• Home
    • Akademik
    • Diurna Rizka
    • Tulisan
    • _Writing Competition
    • _Blog Competition
    • _Writing Project
    • Petualangan
    I kinda understand now, what growing up gives me.
    Perspective and understanding.
    -Anonymous-

                Beberapa minggu ini bahkan sebenarnya sudah hitungan bulan, pikiran saya mulai sedikit terarahkan (jadi selama ini kemana aja, Neng? Hahaha ngabur duluuu). Entah karena efek terlalu banyak baca buku dan kembali menggalakkan kegiatan wajib membaca buku sebelum tidur malam (meski tetap begadang sampai pagi), atau karena efek usia, atau lebih khawatirnya lagi karena semakin banyak orang-orang yang mulai menggali luka tentang kehidupan saya.
                Lantaran itu juga saya suka tiba-tiba pergi kemana, mungkin ke tempat yang menurut saya bisa menenangkan diri dan berbicara pada diri sendiri. Seperti beberapa hari lalu, saya sempat melakukan kemah sendirian dan kemarin baru saja pergi-pulang naik kereta api sendirian. Hahaha jadi sekarang saya selalu nyaman sendiri begitu? Tidak juga, akan lebih seru kalau dilakukan bersama-sama, dengan Ibu saya dan teman-teman.
                Tapi, kali ini saya enggak ingin cerita tentang kesendirian. Postingan ini real sebagai refleksi dari tulisan-tulisan saya yang secumit-cumit kemudian saya kumpulkan jadi satu disini. Sulit rasanya untuk tidak mengapresiasi pemahaman positif dari setiap perjalanan yang saya lakoni. Saya mengerti bahwa sebenarnya tidak ada yang begitu ingin dirinya berakhir sia-sia. Begitupun saya yang kerap diam-diam memahami bagaimana sebuah proses bekerja.
    Terhitung sejak saya kuliah, omongan-omongan kiri dan kanan membuat saya belajar bahwa orang-orang bukan membutuhkan siapa yang bisa melihat mereka, melainkan siapa yang mampu menjadi pendengar baik. Maka, saya lebih banyak belajar untuk mendengar dengan rasa dan logika. Meski pada poin kesekian, saya bisa saja kalah oleh kenyataan. Tak apa, selama saya masih bisa hidup sebagai manusia yang tidak lupa mengucapkan ‘terima kasih’, ‘maaf’, dan ‘tolong’, tentu menyertakan Allah dalam setiap pilihan adalah yang utama.
                Teman-teman, terima kasih sudah membantu saya dalam banyak hal terutama dalam pembentukan karakter saya sampai sejauh ini. Saya tidak pernah ingin terlalu mengagumi bahkan sampai dikagumi, tapi sedikit memberikan rasa bahagia pada kalian tidak ada salahnya. Oleh karenanya, postingan ini bukan berisi cerita panjang. Layaknya sebuah catatan harian, saya menempatkan kalian sebagai pena dan tintanya. Tanpa pena dan tinta, kertas tidaklah berisi kata-kata.
                Dalam kontemplasi ini, saya turut serius menghaturkan maaf pada diri sendiri karena tidak jarang (mungkin) saya pernah mengecewakan. Tidak memberikan asupan kesehatan yang baik, lupa berkreasi pada hati, dan pernah memaksakan untuk melakukan banyak hal yang sebenarnya diri saya pun ujug-ujugnya sudah minta istirahat.

    ***
    I.                     
    Saya pernah mengalami masa ketika sempat membenci diri sendiri, dengan kebiasaan-kebiasaan yang saya kira tak akan membuat saya maju dan berkembang, terkekang oleh segala aturan dan rutinitas. Ketika zona nyaman menjadi jebakan mematikan, dan saya terjebak disitu. Menikmati apa yang saya dapatkan dan memilih aman. Tapi saya belajar untuk keluar dari zona itu, melawan ego diri. Ternyata, di depan sana begitu banyak jalan dan perjuangan yang bisa saya petik.
    Ketika saya mencoba beberapa kali melepaskan sebuah beban dengan pelarian bersama diri sendiri, saya mengerti bahwa saya sebenarnya rindu. Rindu masa dimana orang-orang merdeka. Bebas melakukan apapun, menjadi diri mereka sendiri tanpa mengikuti arus. Bukankah menjadi jujur kepada diri sendiri lebih baik ? Diri kita langka dan hanya ada satu di muka bumi ini, jadi kenapa kita harus menutupi diri dengan sifat yang lain?

