukhuwah) dan persatuan menjadi sesuatu yang sangat mahal. Hanya karena mengejar kepentingan pribadi atau golongan seringkali persatuan dan persaudaraan disisihkan atau bahkan tidak digubris sama sekali. Umat Islam semakin mundur dan terpuruk karena perselisihan dan perpecahan diantara mereka sendiri. Padahal Islam memerintahkan umatnya untuk bersatu dan tolong-menolong dalam kebaikan.
    Di sisi lain, sebagian orang memahami dan menerapkan persatuan dengan cara yang salah.  Berdalih “menjaga persatuan”, manusia meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Berdalih “menghindari perpecahan”, manusia tidak mau mengatakan yang haq dan mendiamkan sesuatu yang batil.  Tentu hal ini tidak benar. Tidak mungkin akan tercapai persatuan dan pesaudaraan yang hakiki dengan cara seperti ini.
Banyak sekali dalil-dalil baik dari Al Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk bersatu, menjaga persaudaraan dan juga bekerjasama dalam kebaikan. Diantaranya firman Allah Ta’alaa:
    “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni’mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena  ni’mat Allah, orang-orang yang bersaudara. dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran: 103)
    Manusia adalah homo socialis yang dalam kehidupannya mutlak membutuhkan peran dari manusia lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, agama Islam telah mengaturnya dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam, harus benar-benar mengaplikasikan ajaran-ajaran dari Al-Qur’an, khususnya mengenai kehidupan bermasyarakat. Sesungguhnya Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial yang yang selalu memiliki ketergantungan, bahkan sejak ia masih berupa segumpal darah dalam rahim seorang wanita. Hal ini tergambar dari sabda Rasulullah:
    “Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kecintaan, rahmat dan perasaan di antara mereka adalah bagai satu jasad. Kalau salah satu bagian darinya merintih kesakitan, maka seluruh bagian jasad akan ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan demam” [HR Muslim (2586)].

    “Muslim yang satu dengan muslim yang lainnya seperti sebuah bangunan, saling menguatkan satu dengan yang lainnya”. [HR Bukhari     (6027), Muslim (2585)].

    Pun sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab bahwa makna dari khalaqal insana min ‘alaq bukan saja diartikan sebagai “menciptakan manusia dari segumpal darah” atau “sesuatu yang berdempet di dinding rahim”,  tetapi dapat dipahami juga sebagai “diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri”. Jadi, manusia akan selalu bergantung pada segala apa yang ada di sekitarnya.
    Dalam dunia sosial masyarakat, manusia memiliki tingkat kecerdasan, kemampuan dan status sosial yang berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini juga tergambar dalam Surah Al- Zukhruf Ayat 32 :
    “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”

    Adapun hikmah yang dapat diambil dari adanya perbedaan tingkat yang telah diberikan Allah adalah supaya manusia dapat saling membantu antara satu dengan yang lainya dan agar terjadi persaingan. Karena jika tidak ada persaingan dan keinginan untuk saling membantu maka akan terjadi kehancuran dan kerusakan di dunia. Sebab setiap masyarakat memiliki tingkatan yang berbeda-beda, maka bukan berarti yang kuat boleh menindas yang lemah, yang satu merasa lebih baik dari yang lain dan kemudian menjelek-jelekannya.
    Tanpa kita sadari, seringkali hal-hal sepele justru memicu perhelatan yang dapat menghancurkan pondasi Islam dalam diri manusia. Karena merasa lebih baik atas suatu hal atau pandangan, seseorang dengan mudahnya mencemooh yang tidak sepemahaman dengannya. Maka, disitulah mulai timbul benih perpecahan dari fakta kecil itu. Padahal, Islam telah melarang perpecahan umat Islam yang akan berakibat pada kegagalan. Seperti firman Allah SWT dalam Q.S Al-Anfaal Ayat 46, “Janganlah kalian berbantah-bantahan hingga mengakibatkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan”.
    Sungguh ironis ketika kita melihat umat Islam hari ini. Kesucian Islam dinodai dengan umpatan dan cacian sesama pengikutnya. Kemuliaan Islam dikotori dengan saling mengkafirkan. Padahal Allah SWT berfirman, “Sungguh, inilah umat kalian, umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan-mu, maka sembahlah Aku” (Al-Anbiya’ 92). Kemudian ditekankan kembali pada Surah Al-Mu’minun 52, “Dan sungguh, inilah umat kalian, umat yang satu dan Aku adalah Tuhan-mu, maka bertakwalah kepada-Ku.”
    Allah SWT berserta Rasul-Nya sangat menekankan persatuan diantara umat Islam. Karena hanya dengan persatuan, Islam akan mencapai kejayaannya. Hanya dengan persatuan, Islam akan berada pada posisi sebenarnya.

