Marhaban Yaa Ramadhan : Kebahagiaan Menyambutmu

Juni 04, 2017




Hard times are like a washing machine. They twist us, spin us and knock us around.
But, in the end we come out cleaner, brighter, and better than before.
           
Akhirnya, saya berhasil menemukan kata di atas sebagai pembuka tulisan ini. Dengan sedikit bantuan dari media sosial seorang murobbi sejak SMA, Alhamdulillah judul di atas pun mendarat dengan mulus. Hemm, jangan dianggap berat dulu ya atau mikir ini tulisan bakal ketinggian ceritanya. Enggak kok, saya disini mau melipir sedikit tentang bagaimana rasanya menanti-nanti bulan penuh rahmat ini.
Kalau boleh jujur, saya memang menunggu kehadiran Ramadhan dengan penuh sukacita. Setiap hari, tanpa orang lain berhak merasa tahu. Setiap hari, tanpa merasa bahwa hanya saya yang begitu berdebar dan berpikir keras perkara apa yang harus saya lakukan untuk membuat ibadah semakin membaik. Apalagi di bulan kebaikan.
Naif rasanya seorang Rizka bisa bicara seperti kalimat sebelumnya. Saya masih malu untuk berani mengungkapkan hal-hal beginian. Alhasil tertuang di rumah pribadi ini, blog saya. Kadang saya berpikir, seperti apa pandangan orang lain tentang pemahaman saya yang masih sedikit ini. Kadang saya memperhatikan situasi kondisi setiap kali saya selesai berbicara pada teman. Apakah cara bicara saya begitu kaku ? Atau apakah saya yang terkesan memaksa orang lain untuk paham tentang saya yang sekarang ? Allahualam.

Sebelum ke topik pembicaraan..
Memasuki angka dua tahun sejak memutuskan untuk berhijab dengan baik. Dimulai dari pakai hijab double hingga mengganti bahan dasar hijab itu sendiri agar saya tidak perlu men-double untuk menghindari transparan. Tidak hanya penutup kepala, tapi juga dalam berpakaian. Saya mulai membereskan celana jeans yang sering saya pakai dulu ke dalam satu kotak. Baju-baju kaos tangan pendek dan berbahan ketat, juga saya jadikan satu. Biarlah mereka bertemu dan berkumpul di kotak itu. Mungkin saja, ini jalannya mereka bersilaturahmi hehehe.
Dalam memilih warna pun saya kerap hati-hati. Entah mengapa, nurani sering sekali tidak menerima warna-warna begitu mencolok. Alhamdulillah, saya bersyukur karena penolakan nurani itu justru tidak terlalu menyulitkan saya ‘terbiasa’ dengan pakaian seperti sekarang. Awal mula, teman-teman saya mengernyitkan dahi. Mereka mungkin takut kalau temannya ini hanya ‘panas-panas’ di awal saja. Lagi-lagi, Allah senantiasa menguatkan saya. Di saat saya sedang menduram, Allah tegur melalui gambaran-gambaran di sekeliling saya. Seolah-olah Allah tidak ingin mendobrak hati saya begitu kuat. Ini lebih indah daripada testimoni para pasangan yang elok menampilkan kemesraan mereka secara terang-terangan. Ternyata benar, mencintai diam-diam itu jauh lebih elegan dan tentunya ada rasa penasaran dari hari ke hari. Ya, saya mencintai-Nya diam-diam.
Mengingat kembali ke masa permulaan itu, bisa buat hati saya pilu. Siap tidak siap, saya harus ikhlas menerima bahwa ada yang namanya datang dan pergi. Teman-teman yang merasa bahwa saya ‘berbeda’, perlahan memberi jarak pada sebuah ikatan. Lantas, mereka yang selama ini tidak saya kenal, malah begitu rela membantu saya. Bersyukur, sejak dahulu saya tidak menerapkan sistem ketergantungan antara saya dengan teman. Apapun yang hendak ia lakukan, silahkan. Kalau ada yang kurang tepat, saya akan tegur. Begitu sebaliknya. Itu jugalah akhirnya membuat saya tetap merasa baik-baik saja ketika harus menerima kepergian teman lama karena mereka tidak sepakat dengan perubahan saya. Kemudian, memberi salam atas kedatangan teman baru untuk bersuka-duka bersama.

Maka itulah hakikat ujian. Terlihat begitu berat dan sulit di awal.
Namun tatkala kita mampu melaluinya dengan sabar, bisa jadi itulah penambah tingkat ketaqwaan.  Membuat kita belajar ikhlas menjalani ketetapan.
Lebih kuat menghadapi tantangan.




Tidak ada kata terlambat.
Saya sempat beberapa kali bertanya kepada teman dekat.
“Bagaimana pandangan kamu tentang saya ?”
“Bagaimana dengan pakaian saya?”
“Bagaimana karakter saya? Apakah selama ini kamu menerima saya dengan ikhlas?”
“Apakah saya terlihat sombong di mata kamu?”

Kurang lebih pertanyaan-pertanyaan itulah yang wajib dijawab oleh teman-teman. Kaget sih pasti ya, kenapa tumbenan Rizka mau nanya begituan. Namun, seiring pertanyaan itu dibahas terus-menerus, saya pun merasa bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan hati ikhlas, Insya Allah pancarannya akan tetap terlihat. Tidak perlu membuat diri kita harus terlihat begini-begitu di mata orang lain. Toh, tujuan kita kan hanya satu. Baik di mata Allah. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Al Baqarah ayat 216 yang artinya :

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”

            Jika memang seseorang peduli pada kita, tentu ia akan mengingatkan dengan cara yang baik-baik. Tidak sesumbar dan tetap dalam penjagaan. Di belakang layar, teman-teman saya tidak lepas untuk terus mengingatkan saya.
          

“Riz, ketawanya jangan kelepasan. Dijaga”
“Kalau marah jangan dinampakkan wajah masamnya. Wudhu sana atau dilawan dengan senyum. Senyum kan ibadah, Riz”
“Cakap-cakap di luar yang enggak terlalu penting, enggak usah dihiraukan, Ka. Didoain aja semoga dia besok-besok enggak gitu lagi”

Alhamdulillah, hal-hal tidak terduga mulai saya temukan. Perbanyak saudara adalah satu diantaranya. Saya memang bukan tipikal orang yang menuntut diri harus sekian kali ikut kajian atau semacam liqo. Paling tidak, saya ikut pertemuan di setiap Jum’at dengan sahabat-sahabat fillah. Ya, saya lebih mencukupkan diri dengan membahasnya satu persatu dari Al-Qur’an dan hadits sahih. Menurut saya, itu sudah menjawab segala macam pertanyaan kita. Kalaupun terbesit pertanyaan tentang hal-hal yang sulit saya terjemahkan dari apa yang dibaca, ya saya memilih untuk berdiskusi dengan murobbi. Insya Allah, dengan penjelasan yang lebih ringan bahasanya, saya pun mulai membuat beberapa poin-poin penting. Supaya diingat gitu hehehe.
Sepanjang perjalanan ini, saya teringat dengan perkataan Almarhum Bapak saya. Sejak saya SMP, beliau selalu meminta saya untuk mengenakan hijab syar’i. Lantas, jawaban saya mah seenak jidat dengan bilang, “panas, Pak!”. Hahaha kalau sekarang dipikir-pikir, saya kepingin noyor kepala sendiri. Berani-beraninya coba saya ngomong begituan. Tapi, tidak ada satu hal terlambat, selama kita lekas bergerak menuju perubahan begitu hidayah telah memilih kita.
Ohiya, satu lagi. Sebenarnya hidayah itu dijemput bukan ditunggu. Banyak orang yang bilang, “saya mau menutup aurat nanti sajalah, kalau sudah tua”. Terus, kalau besok malaikat pencabut nyawa datang ke kita, bukannya kesempatan kita akan hilang? Lalu, ada juga mengatakan, “saya mau menutup aurat nanti kalau sudah menikah”. Nah, jadi landasannya menutup aurat bukan dari hati, Mbak? Bukankah akan lebih indah kalau ladang pahalanya bisa dirawat dari sekarang?
Jujur, saya pun termasuk orang yang dulu mikir banget buat pakai jilbab lebar. Takut panas adalah rasa yang tidak bisa saya pungkiri. Semua orang berjilbab, awal-awalnya mungkin akan merasa demikian. Namun, lagi-lagi kalau alasannya memang dari hati alias bukan karena siapapun atau apapun, Insya Allah selalu ada kemudahan atas kesulitan. Saya juga dulu tomboi bukan main. Bisa dihitung berapa teman cewek yang saya punya. Meskipun sampai sekarang pun tidak membatasi berteman dengan gender cewek atau cowok, Alhamdulillah seringnya berkumpul dengan teman-teman shalihah, tidak ada tuh yang namanya gosipan. Ya, kebanyakan orang akan menganggap ketika cewek pada ngumpul, hal yang dilakukan adalah membicarakan orang lain. Enggak kok, enggak selamanya begitu. Kita malah sering membahas soal tugas kuliah sampai ingin buat usaha bareng-bareng. Eh tapi ini bukan masuk unsur pembelaan atas hak perempuan ya. Saya ngomong jujur apa adanya karena memang begitu pengalamannya.
Intinya, tidak ada kata terlambat. Semoga hidayah senantiasa menghampiri kita. Semakin mendekatkan diri kepada-Nya.

Ramadhan Tiba.. Ramadhan Tiba..
Kenapa sih Rizka bahas cerita-cerita zaman dulu itu?
Nah, ini sebenarnya yang mau disampaikan. Cerita di atas sebagai pengantar tentang kerinduan saya dalam menyambut bulan suci Ramadhan ini. Tidak ada hal yang begitu signifikan memang, hanya terasa berbeda ketika sebelumnya kalau bahas bulan Ramadhan, melulu mikirnya : buka puasa bareng (bukber) dengan teman SD, besoknya sama teman SMP, besoknya lagi sama teman SMA, besok-besoknya sama teman kuliah hingga organisasi yang dari anggotanya entah kemana sampai organisasi yang bisa mesan semua meja di satu tempat makan. Tidak hanya itu, doktrin lain juga turut ambil andil, seperti makanan buka puasa harus yang enak-enak sampai di hari-hari penutupan bulan puasa mulai deh keliwungan ke Tunjangan Hari Raya (THR). Kepingin nemplok jidat lagi rasanya kalau ingat itu hahaha.
Ya, itu sih dulu, sebelum negara api menyerang. Sekarang?
Kalau sekarang, kerinduannya sudah beda nuansa. Mungkin ini efek saya yang makin ‘tuir’ alias tua. Mikirnya sudah entah kemana-mana. Persiapan untuk menumpahkan rasa kangen sama bulan Ramadhan juga sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Tentang begitu nikmat menahan nafsu apapun, mulai dari nafsu makan dan minum hingga nafsu buat ‘tempus’ (baca: buka puasa diam-diam) hahaha. Kali ini, niatan buat pergi Shalat Tarawih bukan karena mau minta tanda tangan Pak Ustadz (ingat dulu kan waktu sekolah wajib ngisi Buku Laporan Kegiatan Selama Bulan Ramadhan) atau sekadar cuci-cuci mata karena bakal banyak wajah-wajah tampan yang berkeliaran selama Pak Ustadz memberikan khutbah. Astaga, jangan ditiru ya. Itu tuh zaman saya ababil dulu loh, sekarang sudah mulai tahu diri.
Palingan kalau mau bandel, saya pasti mikirin dampaknya ke diri saya. Terus juga, apakah itu bermanfaat atau enggak. Menurut saya, bandel sih boleh-boleh saja. Untuk remaja di masa-masa usia seperti saya ini, itu masih wajar. Saya juga masih suka bandel. Asal tetap ingat batasan. Batasan apa yang sudah digariskan dalam pedoman bacaan kita, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Lalu, jangan lupa buat sering-sering mendengarkan. Sedikit berbicara, banyak mendengarkan. Itu akan menempah kita menjadi lebih baik (Insya Allah). Di dalam disiplin ilmu yang saya pelajari sejak jadi mahasiswa, pun berulang kali dosen saya bilang bahwa proses mendengarkan sangatlah dibutuhkan. Apalagi di era yang katanya “era millenial”, toh.
Dan akhirnya, kerinduan saya akan terbalaskan. Alhamdulillah, tidak terasa sudah mau dibuka pintu bulan Ramadhan. Insya Allah, niat-niat yang selama ini sudah dituliskan dan diketukkan dalam hati, bisa terlaksana dengan baik. Kalaupun ada halangan-rintangan menghadang, tak jadi masalah dan tak jadi beban pikiran (eh, kok jadi mirip soundtrack lagu Kera Sakti).
Ralat-ralat. Jadi, kalaupun ada halangan-rintangan menghadang, mudah-mudahan saya diberikan kekuatan untuk menembus batas-batas itu. Sebab, bulan Ramadhan ini akan sangat banyak cobaan yang menyiratkan manfaat dan pembelajaran kalau kita benar-benar mengisinya dengan hal-hal baik. Senantiasa bersyukur dan ikhtiar, itu penting.
Cerita-cerita saya di atas yang kurang baik, mohon jangan diilhami ya. Itu untuk sekadar bumbu-bumbu pelengkap saja, biar masakannya enggak terlalu asin, manis atau pahit. Rada pedas juga bagus kan? Iya, orang Medan terlebih suku Batak seperti saya ini memang suka makanan pedas-pedas. Tapi jangan sampai kepedasan. Tetap dijaga makanannya selama bulan Ramadhan. Hati-hati buat yang punya asam lambung atau maagh. Rizka ini ngomong apa sih?

Sebagian orang akan mengganggap sebuah perubahan ‘baik’ akan baik-baik saja.
Sebagian lagi hanya senang mencibir sambil bertanya, “apakah dia akan baik-baik saja?”
Yang saya tahu, segala kebaikan masih tidak berubah ujungnya.

Meskipun saya (masih) belum kelihatan baik-baiknya.
Saya tetap berusaha ingin menjadi baik.
Apalagi jika kamu membantu saya untuk baik bersama.
...

 

            SELAMAT BERPUASA!

Untuk para pembaca, kalian dapat salam dari Rizka dan Emaknya.
Salam Kiciw!

NB : Ini postingan kesekian kali disempatkan sebelum Emak saya teriak, “Ikaa! Beresin rumah dulu, baru nulis!!” (pakai efek petir menyambar) | Saya enggak mau kalah, “Iya bentar lagi selesai. Ya Allah.. sabaran dikit kenapa sih, Mak. Jadi lupa kan apa yang mau diketik tadi”.

Oke, saya beresin rumah dulu ya.. Selamat membaca!


Ruang Kerja ‘Diurna Rizka’.
Medan, 26 Mei 2017

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar