• Home
    • Akademik
    • Diurna Rizka
    • Tulisan
    • _Writing Competition
    • _Blog Competition
    • _Writing Project
    • Petualangan
    Lepas Bogor disambangi satu malam, Jogja jadi tujuan berikutnya. Rezekinya, Jogja sedang deras-derasnya sejak awal kedatangan waktu itu. Ada yang menyayangkan soal cuaca semacam itu, tapi justru itu berkesan. Kedatangan disambut dengan gegap gempita sepasukan penduduk langit. Lalu pertanyaannya: lantas, kepiluan macam apa yang harus tercurahkan kalau ternyata bahagia bisa ditemukan dengan hal-hal sederhana, apalagi pada perjalanan yang inginnya sudah lama?. 

    Meski penat memang tidak bisa dipungkiri, namun ada rasa ingin menetap lebih lama di kota pendidikan itu. Selain membawa misi berpetualang, pun dibalik itu ada keinginan menuntaskan rindu pada kerabat yang pernah ditemui, lama tidak ditemui, dan bahkan tidak pernah bertemu barang sekalipun.

    ***
    Sebuah notifikasi Instagram masuk, dari seorang sahabat lama yang belum pernah saya temui sejak perkenalan kami dari seorang sahabat lama juga. Eh, kayak kenal nih nama akunnya, pekik saya dalam hati. Benar, pemilik akun itu sudah lama sekali tidak saya tanyai kabarnya. Semenjak memutuskan unactive Twitter, saya banyak kehilangan kontak sahabat-sahabat lama. Padahal, itu adalah platform saya pertama kali menemukan banyak relasi dan kebanyakan dari mereka telah saya anggap seperti keluarga. Termasuk yang satu ini, yang akan saya beritahu alasan tulisan ini muncul di blog.

    Well, namanya Ika Priyanti. Nama yang  tidak asing bagi saya, sebab nama panggilan saya sama dengan beliau. Awal kenal dengan Ika dari twitter, kisaran tahun 2011 atau 2012 seingat saya. Eh tapi karena apa ya waktu itu ? Hemm.. saya tidak bisa mengingatnya dengan pasti, mungkin ada sebagian memori yang hilang atau tersangkut hehehe. Tapi saya ingat dengan sangat baik bahwa perkenalan dengan Ika dibarengi dengan teman-teman Ika lainnya, yang sama-sama dalam satu organisasi di sekolah mereka di Pontianak, Kalimantan Barat.

    Kalau ada yang pernah ngerasain serunya punya sahabat pena, saya juga punya cerita seru karena punya sahabat jarak jauh. Dulu, saya dan Ika sering berbalas pesan dari DM twitter. Kami memang jarang sekali muncul di beranda, karena mungkin masih malu-malu hihi. Lalu, kalau ada waktu-waktu senggang, biasanya kami mengadakan janji untuk berkomunikasi lewat telepon. Tidak sering, tapi pernah beberapa kali. Kalau boleh jujur, saya senang sekali setiap kali harus mengatur jadwal hanya untuk bertelepon dengan Ika, karena saya suka punya teman jauh. Meski saya belum pernah lihat seperti apa rupa Ika waktu itu, but it’s so important for me, comfortable and worth it!

    Bagi saya, sebutan sahabat pena ataupun sahabat jarak jauh bukanlah masalah. Karena keduanya sama-sama menyenangkan. Disamping teman-teman di sekolah hanya menganggap saya anak aneh dengan menyimpan segudang cerita di kolong meja kelas, ternyata di usia itu saya punya orang-orang baik yang mau menerima saya apa adanya. Itu saya sembunyikan tidak di kolong meja, melainkan melebur dalam keseharian putih abu-abu saya. Tidak ada yang tahu siapa mereka, tapi saya bersyukur punya mereka. Dengan mereka, saya merasa bahwa saya punya hari esok yang panjang dan akan melampaui perjalanan jauh. Meski mereka memang tidak pernah sepenuhnya tahu tentang cerita-cerita di kolong meja itu karena tidak berada di sekitar saya, tapi bagi saya, hanya dengan mendengarkan cerita-cerita mereka tentang serunya berorganisasi di sekolah di pulau seberang sana pun sudah cukup membuat saya paham, “oooh rupanya orang-orang di pulau itu lucu ya, unik. Persahabatan mereka begitu seru. Suatu saat, aku mau mengunjungi mereka disana. Makan sopang dan minum es kopyor yang sering mereka ceritakan”. Sejak saat itu, mereka adalah keluarga buat saya. Terkhusus Ika, telah jadi bagian cerita menarik di masa-masa SMA.

    Pertama kali Ika ke Jogja, Ika sempat mengirimkan foto bangunan gedung Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada untuk saya. Iya, saya dulu kepengin sekali berkuliah disana. Seingat saya, Ika sampai bela-belain cetak foto gedung itu dengan memberi pesan, “Ika ada cetak foto ini buat Ika. Nanti kalau Ika jadi ke Jogja, Ika kasih ya. Terus, tadi Ika jalan ke Malioboro dan teringat Ika. Jadi Ika belikan satu tas kecil buat Ika, mudah-mudahan Ika suka. Tapi nggak tahu ini gimana cara ngasihnya. Nanti ya nunggu Ika kesini aja. Ika simpenin”.

    ***

    Januari 2018 silam, ternyata Allah kabulkan doa Ika. Saya berkesempatan menjajaki kota istimewa itu sendirian dengan membawa misi silaturahim. Tanpa ketinggalan, saya juga dihubungkan kembali dengan Ika setelah hampir 3 tahun tidak tahu kabar sama sekali. Lewat DM Instagram, kami pun bertukar nomor Whatsapp dan mengatur jadwal untuk janji bertemu. Saya rasa, waktu mengajarkan kami banyak hal. Yang dulunya hanya lewat telepon genggam, justru telah bertransformasi dari telepon genggam menjadi tatap muka. Well done, that sounds good! Itu menandakan bahwa waktu sekian tahun berhasil membayar rasa penasaran saya dan Ika untuk melihat rupa masing-masing hahaha.

    Di Bandara Adi Sucipto pukul 21.00 WIB, sebelum saya menuju gate keberangkatan karena harus pulang ke Medan, Ika mengirim pesan whatsapp kalau dia telah menunggu di depan meja informasi bagian depan. Riwehnya saya membawa dua tas super gede hahaha, akhirnya saya pun mempercepat langkah kaki untuk keluar sebentar menemui Ika. 

    Tahu gimana perasaan saya waktu detik-detik mau ketemu Ika ? Perasaan saya kosong, speechless dan agak bingung mau gimana nanti pas ketemu. Berpelukan ala teletubbies atau senyum saja atau jingkrak-jingkrak seperti kebiasaan saya yang absurd itu ? Oh tidak-tidak, saya membuyarkan semua hal aneh-aneh. Saya berhenti berekspektasi. Biar mengalir saja apa adanya. Kalau harus teriak, yasudah biarlah (tapi kalau sampai teriak sih bakal kelihatan siapa yang paling norak, hmm you know me so well lah ya hahaha).

    Saya menoleh ke kiri dan kanan. Mata saya menjurus kemana-mana, berharap menemukan sosok Ika secepat mungkin supaya estimasi waktunya tidak kelamaan. “Ika pakai jilbab biru dongker, pakai jaket di sebelah kanan pas di depan meja informasi ya, Ka”, kata Ika dari pesan whatsapp. Alih-alih nampak karena itu sudah malam hari, saya yang lupa bawa kacamata itu pun tak tahu harus gimana supaya mudah mengenali sosok Ika karena penglihatan saya tak bisa jelas sekali.

    Alhamdulillah, ternyata tidak butuh waktu lama untuk menemukan. Ika yang lebih dulu mengenali saya. “Assalamualaikum.. Ika nih ?”, kata Ika pertama kali menyapa. Kami langsung berpelukan. Tak tahu rasanya, saking bahagianya saya hanya bisa menyematkan senyum terus-terusan hahaha. Rupanya bukan justru jingkrak-jingkrak, tapi ini bahagia versi elegannya (eaak, bisa juga jadi elegan hahaha). “Ternyata aslinya tinggi banget yah, Masya Allah senang banget ketemu Ika”, kata Ika lagi. Ngomong-ngomong, sesungguhnya tinggi badan saya tidak terlalu tinggi, tapi tulangnya saja yang nambah ke atas hehehe.

    Kita akhirnya duduk dan ngobrol di dekat situ. Betapa saya ingin bilang pada bagian maskapai, “Pak/Bu, delay aja napa sih pesawatnya.. lumayan kalau delay 30 menitan saya bisa ngobrol lebih lama dikit nih. Bisa nggak ? Bisain aja dooong, sekali ini doang”, begitu kira-kira permintaan saya yang ternyata tidak dikabulkan. Bisa-bisanya coba minta begituan, ya mana ada yang mau wujudkan. 

    Salahin siapa ? Salahin outlet Preksu dan google maps di aplikasi gocar saya yang membuat Ika dan saya jadi harus ketemuan mepet-mepet begitu di bandara. Kalau saja saya tahu outlet Preksu di Jalan Condong Catur itu jaraknya ibarat dahi dan rambut saya, tentu saya tak perlu repot-repot pesan gocar yang datangnya hampir setengah jam setelah dia komplain kalau alamat yang saya klik di aplikasi ternyata salah. Catatan buat para pelancong yang sok jago macem saya : jangan sekali-sekali ngandelin transportasi online, tapi lebih baik tanyalah pada masyarakat setempat supaya tahu estimasi waktu menuju lokasi tujuanmu (kok ini jadi tips dan trik traveling sih? hahaha).

    Ceritain apa saja sih waktu itu sama Ika ? Buanyaaak rek, buanyaaak. Tapi kami lebih banyak senyum ketawa-senyum ketawa gitu. Mungkin saking kesenangannya ketemu satu sama lain (aih aiih, kayak ketemu doi nggak ? hahaha). Malam itu, saya tidak sempat cek di luar gimana kondisi langit di malam terakhir petualangan saya di Jogja. Yang jelas, malam itu sedikit rintik hujan dan kami menikmati beberapa menit sampai akhirnya diumumkan, “panggilan terakhir kepada seluruh penumpang pesawat Citilink tujuan Medan, Kualanamu untuk segera memasuki pesawat”. 

    Kemudian, 5 menit terakhir kami minta tolong sama Bapak-Bapak (kami sampai lupa tanya namanya tapi tetap ingat mengucapkan terima kasih), untuk membantu kami mendokumentasikan pertemuan itu. Ika, you have made my last night in Jogja so deep! Ini akan jadi alasan saya untuk datang mengunjungi Jogja lagi. Atau mungkin akan menetap disana ? Hahaha biar Allah yang atur semua waktunya, karena kejutan-Nya pasti enggak bakal buat kita menyesal dan sia-sia. Cannot wait to see you again, so thanks in advance! 

    ***

    Hari ini, 07 April 2018, Ika sedang berulang tahun. Saya tidak menyimpan tanggal lahirnya, karena beruntungnya saya telah diberitahu oleh notifikasi Line hahaha. Literally.. Barakallahu Fii Umrik, Ika Priyanti. Saya bersyukur telah mengenal baik dirimu, sebagai teman – sebagai saudara – sebagai keluarga. Terima kasih telah menerima persahabatan jarak jauh ini dengan hangat dan bijak. Hari-hari yang sedang dan akan kita jalani, semuanya tidak lepas dari ujian dan tanda tanya di depan sana. Ia hadir dalam bentuk kesedihan dan kebahagiaan. Tapi dari itu semua, kita akan terus belajar dari apa yang sedang terjadi. Dengan demikian, kita akan terus tumbuh menjadi orang yang semakin lengkap pemahaman hidupnya. Agar kita bisa menjadi orang lebih bijak setiap kali mengalami masalah-masalah apapun.

    Jika lelah dengan sekian hal yang terjadi di dunia, ingat saja bahwa akan ada dan selalu ada orang-orang yang tetap bisa dekat dengan kita, menganggap kita istimewa, dan menjadi sebaik-baiknya pendengar selain diri kita sendiri. Sebab, melalui merekalah Allah hadir menemani kita dan dari nasihat merekalah Allah menyampaikan sesuatu, hingga dari pelukan merekalah Allah ingin memberitahu bahwa kita tidak akan pernah dibiarkan menghadapi segala sesuatu sendirian, sekalipun kesedihan itu hanya mampu disimpan dalam hati.

    Jaga diri dan tetap baik pada siapapun. Semoga segala urusanmu dimudahkan Allah dan bahagiamu dijaga Allah hingga diberikan padamu tepat pada waktunya. Jangan lelah mengejar impian-impianmu yang tertinggal. Ada begitu banyak orang yang mendoakanmu di setiap waktu, tahu atau tidaknya dirimu. Semangat menuntaskan misi berpetualang ilmu, Ka! Lain waktu kita pasti akan bertemu lagi, Insya Allah. Di bumi Allah dengan langit cerah, kita akan bertukar cerita tentang banyak hal.

    Salam hangat,
    Rizka Sitanggang.

    Continue Reading

    Maret tidak ada postingan. Saya tahu itu dan saya merasa bersalah. Kalau saja tumblr tidak di blokir oleh pemerintah, mungkin akan banyak draft tulisan disana. Antara tidak punya teman cerita atau memang lebih nyaman saja bercerita di platform begitu. Tanpa ada yang harus membaca unek-unek sampah milik seorang anak yang hobi sekali meninggalkan rumah. Bukan karena tidak betah, hanya saja ada begitu banyak hal yang tidak bisa dituangkan barang sebentar pun. Justru terkadang, apa yang paling ingin dituliskan dan ditampilkan adalah yang paling tidak terungkapkan.

    Postingan ini sebenarnya tidak begitu penting untuk dibaca. Kalau sudah baca sampai bagian ini dan ingin keluar dari laman blog saya, silahkan tidak apa. Toh juga postingan ini tadinya untuk menghibur diri sendiri, tapi ikhwal saya pikir ada baiknya kalau dibagikan saja. Syukur-syukur bisa jadi kontemplasi bersama.

    Akhir Maret kemarin, saya mengesalkan. Ya, saya kesal pada diri sendiri. Satu hal yang seharusnya orang lain tidak perlu tahu, jadinya tahu. Saya ingat sekali, sore itu hujan sedang deras-derasnya. Saya dan teman-teman tidak dapat menahan haru sebab salah seorang dari kami telah menyelesaikan masa studinya dengan hasil memuaskan. Kami memang begitu, menyenangkan rasanya kalau ada orang-orang terdekat sedang berbahagia. Bahkan seandainya pun bahagia itu bukan untuk kami, tetaplah kami akan menjadi bagian paling bahagia di harinya. Tidak sedikit orang-orang saya temui seperti itu dan saya tahu bahwa orang-orang demikian adalah orang baik. 

    Ohiya lanjut ke ceritanya. Dalam pertemanan 12 orang, kata teman-teman, saya itu lain sendiri. Lainnya adalah karena saya suka menyendiri dan tidak begitu suka keramaian. Siapa bilang ? Padahal saya juga suka ke tempat-tempat ramai, apalagi kalau ada lampu-lampu di sepanjang jalannya. Kayak lampion di Pekan Raya Sumatera Utara, misalnya. Atau kayak lampu-lampu bergelantungan di simpang empat antara Istana Maimun, Perpustakaan Daerah, Masjid Raya, dan Kesawan Square di Medan. Ya sesederhana itu sih memang hehe. Tapi kata mereka, saya lain sendiri.

    Pernah satu diantara mereka bilang begini, “Kalau aku jadi kau, mana mau aku jalan sendirian ke toko buku, ke taman kota dan ngabisin waktu seharian disana hanya untuk baca buku. Ngapain coba? Kayak orang gila.”

    Oh, saya baru tahu kalau jalan sendirian itu identik dengan orang gila. Saya pikir itu pekerjaan orang waras yang hanya ingin jalan saja, bukan karena apa-apa. Saya jadi baru tahu juga kalau ternyata orang-orang pada umumnya sering melakukan sesuatu itu karena sebuah alasan yang menurut mereka rasional. Sekali lagi, saya baru tahu.

    Selain dikatain lain sendiri, saya juga dianggap yang paling tidak peka. Lebih dalamnya lagi, kata mereka saya sudah mati rasa. Kata mereka, itu akibat saya sering patah hati. Siapa bilang ? Saya baru patah hati satu kali, waktu Bapak saya meninggal. Itu patah hati yang paling saya anggap, selebihnya tidak. Lebih tepatnya tidak mau saya anggap sebagai patah hati melainkan penyalahgunaan perasaan yang berujung pada gagalnya macam-macam ekspektasi. Salah saya itu mah, bukan salah siapa-siapa. Makanya, jadi manusia enggak usah berharap lebih sama manusia. Ada tuh kata-kata dari Ali bin Abi Thalib, coba cari tahu sendiri sana.

    Ohiya, balik lagi ke ceritanya. Di sore hari yang hujan itu, ada isu-isu kalau salah satu di antara kami ada yang memendam rasa dengan salah satu di antara kami lainnya. Dengar-dengar sih dari awal masuk kuliah. Saya sempat kaget dengar kabar itu, tapi habis itu langsung biasa saja. Wajar sih kalau ada rasa, pun yang dikagumi juga orangnya baik. Dan jadilah mereka berdua itu foto bersama. Salah seorang teman saya nyeletuk, “Jadian! Jadian! Jadian!”, yang kemudian diikuti oleh teman-teman yang lain. Melihat seperti itu, saya cuma senyum saja. Terakhir saya melihat sorak-sorai begitu waktu SMA. Ketika seorang teman cowok menyatakan perasaannya ke teman cewek saya. Kebetulan saya duduk enggak terlalu di depan waktu SMA, jadi saya pun mandangi dari jauh saja. Lucu, tapi saya kurang suka.

    Rupanya, rasa kagum itu diwujudkan dengan sebuah pemberian. Ya, teman saya itu diberi hadiah dengan tas warna merah muda. Setahu saya, isinya itu mukenah. Waktu tahu isinya itu, saya senyum dan geleng-geleng kepala. Nampaknya dia ingin seriusin temen saya nih, dalam hati saya bilang. Lalu, teman saya yang nyeletuk tadi itu kemudian nyeletuk lagi, “yuhuu.. dah bisalah kita siap-siap jadi panitia nih wee”. Seterusnya mereka semua keroyokan bersuara. Kata mereka, itu bentuk dari dukungan atau motivasi. Oh begitu rupanya. Niatnya baik memang, tapi saya kurang suka. Mungkin karena saya berpikir kalau sesuatu yang terlalu digaungkan itu justru bisa membuat luka sedalam-dalamnya, kapan saja. Begitupun, saya mengagumi bagaimana cara teman-teman saya menyampaikan rasa sayangnya terhadap satu sama lain.

    Habis sorak-sorakan itu, teman saya menyeletuk lagi, “jadi maharnya berapa gram?”. Yang lainnya menyerukan sekian per sekian harga dan rupanya saya gagal ngerem mulut saya untuk ngomong. “Eh wee, kenapa harus mikirin mahar gede-gede? Bukannya perempuan yang martabatnya tinggi itu justru yang memberikan kemudahan?”, lontar saya. Agak nyesal sebenarnya habis bilang begitu, tapi itulah kata-kata. Sifatnya irreversible, artinya apa yang sudah dikeluarkan maka itu akan jadi milik orang lain dan tidak dapat ditarik kembali.

    Saya sudah duga, akan terjadi perang dingin kalau saya ngomong dengan pemahaman lain sendiri (bagi mereka). “Heh! Kalau cowoknya mampu dan ceweknya senang-senang aja, kenapa rupanya ? Kok kau pula yang sibuk sih Riz?”, celetuk teman saya.

    “Walah, aku nggak maksud apa-apa. Kalau keduanya sepakat ya nggak apa juga. Kali aja kan mau kasih mahar tinggi-tinggi, cocok juga kok. Apalagi kalau uda ada gelar di namanya yakan hahaha”, kata saya.

    “Alah Riz, dalam hatimu pun kau maunya kan mahar tinggi. Gak usahlah kau tutup-tutupi. Perempuan dasarnya kan matre. Kau pun juganya itu!”, ketus teman saya.

    Dan disitulah saya merasa bahwa sore itu lucu sekali. Hujan sedang deras-derasnya yang harusnya saya bisa nikmati itu tanpa perlu ikut-ikutan macem hujan, di depan umum pula. Padahal saya mikir kalau itu sebenarnya bukan masalah hebat, tapi rasanya lucu karena itu menyentuh hati. Ada rasa marah yang saya enggak mungkin juga blak-blakan mencaci maki siapa orang yang bicara. Lucu rasanya, ketika hal-hal kecil pun diartikan secara umum oleh sebagian orang. Generalisasi. Mungkin pun saya pernah atau masih seperti itu, maka akhirnya saya diperlakukan demikian. Tidak apa, itu sebuah pelajaran.

    Sampai detik ini, kata-kata itu saya ingat sebagai pengingat diri. “Besok-besok, kamu enggak usah banyak ngomong Riz. Kalau ada yang nanya saja kau baru boleh ngomong”, kata saya dalam hati. Tapi habis bergumam demikian, saya ingin ralat kata-kata itu. 

    Kalau dalam satu kondisi ada orang yang sangat butuh pendapat tapi dia tidak tanya saya, bagaimana ? Masa saya harus diam dan nunggu dia nanya saya baru saya jawab, padahal seumpamanya saya bisa bantu jawab. Bukankah itu membunuh nurani saya sendiri ?, pikir saya kemudian. Oh, lucu rasanya. 

    Sore itu, teman-teman seangkatan di kampus pun tahu bahwa seorang anak yang sering mereka katai "kau perempuan atau bukan? Kemana-mana kau pergi sesuka hati", pun akhirnya tidak semati-rasa seperti pikiran mereka. Pun perasaan anak itu bisa sama derasnya dengan hujan hanya karena kata-kata yang menurut mereka sepele. Agak menjijikkan pastinya bagi si anak itu sendiri ketika orang lain harusnya tidak perlu tahu soal itu, tapi justru jadinya tahu. Padahal sama sekali dia tidak ingin menunjukkan. Mungkin, salah satu kelemahan yang sulit dia pungkiri adalah dia salah satu orang yang 'tidak tahu tempat'. Lucu rasanya kalau diingat-ingat. Anak itu berharap, mereka segera melupakan itu. Sejak sore itu, setiap kali hujan turun dengan derasnya, anak perempuan itu bilang ke diri sendiri supaya dia lebih banyak diam sampai hujan berhenti.

    [Cerita ini harusnya untuk Maret, tapi melalui April saya sampaikan ini agar tidak terulang]
    Medan, 02 April 2018.

    Continue Reading
    Newer
    Stories
    Older
    Stories

    Searching

    • ABOUT ME

    Media Sosial

    • Tumblr
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram

    HUBUNGI SAYA DENGAN EMAIL

    Nama

    Email *

    Pesan *

    Pengunjung

    Pict of Me

    Pict of Me

    Catatan Berkarya



    Recent Post

    • Esai Seleksi Beasiswa Karya Salemba Empat
    • Esai Diri (Program Friendship From Indonesia 2017, China - Malaysia)

    Arsip Blog

    • ►  2022 (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2021 (1)
      • ►  November (1)
    • ►  2020 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ►  Juni (1)
    • ►  2019 (8)
      • ►  Desember (2)
      • ►  November (1)
      • ►  Oktober (1)
      • ►  September (2)
      • ►  Juli (1)
      • ►  Juni (1)
    • ▼  2018 (6)
      • ►  Desember (1)
      • ►  Agustus (1)
      • ▼  April (2)
        • Kita (Tidak) Punya Cukup Waktu Bercerita
        • Lucu Rasanya
      • ►  Januari (2)
    • ►  2017 (21)
      • ►  Desember (5)
      • ►  November (2)
      • ►  Oktober (2)
      • ►  September (1)
      • ►  Agustus (2)
      • ►  Juli (3)
      • ►  Juni (1)
      • ►  Mei (1)
      • ►  April (3)
      • ►  Maret (1)
    • ►  2016 (3)
      • ►  Desember (1)
      • ►  September (1)
      • ►  Januari (1)
    • ►  2015 (3)
      • ►  Agustus (3)

    Label

    • Blog Competition
    • Cerita Rizka
    • Diurna Rizka
    • Esai
    • Pendidikan
    • Petualangan
    • Rizka Gusti Anggraini Sitanggang
    • Tulisan
    • Writing Competition
    Instagram LinkedIn

    Created with MRIL BeautyTemplatesDistributed By Rizka Sitanggang

    Back to top