[Dakwah]
    Peran penting umat Islam dalam menjaga persatuan harus diposisikan sedemikian rupa sehingga pesan moral yang dibawa oleh agama Islam sebagai pembawa risalah Rasulullah SAW. Semua kembali kepada fitrah manusia itu sendiri dengan pengembangan tugas sebagai umat manusia sebagai penyembahan dan kekhalifahan. Kriteria tugas utama umat Islam tersebut menjadi landasan segala tindakan termasuk dalam peran pentingnya terhadap negara dengan tujuan terciptanya negara yang adil dan makmur yang diridhai Allah SWT.
    Persatuan adalah hal yang urgen dalam kehidupan umat Islam. Terlebih lagi ketika umat dalam kondisi berjuang, maka persatuan menjadi lebih penting lagi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Perpecahan yang terjadi pada umat Islam, para ulama, dan para syaikhnya, serta para pemimpin dan pembesarnya sangat disukai oleh musuh-musuh Islam”. Dan, hal itu bisa terjadi lantaran mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
    Sebagaimana firman Allah, “Dan di antara orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya kami ini orang-orang Nasrani,’ ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya. Maka kami timbulkan di antara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat, dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.” (Al-Maidah: 14).
    Persatuan bukanlah hasil sebuah permainan sulap, sim salabim lalu terwujud. Untuk mewujudkan persatuan memerlukan perjuangan lahir batin. Banyak hal yang harus disiapkan untuk itu, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pentingnya persatuan.
Orang yang tidak memahami pentingnya sesuatu tidak akan termotivasi untuk mewujudkannya. Gampangnya, orang yang tak tahu pentingnya uang, dia tak akan berpayah-payah mencari uang. Demikian juga yang tak paham pentingnya persatuan, dia tak akan berusaha menjaga dan mewujudkan persatuan umat.
2. Menguatkan tali hubungan.
Di antara sarana yang dapat membantu terwujudnya penyatuan barisan adalah dengan menguatkan hubungan antara para aktivis dan da’i serta kaum muslimin secara umum. Hal ini bisa dilakukan di sela-sela hubungan pribadi, silaturahmi, berkumpul, menegakkan syari’at bersama, dan saling membantu dalam pekerjaan ataupun yang lainnya. Hubungan saudara sesama muslim yang disertai dengan rasa cinta akan membuka pintu dialog ketika terjadi perselisihan. Kecintaan tersebut akan menjembatani perselisihan yang terjadi di antara mereka. Berbeda halnya bila mereka tidak pernah berhubungan. Kemungkinan besar akan sulit untuk disatukan.
3. Menimbang perkataan yang benar.
Tidaklah seorang muslim merasa keberatan untuk menyatukan barisan, kecuali di hatinya ada nifaq. Tidaklah seseorang cukup berhujah dengan kebenaran, tapi dia juga harus memperhatikan tentang kebenaran dari data dan fakta, disertai dengan penjelasan dan ilmu, metode yang sesuai, dilakukan oleh orang yang pantas, dan hendaknya tidak terburu-buru menjelaskan hal yang dapat menimbulkan perselisihan.
4. Adil dalam menghukumi kesalahan.
Tidak ada manusia yang bisa terlepas dari kesalahan, kecuali Nabi Muhammad SAW, sekalipun orang tersebut bertakwa, berilmu, dan wara’. Sebagaimana telah diketahui, kesalahan merupakan perkara yang bertingkat-tingkat. Salah dalam perkara yang sudah nyata kebenarannya tidak sama dengan kesalahan pada perkara yang masih samar. Menyelisihi dalil yang sudah jelas-jelas shahih tidak sama dengan menyelisihi dalil yang masih muhtamal atau fatwa para ulama. Karena itulah dalam menyikapinya harus adil dan bijaksana.
5. Saling menghormati.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, manusia tidak ada yang ma’shum, kecuali Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, kebanyakan para aktivis tidak menyadari hal ini. Tatkala ada seorang ulama yang berbuat salah, mereka langsung mengkritik dan menjatuhkannya tanpa memperhatikan aturan-aturannya. Hendaknya para ulama dan aktivis saling bermuamalah dengan baik, saling menghormati, baik dengan orang yang lebih tua atau yang lebih kecil.
6. Jangan sibuk mencari-cari kesalahan manusia.
Seorang muslim diperintahkan untuk menjaga lisannya dan menjaga kehormatan kaum mukminin. Maka, hendaknya orang yang sering disibukkan mencari-cari kesalahan orang lain mengintrospeksi diri, boleh jadi hal itu hanya dilatarbelakangi oleh hawa nafsu.
7. Menjauhi perselisihan.
Perselisihan biasanya berawal dari kesalahan, hawa nafsu, dan sifat berlebih-lebihan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm. berkata :
“Dalam hal ini ada beberapa hal yang harus dijaga, di antaranya orang yang diam sama sekali pada permasalahan ini—apakah orang kafir melihat Tuhan mereka—… Oleh sebab itu, tidak sepantasnya bagi orang berilmu menjadikan permasalahan ini sebagai tameng untuk mengutamakan saudara-saudaranya yang ia sukai dan memojokkan kaum muslimin lainnya yang tidak ia sukai. Karena, yang seperti inilah yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan, hendaknya jangan membawa permasalahan ini kepada kaum muslimin yang masih awam, dikhawatirkan akan muncul fitnah di antara mereka. Kecuali, kalau ada seseorang yang bertanya, maka jawablah sesuai dengan kadar ilmu yang kamu miliki.” (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, VI/503-504, Diadaptasi dari Wihdatush Shaffi Dharurah Syaikh Muhammad bin Abdullah Ad-Duwaisy dalam Majalah Islamiyah Syahriyah Al-Bayan, [Juli, 2002], hal. 30-36, sumber : muslimdaily.net)

      Demikianlah sebagian langkah untuk merajut persatuan. Jika umat ini benar-benar mengikuti agamanya, maka mereka akan hidup bersaudara sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya:
“Muslim adalah saudara muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (dalam kesusahan), dan merendahkannya. Takwa itu di sini, -beliau menunjuk dadanya tiga kali- cukuplah keburukan bagi seseorang, jika dia merendahkan saudaranya seorang muslim. Setiap orang muslim terhadap muslim yang lain haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR Muslim no. 2564; dan lainnya dari Abu Hurairah).

     Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. Sebagai penutup dalam tulisan ini, maka ada baiknya jika seluruh umat muslim saling mengingatkan untuk mengkaji Islam lebih dalam. Senantiasa membahagiakan hati Rasulullah SAW dengan persatuan dan menjadikan Islam sebagai agama yang paling unggul di bumi Allah SWT. Rihlah persatuan Islam tiada henti, semoga Allah selalu jaga kita. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin.

***
[Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Esai Nasional IPB Islamic Festival 2017 dari Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Al Hurriyah Institut Pertanian Bogor]

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar