Dalam Jejak 'Sombere' Makassar (Bagian Pertama)

Mei 07, 2017



Kali ini, postingan tentang kegiatan di bulan Oktober 2016. Telat sekali postingannya, tapi ini sekedar ulasan sedikit saja ya. Dimulai dari keinginanku yang cukup ekstrim tingkat kesekian kali untuk hal berpetualang. Pasalnya, aku menjadikan kota dengan ciri khas 'Es Pisang Ijo' sebagai destinasi yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ya, kota Makassar. Tepatnya terletak di pulau Sulawesi. Salah satu pulau terbesar di Indonesia. Dalam catatan tahunan, aku belum pernah menuliskan kota Makassar masuk ke dalam nominasi pulau yang akan segera aku kunjungi. Namun, bukannya Allah selalu punya rencana indah toh? Lantas, Dia mampu memberikan waktu kapan saja dan lokasi di mana saja yang bisa kita sanjungi tanpa diduga-duga sebelumnya. Jadi, aku tidak mempermasalahkan. Sebab, Insya Allah aku sangat menikmati.
Perjalanan ke kota Makassar, tidak aku lalui seorang diri. Melainkan bersama teman kuliahku bernama Laili. Hari ini aku menuliskan postingan ini sebagai laporan wajib perjalanan hehehe. Agak rempong sih ya karena harus bawa laptop pas kegiatan itu. Tapi disuruh bawa laptop bukan bakal nulis laporan perjalanan setibanya disana. Ya tentunya harus tetap fokus untuk menjalankan seluruh rangkaian kegiatan tanpa terkecuali. Sudahlah laptop saya ini enggak jauh beda tuanya sama saya (loh hahaha), ditambah lagi si doi enggak bisa hidup kalau enggak dicolokin ke aliran listrik. Manja banget sih kamu laptop, ngalah-ngalahin manjanya aku.
Nah, aku akan mulai bercerita tentang apa yang aku alami.
Jadi, malam sebelum keberangkatan, 07 Oktober 2016, kuputuskan untuk menginap di rumah indekos Laili. Alasannya adalah untuk menghindari keterlambatan menuju bandara Kualanamu. Selain itu juga, rumahku yang agak jauh dari tempat lalu lalang transportasi umum dengan leluasa, membuat otakku harus berpikir dua kali jika masih bersikeras tetap tidur di rumah. Jadi, pada malam itu aku diantar oleh Ibuku pukul 20.00 WIB. Sebelumnya, aku tetap mengikuti perkuliahan pagi dan rapat organisasi hingga sore hari.
Berhubung aktivitas harian cukup menguras tenaga, setibanya di rumah indekos Laili, aku memutuskan untuk tidur tidak terlalu larut. Gunanya untuk meminimalisir kelelahan di esok paginya karena kurang tidur. Nah, sebelum tidur, aku berinisiatif untuk membuat jam alarm sebagai bantuan untuk membangunkanku di pukul 04.00 WIB dini hari.
***

Pukul 06.00 WIB, aku dan Laili tiba di bandara Kualanamu dengan memilih alternatif kendaraan Go Car. Alhamdulillah, kami tiba di Kualanamu 1 jam setengah lebih cepat dari jadwal keberangkatan pesawat. Kami menyempatkan untuk bergantian sholat Subuh di mushollah bandara. Mengapa gantian? Sebab, harus ada yang menjaga barang-barang bawaan kami hehehe.
Seberes kemudian, kami segera melakukan check-in tiket karena tiket yang kami pesan masih berupa e-ticket. Lalu, menuju ruang tunggu di Gate 8. Sambil menunggu panggilan keberangkatan, aku dan Laili  menyempatkan berkirim pesan kepada teman-teman melalui obrolan grup dan orang tua. Ibuku, kebetulan sudah tahu bagaimana tipikal traveling-ku, akan sangat memaklumi jika aku hanya menghubungi beliau setelah semua urusan administrasi bandara selesai. Saat menjelang keberangkatan dan saat tiba di kota tujuan.
Cieee selfie dulu yak sebelum berangkat!

Petualangan kali ini akan menjadi perjalanan domestik terjauh pertama kali. Niatnya, sepulang dari Pulau Sulawesi, aku ingin segera menjajaki Kalimantan dan Papua. Menikmati budaya dan alamnya, mempelajari bahasa daerahnya, dan tentu mengoreksi makna dari setiap perjalanan. Betapa aku ingin! Semoga tahun ini tercapai. Amiiin.
***
            Hingga kemudian kami tiba di kota tujuan....
Melewati jalan-jalan besar penuh sesak di kota Daeng. Ingat betul aku dengan perjalanan yang memakan waktu hampir 4 jam. Pesawat Lion Air JT892 lepas landas di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, setelah sebelumnya transit di Ibukota Jakarta selama 1 jam. Penjemputan oleh panitia di Ba’da Ashar itu diluar dugaan. Kami terjebak kemacetan panjang dan tidak kunjung sampai di lokasi penginapan. Malam itu, para awak panitia mengindahkan sejuta cara untuk mengaburkan rasa kantuk dan lelah setelah 5 jam menuai mesra dalam perjalanan udara. Mulai dari gorengan, minuman dingin, hingga lelucon-lelucon yang sesekali kucatat untuk membuatku tahu bahwa ini perjalanan yang panjang.
“Aku seorang pendatang dan pahamilah kondisi apapun yang kau rasa”, gumamku menyemangati diri sendiri.
***
Bangun di paginya 13 Oktober 2016. Para delegasi dari 13 Lembaga Pers Mahasiswa se-Indonesia menjajaki langkah baru. Perhelatan ini merupakan hasil gagasan kru pers mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar dalam rangkaian acara bertajuk “Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional UKM LIMA 2016”.
Rasanya baru kemarin hari aku masih merasa asing dengan geliat logat cepat khas warga Makassar. Namun secepat waktu berjalan, justru kini aku berada di tengah mereka dalam bus pengap yang kulit kursi-kursinya terasa mengoyakkan lapisan hidungku. Aku mual, hendak muntah. Tapi aku diam saja, lantaran kulihat hari ini matahari sedang menguji emosiku. Tidak aku turuti minuman ‘penghilang mabuk darat’ itu dari awak panitia. Aku mengiyakan diri, bahwa aku bisa.
Akibat terlalu lama menunggu kedatangan bus dari panitia, alhasil keberangkatan ke langkah berikutnya molor lagi. Tapi tidak membuat kantukku bertambah. Setidaknya, aku masih bisa mengendalikan otak untuk berpikir lebih kritis, seperti keharusan seorang jurnalis.
Tak lama kemudian, bus bermuatan 30 penumpang itu melaju memasuki kawasan Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Aku disadarkan dengan seruan para peserta yang sontak menawarkan aroma ‘tidak ingin pulang’, untukku pribadi. Mulailah mataku terbelalak. Aku kagum dengan sejuta pesona. Diam-diam mataku terus memandangi kearifan kawasan yang dulu katanya adalah laut. Konon, perubahan itu dipengaruhi oleh faktor alam sehingga air laut kini menjadi daratan yang di sisi kiri dan kanan jalan ditutupi dengan batu-batu tinggi. Masyarakat Sulawesi Selatan menamainya kawasan ‘leang-leang’. Secara tutur bahasa orang Makassar, kata ‘leang’ artinya gua. Sejauh ini, sudah tercatat sebanyak 65 gua di Kabupaten Maros. Jumlah tersebut akan terus bertambah sepanjang penelitian hingga hari ini.


Tulisan "Leang" di bagian depan Taman Prasejarah Leang-Leang

Di hari yang hampir sore, sudah 3 jam keringat dingin dibiarkan kering sendiri dalam bus pengap itu. Sambil menahan perut kosong, akhirnya derus ban terdengar lebih nikmat. Kami sampai di lokasi Taman Prasejarah Leang-Leang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Langit mendung, pertanda akan turun hujan. Menurut pengakuan warga setempat, daerah ini memang didominasi dengan curah hujan yang cukup tinggi. Sembari meluruskan kaki, beberapa peserta berkutat dengan perangkat internet canggih. Seolah-olah mengabarkan bahwa semua lapisan harus tahu tentang keberadaan mereka. Unik. Satu kata dari isi kepala yang nyaris membuatku melampiaskan betapa tidak ruginya aku meninggalkan surat-surat warisan izin perkuliahan selama 1 minggu lebih. Perjalanan jauh dan lelah ini segera terbalaskan.
Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan dengan hamparan bukit-bukit tinggi, sawah dan sejumlah kandang hewan ternak milik warga setempat. Ketinggian bukit-bukit itu tidak malu memamerkan kekokohannnya. Sesuai urutan jadwal kegiatan hari itu, 13 Oktober 2016, usai makan siang, para peserta diarahkan untuk melanjutkan perjalanan menuju lokasi observasi. Kali ini, kami diberi kesempatan turun lapangan ke 2 lokasi gua. Leang Timpuseng dan Leang Pattakere.
Leang Timpuseng
Aku dan Laili di Leang Timpuseng

Dipandu oleh seorang arkeolog bernama Dewi Susanti, 32 tahun. Meta –biasa disapa– merupakan lulusan Jurusan Ilmu Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar dan melanjutkan pendidikan ke Universitas Gajah Mada Yogyakarta dengan disiplin ilmu yang sama. Beliau memandu perjalanan menuju Leang Timpuseng di tengah awan yang terus menutupi matahari. Benar-benar mendung. Tidak lama setelah dugaan cuaca itu, kawasan yang tengah ditapaki pun diguyur hujan deras. Sebagian dari rombongan terpisah beberapa jarak dari rumah warga yang satu ke rumah warga lainnya, lantaran setiap tempat berteduh tidak cukup memuat semua pasukan.  
Udara mulai terasa benar-benar dingin. Jaket pelindung terus menutupi tubuh sepanjang 3 kilometer jalan yang harus dituntaskan untuk sampai di lokasi tujuan. Di jalan-jalan ini, aku bisa menyaksikan pergumulan ternak-ternak warga setempat seperti lembu dan ayam. Kegiatan warga sesekali mencuri perhatianku yang sesekali mencoba mendengar pembicaraan tersirat dengan logat Makassar itu. Lepas dari jalan desa, dilanjutkan dengan melewati jajaran sawah-sawah dari ujung jalan setapak hingga pintu gerbang Leang Timpuseng. Menaiki tangga pendek untuk tiba di kaki-kaki gua. Disanalah Meta memulai pemaparannya.


Leang Timpuseng merupakan situs gua peninggalan yang dijaga oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala dan Cagar Budaya Makassar. Tidak hanya itu, situs prasejarah ini dilindungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Begitulah yang tertulis di papan pamflet setelah kakiku masuk pagar Leang Timpuseng. Tidak begitu membutuhkan tenaga ekstra untuk sampai di dalam gua. Karena untuk situs Leang Timpuseng sendiri, perjalanan kami hanya terhenti di pinggir-pinggir gua saja. Namun, dalam suatu perjalanan tidaklah sah apabila tidak mengabadikan momen bersama. Iya, ini benar-benar menarik.
Berdasarkan penjabaran dari Meta, dalam situs gua ini kita bisa menyaksikan cap tangan dan babi rusa zaman purbakala. Untuk usia cap tangan diperkirakan 39.900 tahun, sedangkan 35.400 tahun untuk lukisan babi rusa. 
“Awalnya ini lukisannya warna merah. Tapi karena pengaruh alam, warna pun memudar dengan sendirinya”, tutur Meta.


Usai menghabiskan waktu observasi pertama selama kurang lebih 2 jam, kami kembali ke lokasi penginapan. Mengingat total jarak pergi-pulang yang cukup lama, maka kami berinsiatif melakukan pemboikotan kecil-kecilan.
“Pak.. pak, numpang ki sampai Leang-Leang!”, ujar temanku yang menggunakan logat Makassar. Si Bapak langsung mengangguk tanpa ragu. Ya, kami mendapatkan tumpangan mobil pick-up dan melaju menuju Taman Prasejarah lagi. Tambah seru lagi, ternyata beberapa pasukan di belakang mendahului dengan naik mobil tumpangan warga. Tidak mau kalah, pasukanku juga turut menggelar tawa hari itu. Ternyata di pertengahan jalan, mobil tumpangan pertama hanya berhenti di separuh jalan.
“Duluan terus ki, duluan tertinggal kodong!! Hahahaha”, ujar temanku lagi. Gelak tawa mengudara. Udara dingin sehabis hujan itu akan kalah dibandingkan dengan kebersamaan kami. Tawa hari itu akan kurindukan, Kawan. Terima kasih karena sudah mengajarkanku arti bahagia dengan hal-hal sederhana. Sumatera-Sulawesi akan menjadi petualangan tidak karu-karuan yang berhasil menyelip rindu.



Tidak berhenti dalam observasi satu hari. Esoknya, 14 Oktober 2016, pagi-pagi sekali kami dibangunkan oleh awak panitia. Tertidur pulas dengan perlengkapan hangat seadanya di dalam tenda adalah hal yang tidak bisa dibayar oleh apapun. Bermandikan cuaca dingin, sebagian awak peserta ada yang memutuskan hanya bersih-bersih ringan. Aku salah satunya.
Usai menyantap sarapan bersama-sama, petualangan observasi situs peninggalan purbakala kembali dimulai. Medan yang ditawarkan kali ini adalah Leang Pettakere. Tidak jauh dari lokasi penginapan, kakiku sudah tiba di tanah Pettakere. Unik sekali lagi, di tangga setapak menuju area situs ini, aku mendapati Luwing –binatang kaki seribu- berwarna hitam dengan gumpalan lemak lebih besar.
Plang tulisan "Leang Pettakere"

Lalu, petugas yang memandu kami pada medan kali ini adalah Haji Lahab –selanjutnya kami panggil dengan sebutan Pak Lahab-, dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan.
“Yang naik diharapkan jangan bergerombol. Lima lima orang aja dulu,” kata Pak Lahab. Tanpa merasa keberatan, aku memilih menjadi kelompok yang terakhir.
Kelompok terakhir yooo!

---
Cerita bersambung..

Baca Artikel Yang Kamu Suka

0 komentar