    II.                  
    Bicara soal sesuatu yang dipilah-pilah mana baik dan buruk, jelas itu sesuai kebutuhan masing-masing individu. Begitu berat prosesnya, sampai bisa kehilangan orang-orang terbaik di sekitar. Disinilah sebenarnya kita ditempah sebagai 'pabrik' untuk diri sendiri. Memang benar, ketika kaki sudah berjalan lebih jauh dari biasanya, akan ada sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Merantau dalam waktu sebentar atau lama dan sendirian, bukan suatu hal yang gampang. Sewaktu-waktu bisa bertengkar dengan diri sendiri. Tidak ada yang melerai.
    Melepaskan ego dan mematahkan nafsu, merupakan 2 bagian yang sangat lama mengasahnya. Tapi, saya ingat kata Almarhum Bapak dulu, kalau sesuatu dikerjakan secara berkala dan ikhlas selama 3 bulan berturut-turut, Insya Allah itu jadi sebuah kebiasaan. Sama seperti kita terbiasa meletakkan sepatu di rak sepatu selepas kita pakai. Kalau bukan kita biasakan, sulit logika menerima tentang makna menyusun sepatu yang rapi.

    III.                
    Kebanyakan kita seringkali menjadi korban emosional diri sendiri. Menganggap bahwa apa yang kita putuskan adalah yang terbaik, atau bahkan mengira usaha kita sudah diambang batas sehingga hasilnya haruslah sesuai ekspektasi. Padahal untuk menuju hasil baik, kita seringkali melupakan proses menuju kesananya. Maka tak heran, ada banyak orang yang berhasil tapi lupa dengan orang-orang yang membimbingnya saat terpuruk dulu.
    Dari hal-hal kecil itulah yang membuat saya pribadi sangat senang melakukan apresiasi, minimal dengan ucapan terima kasih. Walau sekesal apapun dengan seseorang, usahakan jangan pernah membenci apalagi mendendam. Suatu waktu, kita tak pernah tahu kapan bakal butuh bantuan beliau. Boleh jadi, saat detik-detik susahnya kita, dia malah menjadi penyelamat.
    Seorang kakak angkatan pernah mengatakan bahwa banyak orang yang senang memberi tetapi masih sedikit orang yang senang menerima. Kita mikir kalau menerima itu adalah hal yang gengsi. Padahal, menerima itu membantu orang untuk menuntaskan niat baiknya. Jadi, mulailah terbiasa untuk menerima (satu dari sekian banyak hal yang kita lupakan maknanya). Termasuk juga menerima segala perlakuan orang-orang kepada kita. Bukan bagian kita untuk membalas perbuatan.
    “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syuuraa:43)

    IV.               
    Sejak masuk usia kepala dua, tidak sedikit hal-hal di sekitar jadi bekal untuk pemantapan diri. Getir rasanya mengingat diri bukanlah lagi anak "ingusan" belasan tahun. Keluar masuk juga orang-orang, entah itu hanya sekadar kenal-singgah hingga nyaman dan menjadi pengingat. Jujur saja, lucu rasanya kalau ingat dulu aneh-aneh bertingkah di media sosial. "Kemarok" kalau kata orang. Sedikit-sedikit upload, sedikit-sedikit komen, sedikit-sedikit like, padahal belum tentu juga orang suka. Mikir juga sekarang, kira-kira apa yang lagi diketik sekarang ini bermanfaat atau enggak ya? Terkadang ya begitu. Niat kita ingin mengingatkan, nyatanya tidak sedikit orang yang berpikiran malah sebaliknya. Allahualam. Semoga kita senantiasa diberikan cara berpikir yang positif.
    Tak khayal, semangat belajar juga naik-turun seperti air laut. Ini yang sering menjadi catatan. Apalagi kalau semangat belajarnya karena ada motif lain. Katakanlah, sedang jatuh hati atau malah patah hati. Bohong rasanya kalau di kondisi itu bilang, "enggak apa-apa". Meskipun itu manusiawi, tentu punya efek samping. Segala sesuatu yang belum waktunya, akan berdampak tidak baik. Itulah kita selalu butuh orang-orang sebagai pengingat.

    V.                 
    Tentu pernah dari mulut kita keluar kata-kata yang merendahkan orang lain. Kata-kata yang sepertinya berniat baik, padahal tidak. Kata-kata yang sepertinya ingin mengingatkan orang lain, justru terlihat ingin mengangkat diri sendiri dengan menjatuhkan orang lain. Kalau tidak bisa membantu kehidupan orang menjadi lebih mudah, paling tidak kita jangan menjadikannya lebih sulit dengan kata-kata kita.
    Satu diantara sekian banyak pilihan, saya memilih menjadi bagian belakang layar. Begitu banyak orang-orang hebat lahir dan berdiri kokoh karena orang-orang yang berada di belakangnya. Belakang layar bukan berarti orang terbelakang atau terpuruk. Aktualisasi menjadi manusia benar-benar terasa disitu. Melihat orang lain berhasil itu jauh lebih menyenangkan. Meskipun menjadi seperti itu, ya harus melewatkan begitu banyak momentum perubahan teman-teman sebaya-seperjuangan. Itu sebuah bentuk pengorbanan yang cukup menarik.
    Kadang kebahagiaan itu begitu terusik dengan mendengar kabar bahagia orang lain. Mulai membandingkan dengan proses hidup yang sedang dijalani sendiri. Setiap orang tengah berjuang, untuk membangun masa depan lantas kita perlu mengorbankan begitu banyak kesenangan hari ini. Tidak ada kemudahan yang melahirkan orang yang kuat. Begitu hukumnya, kan?

    VI.               
    Bagi saya, gagal adalah sebuah hasil usaha, sedangkan kecewa adalah sebuah rasa. Dari segi akademik, mulai dari karya tulis tidak menjadi juara, mendapat pengumuman tidak lolos application, paper gagal siap, beberapa kali gagal berangkat karena kondisi orang tua, dan sederet hasil ikhtiar yang tidak berbuah manis di penghujung akhirnya. Kecewa? Tentu kecewa sekali.
    Ya, sejalan seringnya gagal ternyata pelajaran terselip tentang keyakinan bahwa kita selalu punya cara sendiri untuk menata hati. Yakin, apa yang sudah Allah beri adalah yang terbaik dibandingkan skenario diri. Hakikatnya Allah itu selalu mengabulkan doa, dengan 3 bentuk jawabannya. Entah diberikan segera, Ia tunda, atau Ia gantikan yang jauh lebih baik menurut-Nya.
    Kecewa itu wajar, sangat manusiawi kehadirannya. Namanya juga perihal hati, enggak bisa dibohongi. Sikap kita menghadapi kecewa yang menjadi poin utamanya disini. Memilih menggerutu sepanjang hari, menyesali ketetapan yang sudah dituliskan-Nya, marah dengan apa yang terjadi, atau terus mencoba menata hati. Bukankah luas nikmat-Nya jauh lebih banyak dari apa yang kita minta?
    Just because you don’t see the good in something doesn’t mean it’s not there. Allah has plan for everything. Something that seems bad at the moment can be the best thing that’s going to happen later on.

    VII.            
    Kita tidak perlu menjelaskan tentang siapa kita dan bagaimana kita. Tentang kita yang (mungkin) baik, bekerja keras, penuh toleransi, bertanggungjawab, dan segala hal yang menurut kita adalah yang terbaik dari diri kita sendiri. Orang lain akan mengenal kita bukan dari penjelasan tersebut, tapi dari apa yang kita lakukan.
    Dan seperti itulah sebenarnya diri kita. Saya mengenal beberapa orang yang cukup “keren” di negeri ini. Bagaimana saya mengenal mereka mungkin berbeda dengan orang-orang yang kenal hanya dari apa yang mereka tampilkan di media sosial. Mengenal mereka dengan lebih detail dan menyeluruh, bukan hanya satu arah seperti kita membaca mereka di media sosialnya.
    Dan bukankah memang seperti itu diri kita? Orang yang “mengenal” kita bisa dihitung jari. Dari segala hal pencapaian kita selama ini, dan mungkin orang lain menganggap kita luar biasa dengan pencapaian organisasi, prestasi, dan segudang hal lainnya. Yang benar-benar mengenal kita hanya sedikit. Dan kita tidak pernah menjelaskan tentang diri kita kepada mereka yang sedikit itu.
    Sebab mereka tidak memerlukan penjelasan apapun, sebab mereka mengenal siapa diri kita dan siapa sebenarnya. Barangkali orang lain diluar sana terkagum-kagum dengan kita, sedangkan mereka tidak. Tak semua orang ingin tahu tentang apa yang kita usahakan, sekeras apa perjuangan kita, dan sepanjang apa doa-doa kita. Sekalinya pun ingin tahu, tidak ada yang benar-benar merasa "ada" pada cerita kita. Maka, diam dan bersabarlah.
    Kita tidak perlu menjelaskan, cukup lakukanlah.

    ***

    Cara kita merendahkan hati menentukan setinggi apa kita menapakkan kaki.  Saat kita melangkahkan kaki keluar rumah dengan niatan yang baik untuk sesama, saya yakin semesta akan memberi balasan yang terbaik untuk kita.


    Medan, 20 Agustus 2017.
    Continue Reading
     
    Tidak ada sesuatu hal yang tidak dititipkan rasa oleh-Nya. Entah itu kecil atau besar, yang pasti tugas kita adalah menafkahi rasa dengan asupan hati seimbang-imbangnya. Jangan sampai, amanah-Nya menjadi alasan kita melakukan sesuatu agar sekadar mendapatkan rasa.

                Aduh, kalimat pembukanya rada ribet ya hehehe. Maklum, penulis blognya lagi ngawur ngidul karena lagi sulit mendeskripsikan isi hati (wehee, kayak beneran aja). Jadi begini (uhuk), entah mengapa saya ingin menuliskan ini sejak lama. Hanya saja, menuliskan bagian ini perlu mood yang cukup baik supaya ngena di hati hehehe. Alhamdulillah, mudah-mudahan bisa jadi pembelajaran bersama.
                Sesuai dengan judulnya, kali ini saya mau ngajak pembaca buat baper hahaha. Enggak sih, bapernya juga enggak sampai gimana-gimana. Ini tentang kisah ‘cemewew’ versi saya di masa dulu. Maklum, namanya juga darah muda darahnya para remaja (leh jadi nyanyi dia mah), tentu pernah mengalami jatuh sampai patah hati terseok-seok. Sampai nangis, sampai ngira Allah itu gak adil, sampai ngerasa kok begini amat ya, sampai usaha banget supaya si dia menerima kita. Dan ternyata, itu semua fiktif. Sebenarnya Allah itu sayang banget makanya digeplak dulu. Bukan digeplak pakai tutup panci, tapi dengan ujian agar kita belajarnya paket komplit.

    Kagum dengan Ketua OSIS.
                Ehe, kalau ingat ini ya Masya Allah lucunya malu-maluin. Ini waktu saya SMP (serius, SMP aja uda begini gimana coba SMA-nya hahaha eiits baca dulu yaak). Pertama kali dalam sejarah akhirnya saya kagum dengan sosok yang satu ini. Semuanya dimulai sejak saya memutuskan bergabung dalam OSIS. Jadilah saat kelas 2 SMA, ada beberapa kandidat calon Ketua OSIS yang akan maju untuk pemilihan umum (pemilu). Selama seminggu sebelum pemilu kami pun menyiapkan bahan materi kampanye. Ada 3 kandidat ketua OSIS pada saat itu. Saya, si ‘dia’, dan satu orang teman saya.
                Bisa dibilang dalam seminggu itu kita kerap diskusi bareng sampai sepulang sekolah juga kita sempatkan untuk bahas dan latihan. Meski dibilang kita bersaing, tetap prinsip sportif diajarkan oleh guru. Jadi, pembina OSIS yaitu guru kami sendiri meminta kami untuk melakukan kampanye secara transparan. Alhamdulillah, materi demi materi telah kita susun. Bahkan kita saling bantu untuk membentuk visi misi masing-masing calon.
                Setelah seminggu berjuang melakukan yang terbaik, tibalah hari dimana kami menyerahkan hak suara kepada teman-teman. Sembari teman-teman menggunakan hak suaranya, kami bertiga dikumpulkan di ruang guru. Iya, supaya menghindari kampanye-kampanye lain hehehe. Berhubung teman saya sedang berbincang dengan guru yang ada di ruangan itu, saya dan si dia pun sesekali bertukar tanya. Lupa sih tepatnya dia nanya apa duluan ke saya lalu akhirnya saya malah nyambung sampai ketawa-ketiwi. Cieee, mulai bersemi nih ? Belum hahaha.
                Singkat cerita, akhirnya si dia yang memenangkan pemilu kala itu. Jujur, saya sempat nangis di belakang sekolah karena teman-teman pada ngelus-ngelus pundak saya jadi kayak berasa sedih banget hahaha. Tapi, sewaktu bel istirahat kedua berbunyi, saya berpapasan dengan si dia saat keluar dari kantin untuk beli minuman dingin. Tanpa ragu, dia memberi senyum kepada saya. Begitupun saya membalasnya. Lalu, saya mengarahkan tangan kanan ke arahnya.
                “Selamat ya atas kemenangan kamu. Semoga amanah jadi Ketua OSIS”.
                “Amin, makasih ya uda banyak bantu aku selama kampanye. Kamu gapapa?,” tanyanya ketika melihat mata saya agak sembab. Emang sih saya nangisnya agak lamaan tanpa suara, tapi ya gitu masih ketara hahaha malu banget ini.
                “Ha aku? Emang kenapa?”, tanya saya lagi masih pura-pura bego.
                “Itu, mata kamu sembab. Kamu kenapa? Abis nangis?”, tanyanya lagi dan kali ini mengarahkan telunjuk ke matanya sendiri.
                “Ha? Mataku? Oh gapapa, tadi pas cuci muka itu kemasukan air jadi rada merah makanya agak bengkak,” jawab saya setengah canggung.
                “Oooh aku pikir kamu nangis. Yaudah, aku ke kantin dulu ya”, balasnya seraya meninggalkan saya dan teman-teman.
    ***
                Karena berdasarkan hasil pemilu suara saya hanya beda 2 poin dengan dia, maka otomatis saya terpilih menjadi Wakil Ketua OSIS 1 dan teman saya menjadi Wakil Ketua OSIS 2. Lantas, bagaimana kami selanjutnya? Alhamdulillah, seminggu kemudian kita langsung dilantik dan siap bertugas selama satu tahun kepengurusan.
                Hari demi hari kita sering barengan, bahkan saya lebih sering diskusi tugas sama Ketua OSIS karena Waketum 2 punya kesibukan lain di organisasi Palang Merah Remaja (PMR). Pernah satu hari, diskusi kita belum kelar sampai jelang maghrib untuk mempersiapkan Gebyar Ekskul –acara paling besar pertama dalam program kerja OSIS selama ini–. Dikerjakan di awal bulan karena persiapannya harus mateng dan konsepnya sedikit berubah, lebih terperinci.
                Alhasil, di suatu sore itu saya bolak-balik ngelihatin jam tangan saya.
                “Riz, uda hampir gelap. Kita udahin aja rapatnya ya, lagian kita cuma rapat berdua begini sampai malam enggak enak juga dilihatin anak-anak ekskul. Disangkain kenapa kan”, katanya sambil melihat-lihat mata anak-anak ekskul drumband yang masih semangat latihan sampai sore.
                “Serius gapapa nih kalau kita udahin rapatnya? Iya sih, soalnya aku naik angkot juga takut ntar kemaleman susah dapat angkot karena pasti bakal penuh. Rumah aku jauh”, kataku sambil nyengir.
                “Kamu gak dijemput?”
                “Enggak”
                “Yaudah, aku temenin sampai nunggu angkot deh di seberang sana kan?”
                “Hah? Gak usahlah. Aku sendirian juga berani kok. Pasti masih rame juga yang nunggu angkot hehehe”
                “Gapapa kali. Lagian rumah aku kan di komplek belakang sekolah”
                “Oh bener nih gapapa?”
                “Iya gapapa. Yaudah yok buruan. Itu berkasnya jangan sampai tinggal”
               
                Ini kali pertama saya jalan sama laki-laki selain Bapak saya. Sejujurnya saya enggak berani, lebih tepatnya malu sih sama orang-orang. Dari dulu Bapak saya selalu tegaskan kalau cukup beliau saja yang jadi laki-laki yang antarjemput saya selama beliau masih sanggup ngejagain saya. Ya, emang jalan dari sekolah ke tempat nunggu angkot agak gelap kalau jelang malam tapi tetap ramai orang lalu lalang.

    ***
                Selepas hari itu, saya selalu nolak kalau dia mau ngantarkan saya lagi. Saya jelaskan alasan penolakan karena orangtua, terlebih amanah Bapak. Jadi, demi memudahkan komunikasi kalau ada keperluan mendadak, kami pun bertukar nomor. Beberapa kali percakapan kita berujung pada candaan kalau urusan OSIS sudah kelar. Saya menanggapinya masih biasa saja, sampai akhirnya dia mulai menanyakan hal-hal seputar keseharian saya. Lagi ngapain, sudah makan apa belum, ingatin saya kalau telat makan nanti sakit, kalau malam jangan begadang, sampai yang lain-lain.
                Sebagai perempuan normal dan labil super standardnya anak SMP hahaha, saya juga merespon balik tapi kalau boleh jujur memang hanya sebatas kagum. Sekadar seru aja gitu ada temen ngobrol dan ketawa-ketiwi. Sampai akhirnyaaaa.. pada suatu hari (ceilah), itu orang ngomong gitulah kan (agak geli ngetik di bagian ini serius). Tapi begonya saya, langsung to do point nolak tanpa mikir panjang.
                “Sorry, aku gak bisa. Gak dikasih sama Bapak, nanti ketahuan Bapak aku bisa kena marah,” kata saya waktu itu yang jujur emang takut banget sama aturan Bapak.
    Kenapa saya bilang bego ?
    Yap, bisa dibilang saya cewek pertama yang nolak dia (mungkin jadi sejarah kaliya buat dia). Karena waktu itu dia sampai meyakinkan gitu kalau sekolah saya bakal baik-baik aja. Tetap saja, hati saya bilang enggak bisa. Padahal, kalau saya mau untuk berpikiran ‘matrek’ ya bisa-bisa aja. Beliau itu cukup dikagumi oleh cewek-cewek di sekolah selain dia emang anak orang kaya, hitam manis, dan tinggi (ya cewek sih biasanya pada suka cowok tinggi ya haha maybe). Hemm, mungkin dia masuk kategori cowok idaman pada masa itu.

    ***
                Suatu hari, saya sampai nanya ke dia, “kamu kenapa bisa suka sama saya ?”.
    Dengan plong dan tanpa berdosanya itu orang, dia bilang, “karena kamu jago main basket dan suka olahraga”.
    PLAK! Gelinyaaa saya setengah mati dengar anak SMP ngomong begitu (a.k.a saya juga masih SMP kaan). Pengen lempar bola basket gitu ke dia, pengen nendang pake jurus apa aja yang saya inget waktu itu, pengen nge-smash itu orang kayak bola bulutangkis, dan pengen teriak bilang gini, “duh kamu ngegemesin ya, pengen ditabok mau ndak ?”.
    But as a normal girl, saya enggak bisa ngelakuin hal konyol di atas. Setomboi-tomboinya diri, saya masih punya hati nurani dan memilih untuk mengutarakan baik-baik. Apalagi waktu itu, kita uda mau beranjak kelas 3 SMP. Sudah tahu etika pasti.
    “Kita kan masih sekolah. Kamu ketua OSIS, aku wakil. Kita dekat dan semua orang di sekolah tahu. Bisalah kita untuk berteman baik aja ya. Aku mau sekolah jauh, cita-citaku tinggi dan banyak lagi pengen aku pelajari. Kasian kali kalau nanti kita ngedate tapi aku malah bawa buku kan hehehe,” balas saya dengan bercanda.
    Jadi, setelah saya tolak, kita malah makin dekat dan sering ngobrol sepulang sekolah di meja OSIS dekat ruang guru. Dan kata-kata saya barusan itu, saya utarakan kira-kira sebulanan setelah penolakan itu hehehe. Mungkin, sebulan adalah waktu tercepat buat orang yang bisa nerima baik-baik kalau orang yang dia suka emang enggak bisa nerima.
    Hebatnya, rasa kagum saya ke dia tetap enggak berubah. Bagi saya, dia itu laki-laki humoris, terkadang konyol, unik, berseni, rendah hati, penyayang (terbukti dengan rajinnya dia jemput Mama-nya pulang kerja di Bank Indonesia, secara emang dia anak paling besar dan Papa-nya sering tugas ke luar kota *tahu banget ya saya hehehe).
    Selain itu, dia itu teman ngobrol yang asik karena enggak pernah kehabisan topik pembicaraan. Dia tidak pernah membuat saya bosan. Teman main basket yang sportif karena dia enggak pernah sekalipun pura-pura untuk kalah dari saya supaya saya suka dan luluh gitu sama dia. Enggak, dia enggak pernah gitu. Ya kalau dia menang ya menang dan saya harus siap nanggung kekalahan. Gitu juga sebaliknya.
    Pernah dia nanya, “kamu main basketnya bagus, kamu emang les basket ya?”
    Saya jawab, “enggak, aku diajarin sama Bapak. Hampir semua olahraga dia bisa, jadi aku enggak perlu repot-repot cari guru olahraga sendiri”
    Dia nanya lagi, “Ka, kamu segitu dekat kali ya sama Papa kamu? Kamu itu anak tunggal, tapi yang kulihat kamu itu enggak manja”
    Jujur sih, saya agak senang dibilang ‘enggak manja’ meski memang nyatanya saya emang enggak pernah manja kebangetan sama orangtua. Kalau minta apa-apa tetap mikirlah dan enggak semua saya minta lantas dituruti.
    “Iya, Bapak itu temen segala hal. Bisa jadi abang juga. Semualah pokoknya. Makanya, waktu kamu nembak aku, yang ada aku langsung ngebayangin wajah Bapak. Kamu tau gak? Sebenarnya aku kagum samamu sejak lama. Bisa aja aku nerima dan mencoba suka samamu terus sekolahku bakal tetap baik-baik aja. Kan yang sekolah aku, yang belajar juga aku. Tapi, aku masih cukup sama kasih sayang Bapak. Jadi, maaf kalau waktu itu kamu marah,” jelas saya.

    ***
    Terus, saya tadi bilang dia itu unik. Iya, dia suka ngoleksi uang receh yang uda lama-lama itu hahaha. Saya hectic banget sama barang langka dan rada jadul. Bahkan, setelah dia tahu kesukaan saya itu, ternyata diam-diam dia minta tolong sama Mama-nya buat ngumpulin uang-uang logam jadul yang ada di kantor. Dan di suatu sore seperti biasa waktu ngobrol di meja OSIS, dia ngeluarin kaleng dan terdengarlah suara ‘krenceng-krenceng’ logam dari dalam kaleng.
    “Buat kamu,” katanya tiba-tiba sambil menyerahkan kaleng itu.
    “Ini apa?,” tanya saya yang masih memandangi kaleng itu.
    “Logam jadul. Aku minta sama Mama dari kantornya. Simpan ya,” katanya.
    Tanpa mikir panjang, saya langsung membuka isi kaleng itu dan menemukan banyak sekali jenis logam jadul disana bahkan beberapa ada uang kertas jadul dari Indonesia dan negara Asia lainnya. Saya inget, waktu itu saya benar-benar senang sekali sampai saya melontarkan kata-kata yang mungkin rada nyeleneh.
    “Kaleng ini bakal aku simpan, aku jaga. Meski nanti kita bakal pisah jauh, aku tetap jaga. Meski aku sampai kapanpun enggak bisa nerima kamu untuk lebih dari sekedar temen, percaya kalau kaleng ini bakal aku jaga. Lain kali, kamu enggak perlu minta tolong sama Mama, karena bakal lebih seru kalau kita nyari uang-uang jadul itu bareng-bareng. Jadi kalau kondisinya gitu, hemm kayaknya boleh deh aku kasih kamu kesempatan buat jadi pacar aku, ya hitung-hitung sehari kan cukup ya? hehehe”
    Nyaris. Nyaris aku ketawa terbahak selepas ngomong gitu. Dia yang kaget dengar saya ngomong gitu, langsung pasang wajah melongo. Cepat-cepat saya gelengkan kepala dan minta maaf sambil masih terkekeh sendiri.
    “Bercandamu itu kadang buat aku spot jantung, Ka,” katanya.
    “Hahahaha maafloooh. Kamu tetep jadi teman baik aku sampai kapanpun. Makasih banyak ya. Semoga nanti pacarmu enggak konyol kayak aku hahaha”
    “Iyaa aku tau kok. Makasih banyak uda jadi temanku ya, Ka. Mudah-mudahan pacarku memang jangan kayak kamu, Ka. Enggaklah, gak mau lagi ditolak hahaha,” balasnya sambil tertawa juga.

    ***
    Saya tahu, dia itu anak baik-baik bahkan sampai sekarang (setelah beberapa kali kita sempat ngobrol lagi lewat DM Instagram karena saya duluan yang negur untuk nanya kabar dan waktu itu saya menuruti permintaannya untuk follback hehe). Saya juga tahu, masa SMP memang masih terlalu dini untuk ngomongin soal kagum-kaguman, tapi dia ngasih saya kesempatan pertama kali untuk memilih antara ego sendiri atau hal yang lebih baik di depan sana.
    Lagi, saya tahu kalau sekarang dia ternyata memilih sendiri sampai tiba waktu yang tepat dengan terus semangat berkarir (iya, dia sempat curhat dengan saya di DM). Saya bangga, saya kagum, dan akan terus kagum dengan orang-orang yang berproses. Seengaknya teman berproses saya juga makin nambah hehehe. Asik kan ya kalau positifnya rame-rame gitu. Lalu, saya pun turut mendoakan supaya dia segera menemukan sosok yang tepat dan bisa menerimanya lebih dari sekedar temen. Bukan malah menolaknya mentah-mentah macem saya dulu hahaha.
    Begitupun, kaleng logam jadul akan jadi kenangan masa SMP yang akan saya ceritakan kelak ke generasi berikutnya tentang rasa ikhlas. Bahkan bakal saya ceritain juga kok nanti sama Babang (hehe) yang akan dampingi dan menempatkan hati di satu-satunya podium terbaik sebagai lelaki hebat setelah Almarhum Bapak saya, Insya Allah selamanya.
    Buat apa?
    Iya, supaya kita sama-sama tahu kalau ternyata ada orang yang pernah kita ikhlaskan untuk seseorang yang memang diridhoi-Nya. Jadi kita enggak perlu menutupi masa lalu. Karena tanpa mereka, kita enggak akan belajar untuk melompat lebih tinggi dan ketemu sama yang benar-benar pasti (sampai sekarang, saya juga belum nemu hahaha).

    ***     
    Tapi emang benerlah, ngejagain satu anak perempuan itu lebih ribet ketimbang ngejagain 100 ekor sapi atau lebih. Gitulah istilahnya. Nah, kalau dipikir-pikir lagi nih sekarang, emang waktu itu ada bagusnya juga saya enggak nerima dia. Bukan sombong sih ya, apalagi sok jual mahal juga (emang saya uda gimana banget sampai harus gitu hahaha dekil begini ya ampun). Tapi percaya sama kata-kata orangtua itu Insya Allah enggak akan buat kita terjerumus ke hal-hal yang enggak baik kok. Walau sulit diterima karena faktor usia yang pengen bebas dan lasak kemana-mana, it’s okay enggak jadi masalah. Asalkan, tetap patuh sama orangtua. Sebandel apapun kita, kalau masih ada rasa takut sama Bapak-Ibu, saya yakin itu orang bakal jadi orang bertanggungjawab sesuai porsinya.
    Ya meski pada akhirnya sampai sekarang saya tetap ngejomblo (at least 20 tahun lebih 7 bulan coyy hahaha), Alhamdulillah, saya belum pernah pacaran. Ya meskipun terakhir di masa SMA pernah dekat dengan seseorang (sampai orangtua saya juga tahu karena anaknya nekad datang ke rumah dengan modus minjem buku catatan saya hahaha), tentu sama halnya dengan cerita ini. Ujung-ujungnya saya nolak kalau untuk status kekinian itu hehe. Sampai teman-teman saya di kampus bilangin saya jomblonya parah banget. Sampai dikira saya ini enggak normal (astaghfirullah) dan sampai disangka saya ini uda mati rasa hahaha. Duh, jauh-jauhin yaaa dari dua prasangka itu.
    Hemm saya cuma belum menemukan. Kalaupun ada, saya juga belum tahu siapa orangnya. Entah dekat atau jauh, entah teman lama atau kenalan baru, entah cepat atau lambat bakal ketemu, entahlah siapa hahaha.
    Saya yakin, kalau kita menjaga tentu seseorang dimanapun ia berada juga tengah melakukan hal yang sama. Tinggal lagi, belum waktunya dipertemukan. Meski belum saya temukan jawabannya dan membuktikan filosofi itu bener atau enggak, saya tetap berusaha mengikuti kata hati.
    Seperti kata seorang sahabat lama saya yang sudah lama sekali tidak kontakan dan terkadang rindu juga untuk mengobrol tentang mimpi sekolah bareng ke Jerman. Ia mengatakan, “apapun kondisimu dan dimanapun posisimu, tetap selalu ikuti kata hatimu karena ia takkan pernah berbohong”.
    Semoga sahabat saya tetap sehat dan suatu saat bisa bertemu.

    ***
                  Tentang rasa, akan ada masa dimana kita belajar ikhlas dan tidak memaksakan ego sendiri. Tentang rasa, harusnya memang patut disyukuri karena tandanya kita normal dan satu dari sekian banyak nikmat-Nya adalah dengan ditanamkannya rasa itu kepada kita. Jadi, kita enggak seharusnya merasa sedih karena ditolak. Kita juga enggak semestinya menunggu sampai orang tersebut membuka hati dan menerima kita di kemudian hari, eh tahu-tahunya dia enggak sama kita hehe. Dan kita tak sepatutnya menganggap bahwa rasa mesti selalu diwujudkan dengan ‘ikatan tak resmi sebelum waktunya’. Kalau sudah yakin dan siap, kenapa harus menunda niat baik ? Tapi, menyegerakan itu bukan harus terburu-buru loh.
                Ya, dari cerita saya ini semoga kita bisa sama-sama belajar.
                Enggak jauh-jauhlah pasti kita semua pengennya menjadi pribadi lebih baik. Intinya, jangan malu untuk memperbaiki diri sekalipun itu bakal kena ledek temen-temen dekat. Toh sebenar-benarnya teman itu akan selalu mengingatkan bukan malah mendukung yang jelas-jelas ada larangannya. Saya juga tengah belajar kok. Sembari belajar juga berdoa supaya dipertemukan dengan yang sevisi-misi. Inginnya bisa lanjut sekolah sama-sama, memulai sama-sama, membangun sama-sama hingga mengangkasa bersama. Tentunya, tetap memegang prinsip ‘kesederhanaan’.
     
    ***
                Buat teman-teman, jangan bingung apalagi sampai keliwehan galau karena kagum sama seseorang. Lantas ingin memiliki ? No no no! Itu hanya perasaan sesaat. Ikhlaskan saja ketika rasa itu hadir, kemudian tingkatkan kualitas diri. Mudah-mudahan bakal diarahkan tuh rasanya ke arah yang lebih baik. Ibarat kompas kan ya hehehe. Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita tuai. Kurang lebih seperti itu.

    Medan, 05 Agustus 2017
    Diurna Rizka.
    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Searching

    • ABOUT ME

    Media Sosial

    • Tumblr
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram

    HUBUNGI SAYA DENGAN EMAIL

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengunjung

    Pict of Me

    Pict of Me

    Catatan Berkarya



    Recent Post

    • Esai Seleksi Beasiswa Karya Salemba Empat
    • Esai Diri (Program Friendship From Indonesia 2017, China - Malaysia)

    Arsip Blog

    • ►  2022 (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2021 (1)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  Juni (1)
    • ►  2019 (8)
      • ►  Desember (2)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (2)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (1)
    • ►  2018 (6)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  April (2)
      • ►  Januari (2)
    • ▼  2017 (21)
      • ►  Desember (5)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (2)
      • ►  September (1)
      • ▼  Agustus (2)
        • Kontemplasi : Catatan Harian Mahasiswa Biasa
        • Rasa ; Hadirnya Mengajarkan Ikhlas
      • ►  Juli (3)
      • ►  Juni (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (3)
      • ►  Maret (1)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2015 (3)
      • ►  Agustus (3)

    Label

    • Blog Competition
    • Cerita Rizka
    • Diurna Rizka
    • Esai
    • Pendidikan
    • Petualangan
    • Rizka Gusti Anggraini Sitanggang
    • Tulisan
    • Writing Competition
    Instagram LinkedIn

    Created with MRIL BeautyTemplatesDistributed By Rizka Sitanggang

    Back to top