Benar rasanya seiring bertambah usia, banyak hal yang kita inginkan dan dibangun sejak lama harus diikhlaskan. Sekian lama dipertahankan, tapi nyatanya bukan milik kita. Sakit ya pasti, seolah semesta mempermainkan niat baik yang dipupuk sedemikian rupa. Setelah tumbuh, ternyata orang lainlah yang menikmati hasil. Tapi menurutku, rasa sakit itu karena belum terbiasa.
Sama halnya dengan perpisahan dan kepergian orang terkasih. Banyak angan-angan yang ingin dilukis bersama mereka. Dan siapa sangka, semua ambruk begitu saja saat Allah meminta ia kembali ke pangkuan-Nya. Nyata memang kuasa-Nya. Tak seorang pun yang tahu kapan dan apa yang terjadi pada hidupnya sendiri.
Bicara soal mengikhlaskan, ini nampaknya agak rumit. Aku sendiri yang mengaku diri telah dewasa, belum sepenuhnya paham tentang mengikhlaskan. Entah karena masih terlalu duniawi, aku terkadang merasa ada hal-hal tidak adil pada serangkaian niat baik. Namun setelah dijalani, barulah mengerti, "oh ternyata ini maksudnya". Dan seringkali menyelamatkanku dari hal-hal buruk yang tak terpikir sebelumnya. Bersyukur? Tentu saja sangat bersyukur.
Begitu memang cara Allah menyadarkan hamba-Nya. Bukan hanya dari yang tak disukai, bahkan lewat sesuatu yang amat diinginkan. Manusia menyebutnya "Allah telah merampas keinginanku", padahal sebenarnya "Allah telah mengganti keinginanmu, sungguh semata agar kau selamat".
Sampai detik ini, aku terus belajar mengikhlaskan dan ini pelajaran yang tak pernah selesai. Seperti halnya soal ujian, tingkat kesulitannya selalu berbeda. Kadang kala, saat semua terasa seperti tak ada yang bisa diperbuat lagi, aku cuma bisa meratapi diri sendiri. Bukan merasa buruk, tapi bertanya, "kamu kenapa, Riz? kok susah sekali buat ikhlas?"
Kalau orang-orang bilang, "kamu kan udah gede, masa buat ikhlas aja susah? itu artinya ego kamu masih besar, itu tanda kamu belum dewasa". Maaf sungguh aku minta maaf, kadar dewasa seseorang bukan dilihat dari satu-dua hal yang ia hadapi dalam kesehariannya. Kedewasaan seseorang itu dilihat dari cara dia menempatkan diri di setiap situasi.
Jika kamu mengatakan seseorang belum dewasa hanya karena dia belum ikhlas, menurutku kamu belum mengenalnya lebih dekat. Sedewasa apa pun seseorang, pasti selalu ada titik di mana ia butuh waktu untuk merelakan sesuatu yang ia pikir miliknya tapi ternyata bukan.
Saat dia bicara pada dirinya sendiri, sejatinya itu salah satu bentuk kedewasaan. Hanya, dia berusaha mencari cara untuk bangkit dan terlihat baik kembali. Bukankah pulih itu butuh waktu?
Di usia 24 tahun -ketika menulis ini-, aku sadar betul ada begitu banyak keinginan lama yang pada akhirnya diikhlaskan. Namun entah bagaimana, semakin ke sini, karena 'terbiasa' mengikhlaskan itu membuat diri sendiri enggan terlalu berharap. Pada apa dan siapa pun.
Ya, apalagi berharap pada manusia. Karena tahu betul hati sendiri sangat rapuh, maka kuputuskan untuk tidak berharap pada manusia untuk urusan apa pun. Sekiranya sesuatu bisa kukerjakan sendiri, itulah yang diupayakan. Kalau memang sangat butuh bantuan, aku menjadi orang pemilih.
Bukan hanya memilih yang sepemahaman, tapi juga yang tulus. Dan itu rasanya semakin sulit karena seiring bertambah usia, circle pertemanan semakin sempit. Sekarang, kuantitas tak menjamin kualitas. Memang lebih menyenangkan punya teman banyak, tapi bukankah lebih nyaman berada di sekitar orang yang memang mengerti kita? Bahkan, saat kita hanya bisa bercerita lewat diam.
Semoga aku dan kamu -siapa pun yang membaca ini- termasuk orang yang selalu belajar mengikhlaskan dari hal kecil. Lalu ketika sesuatu terjadi tidak sesuai harapan, jangan salahkan diri. Justru berterimakasih karena sudah berjalan sejauh ini.